Chapter 2

313 44 34
                                    

"Aku tidak menyangka akan bisa berkunjung ke laboratorium ayahmu dan melihat robot buatanmu, Ms. Lauder."

Aku tersenyum penuh paksa pada Maverick, mengingat nanti aku tidak akan pernah lagi melihat wajahnya di hari-hariku yang berharga. Aku akan lulus, memulai karir sebagai agen mata-mata, dan mencari pasangan yang sesuai dengan kriteriaku.

Usai melewati mata kuliah terakhirku—yang tentu saja membosankan—hari ini, Ayah menelponku dan mengatakan bahwa aku harus membawa serta Maverick untuk menunjukkan robot tampanku. Saat itu, alis Maverick bertaut, terlihat tak percaya bahwa aku bisa menyelesaikan tugas membuat robot dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Dia secara terang-terangan meremehkanku.

"Omong-omong, kau membuat robot berbentuk alat atau—"

"Manusia." Aku dengan cepat memotong. Rasanya ingin sekali aku menyambungkan kalimat 'Dan dia lebih tampan darimu' setelah kata manusia.

Maverick memasang raut wajah terkejut yang dibuat-buat. Aku tidak ingin membahas bagaimana ia membuat ekspresi menjijikkan itu sekarang. Sebab, kami telah tiba di depan laboratorium milik Ayah, dan wajah Maverick terlalu abstrak bagiku untuk dideskripsikan.

Ayah mengulurkan tangan pada Maverick sambil berkata, "Selamat datang di laboratoriumku, Mr. Viñales."

"Terima kasih karena telah repot menyambutku," balas Maverick menjabat tangan Ayah. Penuh basa-basi.

Kami pun melangkah masuk ke ruangan filter udara sebelum menuju ke ruangan di mana robotku terbaring. Aku berdiri di belakang Ayah, membiarkannya berdiri di samping Maverick selagi dosen sepantaranku itu tak henti mengajukan pertanyaan bak seorang reporter.

Lalu, pertanyaan menjebak untukku mencuat.

"Apa ini murni buatanmu, Ms. Lauder?"

Aku bergeming dan tak berkedip untuk beberapa saat. Ujian apalagi ini? Apa tidak cukup bagi laki-laki itu hanya dengan membuatku ditertawakan di depan teman sekelasku saat jam mengajarnya?

Ayah terkekeh. "Hampir murni buatannya," kata Ayah. "Aku sedikit membantu Covalent jika ia butuh bantuan."

Itu adalah salah satu alasan mengapa aku menyayangi Ayah.

Maverick manggut-manggut. Tangannya meraih lengan robot tampanku, kemudian ia dekatkan wajah abstraknya guna mengecek sesuatu. Kupikir ia sedang mencari letak besi yang seharusnya ada pada robot.

Nyatanya, ia bertanya tentang kekurangan robotku.

Untuk kedua kalinya hari ini, ia mengajukan pertanyaan menjebak. Aku curiga, Maverick memata-mataiku saat mengadu pada Ayah.

Aku berdehem, membuat tenggorokanku sedikit nyaman untuk berbicara. Mataku bergerilya ke arah mana pun demi menemukan jawaban. Di samping Maverick, ada Ayah yang tak kunjung angkat bicara dan terus saja membuatku merasa tertekan berada dalam ruangan ini.

Lalu aku teringat satu kejadian di hari kemarin.

"Dia tidak jauh berbeda dengan manusia! Defibrilator dan kardiograf bisa bekerja pada tubuhnya."

Apa yang baru saja kukatakan?

"Well, robotmu sangat keren, Ms. Lauder," puji Mr. Viñales sembari mengedikkan bahu. "Maka dari itu, kau tetap boleh mengikuti kelasku sampai kau lulus nanti."

Mataku dibuat mendelik karenanya.

"Bu-bukannya ini tugas sebelum kelulusan?"

Maverick tertawa renyah. Apa ucapanku barusan terdengar lucu? Saking lucunya, aku tidak bisa tertawa.

DNA | Marc Márquez ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang