Chapter 1

732 55 69
                                    

Pernahkah kau berpikir untuk mati saja, ketika apa yang kau lakukan selama ini tidak pernah kausukai?

Well, sepertinya aku punya teman di dunia ini.

Aku sendiri tidak pernah mengerti dengan Ayah. Awalnya dia mengatakan bahwa aku harus mencintai apa yang kulakukan. Namun, setelah itu ia malah mengatakan bahwa aku harus melakukan apa pun dengan cinta.

Dua kalimat itu sangat kontradiktif terhadap apa yang kualami saat ini. Pertama, Ayah bilang bahwa aku harus mencintai masa kuliahku yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kemampuanku--omong-omong, aku berkuliah di jurusan pengembangan teknologi robot--yang sebenarnya amat mahir di bidang menjadi agen mata-mata. Kedua, Ayah mengatakan bahwa aku harus melakukan apa pun dengan cinta.

Bagaimana aku bisa melakukan hal dengan cinta padahal jelas-jelas itu tidak kusukai dari awal?

Kurasa cukup namaku yang harus menjadi korban kegilaan Ayah terhadap Ilmu Pengetahuan Alam beserta cabang-cabangnya yang tak dapat kuhitung dengan jari. Aku harus mengakhiri ini.

Ya. Benar. Aku harus menggapai mimpiku yang ingin menjadi seorang agen mata-mata.

Semangat, Alen!

"Ms. Lauder!"

Daguku berhasil menyentuh permukaan meja dengan keras akibat sentakan dari Jorge--ehm, maksudku Mr. Lorenzo yang sangat menyebalkan itu. Mataku mendelik kesal ke arahnya yang mengangkat sebelah alis dengan tampang ala mafia jelek yang ingin sekali kuhancurkan dengan senjata nuklir.

"Kau melamun lagi," katanya. Pria berusia lima tahun lebih tua dariku itu membungkuk, lalu mendekatkan wajahnya ke arahku. "Jangan berpikir macam-macam mengenaiku."

Sekalipun aku lahir sejam setelah kau lahir, akan lebih baik jika aku memikirkan anjing gila yang tertabrak mobil kemarin sore. Dasar mafia Italia yang tersesat di Spanyol!

Mudah saja bagiku untuk menyemprotkan kalimat penuh makian itu dari mulutku sekarang juga. Namun, sebagai calon agen mata-mata, aku harus mengurangi intensitas berkata sarkas dahulu. Karena apabila aku benar-benar ingin menjadi agen, yang kubutuhkan adalah otak yang cerdas, bukan mulut penuh cerocos dan ucapan tak berguna.

"Mr. Lorenzo... maafkan aku karena melamun," kataku sambil memasang senyum termanis. "Tapi percayalah, aku sedang tidak berpikir macam-macam."

Anehnya, semua mahasiswa yang juga menjadi teman sekelasku hari ini kompak tertawa. Ada yang memukul-mukul meja, dan bahkan ada yang sampai berderai air mata. Tidak mau kalah, Mr. Lorenzo juga ikut-ikutan tertawa-tapi gaya tertawanya lebih mengarah ke menyeringai.

"Covalent Lauder, apakah masih sulit bagimu untuk membedakan wajahku dengan wajah Mr. Lorenzo?"

Mulutku membulat, begitu pula dengan mataku yang mendelik kaget. Buru-buru kubuka buku catatan di depanku dan menemukan nama Mr. Viñales tertera di jam mata kuliahku sekarang.

Jadi, lelaki dengan tampang mafia ini Mr. Viñales, bukan Mr. Lorenzo?

Alen, mengapa kau sangat bodoh?!

[.]

"Kau membuat masalah lagi?"

Kuperhatikan gerak-gerik Ayah yang sibuk dengan mikroskopnya. Meski begitu, ia terus saja menyerbuku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung kujawab.

Aku lantas mengembuskan napas kesal. "Si Maverick itu sangat berlebih--"

"Panggil dia Mr. Viñales. Meski ia seumuran denganmu, dia adalah dosenmu."

DNA | Marc Márquez ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang