Part 12 : Apakah Salah Jika Teman Terbaikmu Memanggilmu?

27 7 0
                                    

Mereka berkelahi bak sebuah peperangan, tak henti-hentinya suara hantaman dan retakan dari tulang yang patah terdengar, sesekali darah menyiprat di sekitar aku berdiri.

Benar-benar seperti dua ekor binatang buas tengah bertarung demi kelangsungan hidupnya.

Saat ku memberanikan diri untuk mengintip dari balik pohon, aku terkejut Wira tak terlihat kelelahan ataupun luka sedikitpun sedangkan hal itu berbanding terbalik dengan lawannya. Lengan kanan manusia serigala itu patah, begitu pula dengan sebelah kakinya yang nampak menderita luka cakaran yang parah.

"Astaga...," ucap pria itu, tubuhnya menciut kembali ke bentuk normal.

Darah segar merembes melalui keningnya, kakinya pincang berusaha mundur dengan susah payah kebelakang.

"Ah...kurasa ini akhirnya...kalau saja Willy melihatku seperti ini mungkin dia akan tertawa," wajahnya menengadah keatas, menatap langit malam yang gelap karena rembulan sedang tertutup awan.

Wira terlihat menggeram, kakinya melakukan ancang-ancang untuk menerkam. Aku bahkan melihat kuku-kuku itu tertanam lebih dari setengahmeter dalamnya di tanah.

Wira bergerak, dia melesat kearah pria yang terluka itu.

Brak...!

Luis dan Hendra, menggunakan kaki mereka untuk menendang tepat dikepala makhluk yang ukuranya jauh melebihi seekor beruang kutub.

"Yes...Kena," ucap Hendra bangga.

"Kakiku menyentuhnya nol koma lima detik lebih cepat darimu, jadi aku yang mengenainya lebih dulu," Luis tak mau kalah.

"Apa katamu?... mau berantem hah?" Hendra membentak.

"Kalian berdua... ini bukan saatnya main-main Wira sedang dalam masalah." Teriakku seraya menunjuk arah harimau besar itu.

"Wira?" Hendra terheran.

Hendra nampak terkejut, dan tersirat dari pandangannya seperti belum pernah melihat wujud asli Wira.

"Dia pernah berkata padaku, agar menjauhinya saat tubuhnya berubah... aku bahkan tak tahu bisa sebesar ini," Hendra nampak kagum.

"Tak ada waktu, kita harus segera menghentikannya sebelum seluruh taman ini porak poranda," Luis dengan serius mulai bergerak.

Hendra tak mau kalah, perlahan tubuhnya berubah menjadi kera berwarna emas berukuran lebih besar dari manusia dewasa.

"Hendra...." Wira berkata perlahan.

Luis berubah menjadi kepulan asap, melesat lurus kearah Wira yang berdiri dengan ke empat kakinya. Sedangkan Hendra melompat tinggi dari tempat asalnya, mengayunkan kedua tanganya yang ia genggamkan seperti sebuah palu.

Belum sempat kedua orang itu menyentuh nafas Wira. Tubuh Wira berangsur kembali, Wujud itu seperti sebuah ban kempes, dengan cepat mengembalikan Wira ke bentuk aslinya.

"Celaka...!" dengan sigap Hendra menghentikan serangannya, segera ia membelokkan tangannya tepat di sebelah tubuh Wira dengan pakaian compang camping. Hantaman keras di tanah bahkan membuat lubang berukuran hampir semeter dalamnya.

Luis hanya melesat melewati Wira, tubuhnya kembali memadat setelah berubah menjadi gas melewati tubuh yang kini tergeletak tak berdaya di depannya.

Hendra membungkuk, kedua lengannya meraih sahabatnya yang tak sadarkan diri. Dia menggendongnya perlahan. Tubuhnya pun kembali menjadi manusia meninggalkan wujud monyetnya.

Aku rasa aman sekarang untuk mendekati mereka, mataku kembali tertuju pada pria yang telah menyelamatkanku.

"Terima ka.."

"Ah, kurasa cukup untuk hari ini...tak kusangka ada wanara dan vampire juga," dia memotong kalimatku, dan terlihat memandang sinis ketiga pria di depannya.

Dia membalikkan badan, berjalan sekuat tenaga perlahan melewati rimbunan pohon di taman. Tanpa berkata-kata sosoknya hilang di telan kegelapan.

Luis terlihat memperhatikan sosok tadi, kemudian fokusnya kembali ke tubuh Wira yang terlihat tak terluka walau dengan pakaian yang hampir sepenuhnya menghilang.

. . .

Sekali lagi kami bertiga berada di rumah bu Rani.

"Kenapa kalian ini tak bisa setidaknya menjauh dari masalah," ucap bu Rani jengkel.

"Bu...Anda kan tau hampir semua makhluk yang berada di sekolah," Luis berkata dengan pandangan serius.

"Apakah ibu tau ada seorang anak pindahan lain yang bersamaan dengan kita?" Tanya Luis.

"Ah, kelas sepuluh itu?" jawab bu Rani.

"Kudengar tak ada masalah dengan anak itu, kenapa?"

"Bukankah dia juga bukan manusia?" Tanya Luis.

"Wajahnya begitu familiar bagiku, tapi entah dimana,"

"Sudahlah, kalian terlalu capek untuk masalah ini, biarkan Wira beristirahat disini kalian kembalilah kerumah," seakan menjauhi topik pembicaraan bu Rani seolah mengusir kami dari tempat itu.

Bukan tuk manusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang