sweet

107 3 0
                                    

Aku menatap Diana dengan penuh kerinduan yang sekarang tengah berdiri 3 langkah dari tempatku berdiri.

Air mata itu menetes seiring panggilan lirihnya, membuatku langsung menariknya ke dalam pelukanku. Sunggu aku merindukannya, merindukan shalehah yang sekarang ada dalam pelukanku.

"Saya merindukan kamu Diana!" Bisik-ku di telinganya yang membuat Diana semakin terisak dalam pelukan-ku.

"Diana juga merindukan,  Mas." Ucapnya seraya membalas erat pelukanku dan aku semakin menenggelamkan kepala-ku di cerukan lehernya. Menghirup parfum strowbery yang ku suka dari tubuhnya.

Sehingga aku merasakan tubuh Diana melemas dan merosot dari pelukanku. Aku sungguh panik di buatnya.

"Mbak Diana." Pekik Najwa.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung membopong tubuh isteri shalehahku ini ke dalam gendonganku. Membawanya ke rumah sakit terdekat.

________

Umi mengusap lembut pundak-ku seraya menenangkan-ku yang sedari tadi khawatir.

Kenop pintu terputar memperlihatkan seorang dokter cantik bersama asistennya. Dengan terburu-buru aku menghampirinya.

"Bagaimana keadaan istri-ku, Sya?" Tanya-ku dengan raut wajah cemas cemas harap.

"Kau tidak perlu khawatir, Mi." Ujarnya menepuk pundak-ku pelan, "isteri-mu baik-baik saja, Ia mungkin tidak teratur makannya dan banyak pikiran, sehingga tubuhnya drop." Jelasnya membuatku menangkup tangan berucap syukur.

Aku membuka kenop pintu seraya mengucap salam.
Mata kami bersibobrok.
Mata hazel berwarna safir itu meredup layu.

Aku menghampirinya, memilih duduk di sebalahnya.

"Saya sangat merindukan kamu,  Diana sayang." Ucapku seraya, memeluk tubuhnya yang masih terbaring lemah.

"Diana juga sangat merindukan, Mas Azmi." Balas Diana menatap lembut manik mata suaminya.

Aku melepaskan pelukannya dan kembali duduk di kursi semula. Semuanya nampak canggung saat aku dan Diana sama-sama memilih bungkam. Hanya sorot mata kami yang saling menatap.

Aku mengambil telapak tangannya dan menggenggamnya erat.

"Jangan sakit lagi," Lirihku sembari mengarahkan telapak tangannya ke pipi-ku.

"Aku hanya kelelahan, Mas." Balasnya seraya menarik kedua sudut bibirnya yang masih terlihat pucat itu.

"Kamu melupakan surat yang saya berikan untuk, kamu?" Tanya-ku membuat Dian mengernyitkan dahinya bingung.

Aku terkekeh geli saat melihat lipatan-lipatan kecil di dahinya. Dengan refleks tanganku langsung terulur untuk mengusapnya lembut.

"Saya menuliskan di surat itu, jika saya pulang. Saya tidak ingin menjumpai kamu sakit." Jelasku tersenyum tulus seraya mengusap lembut puncak kepalanya yang tertutup hijab.

"Maaf, Mas!" Lirihnya tanpa menatap wajahku.

Aku mendekatkan tubuhku kearahnya, mencium keningnya cukup lama sembari menatap manik mata berwarna safir itu. Rona merah di pipinya yang putih membuatku menyudahi mencium keningnya.

"Tidak apa-apa. Yang terpenting sekarang kamu cepat sembuh, karena…" kata-ku menggantung.
"saya rindu." Bisik-ku di telinganya sembari mengerlingkan nakal.

Rona merah itu. Senyum itu. Tatapan mata itu. Semuanya tampak nyata sudah mengisi hati-ku. Entah kenapa semua yang ada di dalam dirinya itu ingin aku lihat setiap kali aku ingin atau-pun bangun tidur.

Bolehkah aku mengucapkan kata, terimakasih kepada mereka,  kedua orang tua-ku karena telah menjodohkan-ku dengan perempuan shalehah. Bidadari dalam keluargaku.

________________

Aku menggenggam telapak tangan Diana dengan lembut, serta menuntunya di sebelahku.

Hari ini Ia tampak cantik dengan gamis panjang menutupi semua tubuhnya,  yang selalu membuatku tersenyum mengetahui hal itu. Tetapi hal itu tak membuat wajah pucat pasinya menghilang begitu saja.

