Covalent tahu pasti, hidup harus terus berjalan. Tak peduli sesakit apa rasanya ketika orang yang amat ia sayangi pergi meninggalkan dirinya.
Mengetahui fakta bahwa hal itu pernah nyaris dialaminya, Covalent lantas menghela napas, membiarkan oksigen masuk ke paru-parunya dan mengusir karbon dioksida untuk keluar. Langkah kakinya membawa pergi gadis berambut pirang sepunggung itu tanpa sebuah tujuan di kepala.
Bila dipikir-pikir, Covalent memang seharusnya tetap menjalani hidup. Tidak ada alasan baginya untuk tidak meneruskan perjuangan menghadapi kehidupan sampai nanti ia harus meninggal dan menunggu giliran untuk bereinkarnasi.
Covalent menghentikan langkah dan memindai sekitar. Pandangannya terhenti pada sebuah pohon pinggir jalan yang menjulang tinggi namun tak jua dapat menggapai langit.
Gadis itu tiba-tiba saja menarik kedua sudut bibir, membentuk sebuah senyuman atas perasaan senangnya. Senang karena seseorang kini sedang melingkarkan lengan di sekeliling tubuhnya. Senyuman itu makin merekah kala orang tadi menaruh dagu pada pundak milik Covalent, dan berkata, "Rupanya kau di sini."
"Aku tidak tahu akan ke tempat ini lagi," balas Covalent. Ia membalikkan badan, membuat dirinya sekarang dapat menatap orang yang memeluknya dari belakang tadi.
"Mengapa kau selalu datang ke tempat ini setiap harinya?"
"Entahlah. Aku berjalan tanpa melihat sekitar dan berujung kembali ke tempat ini. Mungkin saja... karena setiap ke tempat ini, aku teringat pada Marc si robot tampanku," Covalent menjawab dengan tatapan menerawang ke arah pohon tadi. Lagi, ia mengulas senyum. "Betapa lucunya dia saat itu. Jatuh pingsan hanya karena terkena air hujan."
Lelaki di depan Covalent kontan mengernyitkan kening. "Dia lagi?"
"Kau cemburu?" Bukannya menjawab pertanyaan, Covalent malah balik bertanya. Keningnya malah ikut-ikutan mengerut.
"Siapa yang tidak cemburu bila kekasihnya sendiri membicarakan lelaki lain di depan mereka? Covalent, berhentilah membahas robot itu."
Kali ini Covalent malah tergelak. "Marc, dia itu robot yang menyerupai dirimu!"
"Intinya aku tetap cemburu. Untung saja Maverick menghancurkannya hari itu."
"Aku tidak menyangka, di balik tubuhmu yang berotot itu, masih ada kecemburuan terhadap sebuah robot yang rusak minggu lalu oleh karena drama aneh yang kalian buat."
"Itu bukan rencanaku, Covalent. Itu rencana kedua orang tuamu."
Marc mendengus kesal. Melihat hal itu, Covalent makin dibuat tergelak. Lucu saja melihat Marc, lelaki bertubuh atletis yang amat didambakan semua wanita termasuk dirinya, sekarang mengerucutkan bibir karena iri pada robot tampan berwajah serupa dengan laki-laki itu.
"Aku harus memberimu hukuman," kata Marc, segera memangkas jarak antara wajahnya dengan Covalent. Dan bak mengerti apa yang Marc rencanakan, Covalent pun menaruh kedua tangannya di bahu laki-laki itu, membiarkan dirinya tenggelam oleh tatapan intens dari dua bola mata kecoklatan yang meneduhkan perasaan gadis itu tiap kali balik menatapnya.
Marc tersenyum, begitu pula Covalent. Namun, makna senyum mereka berbeda. Karena begitu ujung hidung kedua sejoli itu saling bersinggungan, Covalent malah mendorong tubuh Marc agar menjauhi dirinya. Sembari memelototi lelaki di depannya, gadis itu berkata, "Ini bukan hukuman, Tuan Márquez."
Lagi, mereka kembali diselimuti keheningan. Udara pagi hari yang sejuk masih cukup bisa dirasakan meski sang surya mulai meninggi. Baik Covalent maupun Marc, masing-masing membiarkan wajah mereka tersiram oleh cahaya mentari selagi kepala memikirkan apa yang hendak mereka jadikan pembahasan selanjutnya. Sebetulnya, Covalent sendiri masih punya satu pertanyaan di saat puluhan pertanyaan di kepalanya mengenai skenario gila itu mulai terjawab.

KAMU SEDANG MEMBACA
DNA | Marc Márquez ✅
Fanfic[Marc Márquez and Cara Delevingne fanfiction] Untuk ukuran seseorang yang ingin menjadi agen mata-mata, masa kuliah Covalent Lauder yang berjurusan Teknologi Robot Masa Depan sepertinya sangatlah membosankan. Benar, membosankan. Sebelum Marc Márquez...