Tidak. Akhir dari ceritaku tidak seharusnya seperti ini. Aku bisa mengubah akhir cerita ini, sesuai dengan keinginanku.
Dan keinginanku tetap: Maverick harus mati.
Maka, kubuat tubuhku bangkit dari segala kesedihan yang menindihku. Membiarkan kemarahan membakar semangatku untuk mengubah akhir dari cerita ini. Kulangkahkan kakiku dengan hentakan penuh dendam untuk mencapai laki-laki berengsek bernama Maverick yang kini nyaris mencapai lift.
Maverick? Dia terkejut bukan main sementara antek-anteknya memilih untuk masuk ke lift dan meninggalkan bos mereka. Mata Maverick terlihat menghindari tatapan membunuhku, dan memilih fokus pada sebilah pisau lipat di tanganku yang siap menambah keabstrakan wajahnya.
Namun bukan Maverick namanya bila tak suka mengulur waktu. Karena sekarang, ia mencegah tanganku untuk melakukannya.
"Lepaskan tanganku, Berengsek!" hardikku padanya seraya berusaha melepaskan cengkraman tangan kotornya di lenganku.
"Ini tidak seperti yang ada di skenario!" Tiba-tiba saja aku mendengar sebuah rengekan keluar dari mulut sialan milik Maverick. "Aku tidak menyangka ia akan membawa pisau lipat."
Skenario? Apa dia sedang kerasukan?
Dengan posisi masih mencengkeram lenganku, Maverick berkata lagi, "Mr. Lauder, tolong aku...."
Tuan? Maverick Bodoh, aku gadis tulen!
Kudengar kekehan kecil dari arah belakang, yang kemudian berkata, "Alen, lepaskan Maverick."
Tunggu... itu suara milik--"Ayah?!"
Segera kubuang ke sembarang tempat pisau lipat yang ada di tanganku, kemudian berbalik badan dan memeluk Ayah dengan erat.
"Jangan bunuh Maverick," ujar Ayah saat mengelus rambutku. "Ayah tidak meninggal."
Saat itu juga, rasanya aku ingin melakukan roll tubuh ke depan untuk melampiaskan kekesalan yang bercampur rasa bahagia.
Lift mengeluarkan bunyi denting, dan membuatku spontan menolehkan kepala ke arah pintunya.
"Marc?"
Aku menggunakan tangan guna menutup mulutku yang terbuka lebar saking terkejutnya. Air mataku langsung jatuh begitu saja saat kuketahui, robot tampanku baik-baik saja.
"Tapi... kenapa kau malah keluar dari lift, bukannya dari mesin itu?" tanyaku kebingungan.
Atau sebenarnya Ayah membuat dua robot untukku?
Laki-laki yang kuketahui bernama Marc itu berjalan menghampiriku dengan tampannya. Ah, jangan lupakan senyum yang saat ini ia bentuk di bibir seksinya. "Halo, Covalent! Aku Marc Márquez, agen mata-mata profesional di CNBlue," katanya dengan sopan, masih dengan senyum manis yang tampaknya akan abadi terbit hanya untukku. Tangan kokohnya tersodorkan ke arahku dengan sebuah buket bunga. "Selamat atas bergabungnya dirimu di CNBlue."
"Aku... akan jadi agen mata-mata?" tanyaku tak percaya. "Ini nyata?"
Ellie--ehm, maksudku Ibu mengangguk di samping Ayah. "Ini semua ide ayahmu dan Ibu. Karena kami ingin mengetes sejauh mana kemampuanmu untuk menjadi agen mata-mata," kata Ibu seraya mengelus rambutku. "Maaf karena kami membuatmu harus menghadapi kesulitan akhir-akhir ini, Alen. Dan... sekali lagi maafkan Ibu untuk kesalahan yang selama ini Ibu lakukan. Ibu bukanlah ibu terbaik yang pernah ada, tapi percayalah bahwa tidak ada Ibu yang benar-benar membenci anaknya."
Air mataku lagi-lagi meluncur usai mendengar ucapan Ellie. Kuberikan wanita itu senyum terbaikku, dan maju untuk memeluknya.
"Aku benar-benar tidak menyangka ini semua hanyalah skenario," kataku pada Ayah dan Ibu. "Kalian semua memerankannya sangat baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
DNA | Marc Márquez ✅
Fanfiction[Marc Márquez and Cara Delevingne fanfiction] Untuk ukuran seseorang yang ingin menjadi agen mata-mata, masa kuliah Covalent Lauder yang berjurusan Teknologi Robot Masa Depan sepertinya sangatlah membosankan. Benar, membosankan. Sebelum Marc Márquez...