"Ini rumah siapa, Mas?" Tanya-nya menghentikan langkahnya seraya menatapku.

"Ini rumah kita." Jawabku membuatnya mengerjapkan mata.
Memandang keseliling rumah dan menatapku secara bergantian. Seolah meminta jawaban lebih dariku.

"Ini rumah kita. Mulai sekarang kita tinggal di sini, berdua." Jelasku sembari menangkupkan kedua pipinya. "kamu suka?" Tanya-ku.

Senyumku mengembang saat melihatnya mengangguk sembari memberikan-ku senyum tulus.

Aku membuka pintu rumah dari bangunan di depanku ini. Rumah yang tidak terlalu besar, cukup minimalis. Di lengkapi taman bunga di samping kanan dan di samping kiri garansi mobil. Rerumputan hijau tertata rapi di seluruh sudut taman rumah. Tampak menyegarkan mata.

"Assalamualaikum,"

Aku mengucapkan salam bersamaan dengan Diana yang masih setia berdiri di sampingku, saat tanganku memutar kenop pintu.

Hal pertama yang terlihat saat memasuki rumah adalah, sofa bulu berwarna abu-abu yang terjajar rapi di ruang tamu.

Dengan hiasan dinding kaligrafi arab bertuliskan namaku dengan nama Diana yang terbingkai indah di dalam kaca.

Tak sedetik-pun aku mengalihkan tatapanku dari wajah teduh milik Diana yang tersenyum melihat seisi rumah kami. Mulai dari ruang tamu, ruang keluarga di lengkapi dengan TV LCD dengan di sisi kirinya Kaca besar tembus pandang yang menghubungkannya langsung ke kolam renang yang ukurannya tidak terlalu besar. Di sertai ayunan kayu di sisi kolam renang serta tumbuhan tumbuhan hijau yang merambat di sekitar dinding pembatas.

Air kolam yang begitu jernih membuatku bisa melihat pantulan wajah Diana yang tampak tersenyum begitu cantik.

"Kita lihat dapur dan ruang makan ya?" Tanya-ku yang hanya di angguki olehnya.

Diana melepaskan genggaman tanganku dan berjalan mendahuluiku saat melihat dapur dan ruang makan yang memang bersebelahan.

Tangan lembut dan putihnya menyentuh alat-alat dapur yang terjajar rapi di tempatnya seraya sesekali menolah kearahku dan tersenyum.

"Mau aku buatkan teh, Mas?" Tawarnya yang sudah berdiri di depanku.

"Nanti saja, sekarang kita ke kamar. Karena kamu harus istirahat. Ingat kamu tidak boleh terlalu lelah, karena kamu baru pulang dari rumah sakit." Ingatku yang hanya di angguki olehnya.

Aku sempat melihat raut wajah kecewa, tetapi detik selanjutnya wajah itu kembali meneduhkan.
Jemariku kembali bertaut di Jemarinya saat melewati beberapa anak tangga untuk sampai ke kamar utama.

Aku membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya di ikuti Diana di belakangku.
Kasur king size bersprei putih gading bersih menyambut kedatangan kami.

Gorden berwarna putih bercorak bunga lily dengan warna coklat susu itu melambai saat tanpa sengaja angin nakal itu masuk menyelinap dari jendela - jendela kaca besar yang memang di biarkan terbuka di sisi kananya. Dan di sisi kiri-nya di pintu penghubung kamar dan balkon tertutup sempurna dengan gorden berwarna senada diam di tempatnya.

"Kamu istirahat dulu." Ucapku membawa Diana mendekat ke arah king size.

Saat tubuhnya terbaring sempurna di atas kasur yang sepertinya sangat empuk ini. Aku menarik selimut bed cover untuk menutupi tubuh Diana.

Aku kembali duduk di samping Diana saat aku meraskan tanganku di genggam erat Diana. Membuatku tersenyum.

"Kamu harus istirahat juga." Pintanya.

Tanpa menjawabnya, aku melepaskan genggaman tangannya dan berjalan kesisi ranjang. Mengambil tempat di sebelah Diana. Mendekat kearah Diana serta membawanya tidur dalam pelukan-ku.

"Selamat tidur, sayang." Lirihku mengecup puncak kepala Diana saat mata itu sudah terpejam sempurna.

Berbagi Rumah SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang