Chapter 10

131 24 17
                                    

Sudah lebih satu jam sejak dimulainya operasi Marc. Ayah belum juga memberikan kode padaku bahwa Marc akan baik-baik saja.

Di balik dinding kaca pembatas ruangan filter udara dengan ruangan tempat Marc berada sekarang, aku menyaksikan bagaimana Ayah berusaha untuk mengembalikan Marc seperti semula.

"Dia benar-benar bodoh karena mempercayai cyborg sialan itu."

Aku kontan menyipitkan mata ke arah Ellie yang berdiri dua langkah dariku. Ia turut melihat perkembangan operasi Marc sedari tadi, tentunya dengan sejuta umpatan dan kata penuh cela yang ditujukan ke Ayah. Namun, kali ini aku sedang lelah untuk berdebat dengannya sebab semua yang dikatakan Ellie memang benar, meski mengoyak hati. Baik itu tentang Ayah yang terlalu bodoh karena mempercayai Maverick sialan itu, juga aku yang bodoh karena tetap membiarkan Ayah mempercayai lelaki sialan itu.

Ellie mendengus kasar. "Kenapa dia lama sekali."

Kukepalkan kedua tanganku di masing-masing sisi tubuh. Wanita itu sudah hampir mengikis kesabaranku. Bisa saja tiba-tiba aku menamparnya agar berhenti mengoceh, bila Ayah tidak memberiku anggukan tanda bahwa ia menyuruhku masuk ke ruang operasi.

"Alen, bantulah Ayah memperbaiki Marc," ujar Ayah begitu aku tiba. "Sebelumnya, maaf karena Ayah tidak pernah mengatakan hal ini padamu juga orang lain--Ayah takut orang-orang yang hendak mencuri Marc akan memanfaatkanmu sebab sidik jari juga garis tanganmu berfungsi untuk melaksanakan program di tubuh Marc."

"Maksud Ayah?"

"Kau ingat saat malam di mana Marc berteriak kesakitan di ruangan ini, kemudian Ayah membentakmu karena menggenggam tangannya?" tanya Ayah, dan aku mengangguk. "Itu karena tangan Marc hendak merekam sandi untuk pengaktifan program. Dan begitu sistemnya siap merekam, kau menempelkan telapak tanganmu. Sebenarnya tak masalah bagi Ayah bila sandinya adalah sidik jarimu, hanya saja Marc saat ini benar-benar sedang diburu banyak orang jahat. Sehingga siapa pun yang mendapatkan Marc dan mengetahui bahwa kaulah si pemilik sidik jari, itu akan membuatmu benar-benar dalam bahaya."

Aku bergeming di tempat. Jadi itu alasan Ayah  membentakku?

"Mengapa Ayah menyembunyikan hal ini dariku?"

Ayah tersenyum tipis, membuat kerutan-kerutan di sekitar matanya menampakkan diri. Pria berumur itu meraih tanganku dengan lembut, tengah menyalurkan kehangatan yang sudah lama tak pernah kurasakan. "Ayah hanya tidak mau kau merasa terbebani," katanya. "Kau masih ingin berlatih menembak, bukan?"

Aku mengangguk.

"Alen,"

"Ada apa, Ayah?"

"Berjanjilah padaku untuk tidak pernah lagi membenci ibumu."

"Mengapa Ayah berkata seperti itu?"

Senyum di wajah Ayah tak juga pudar. Ia lalu menjawab, "Ibumu bersikap seperti itu untuk melindungimu dari orang jahat, termasuk Ayah."

"Kau tidak jahat, Ayah. Aku tahu itu."

Suara dengung panjang dari mesin kardiograf membuangku ke dunia nyata. Pandanganku yang semula kosong langsung beralih pada Marc di seberang yang memejamkan mata. Ayah sudah tak lagi ada di depanku, melainkan kini menyibukkan diri dengan berbagai macam alat yang bisa menghentikan dengung pemecah keheningan nan menyakitkan itu.

Aku tidak ingin Marc meninggalkanku. Apa pun alasannya.

"Alen, bantu Ayah!" seru Ayah dan membuatku langsung menghampirinya yang mulai berkeringat gugup.

Kurasakan kedua tanganku gemetar saat kulihat kondisi Marc. Separuh wajahnya kini tergantikan oleh bahan besi dan sebuah lampu yang meredup di bagian mata.

Saat ini, amat sulit rasanya meski hanya untuk menarik udara masuk seperti biasa. Paru-paruku seperti enggan berfungsi ketika mata ini menatap Marc yang tak kuketahui apakah akan selamat atau tidak. Kedua kaki yang menapaki lantai bak hanyalah sebuah status. Rasa-rasanya kini aku seperti tidak punya kaki, sebab tak lagi kumengerti bagaimana cara mengoperasikannya.

Beruntung, aku punya Ayah yang bisa menguatkanku bahkan di saat sulit seperti ini. Pria baya itu menggenggam tanganku untuk kedua kalinya dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam. Ia menghela napas berat kemudian berbisik dengan suara bergetar: "Apakah kau siap membantu Ayah?"

Kuanggukkan kepala dengan yakin. "Iya, Ayah. Aku akan membantumu untuk mengembalikan Marc."

"Ayah berjanji, ini terakhir kalinya Ayah meminta bantuanmu."

[.]

Aku mendapatkan fakta baru.

Semua ini berhubungan dengan alasan mengapa aku bisa begitu jatuh hati pada Marc, dan menyukai setiap bagian dari hidupnya.

Usai melaksanakan operasi dengan segala macam risiko yang diambil Ayah secara cuma-cuma dan tanpa pikir panjang, Ayah mengajakku duduk berhadapan di samping tempat tidur tempat Marc terbaring. Ketika kutolehkan kepalaku, Ellie sudah tak lagi berdiri dengan tatapan tajam di balik dinding kaca. Baguslah, dia tidak akan memperburuk suasana.

"Sedang mencari keberadaan ibumu?" tanya Ayah saat menyidik arah tatapanku.

Spontan, kugelengkan kepala.

"Kau tahu alasan mengapa Ellie amat membenciku?"

Aku menggeleng lagi.

"Karena aku ceroboh," kata Ayah sembari tersenyum pahit. Keningnya berkerut, seolah kepalanya tengah memutar sesuatu di dalam. "Aku membunuh Marc dan juga nyaris membunuhmu."

"Membunuh Marc?"

"Mungkin sudah lupa akan kejadian itu."

Aku menatap Ayah meminta penjelasan lebih. Sekalipun memori itu akan membuat hatiku sakit, toh itu merupakan risiko karena aku sendiri ingin tahu perihal kejadian yang menimpaku dan Marc. Apa yang sebenarnya terjadi pada kami berdua di masa lampau, bahkan apakah kami pernah saling mengenal dahulu, semua itu ingin kuketahui tanpa satupun hal terlewatkan.

Dan apa sebenarnya maksud dari rentetan kejadian tak biasa yang kuhadapi setelah Marc kembali hidup, sebagai robot tentunya.

Terus kuperhatikan Ayah yang kini menghela napas berat dan memijat pelan lengan kirinya. "Saat itu kau berusia empat belas tahun. Ayah hendak mengganti tangan kiri Ayah dengan bagian tubuh robot. Hari itu hanya ada kau di laboratorium ini. Sehingga Ayah meminta bantuanmu untuk menahan lengan robot itu hingga terpasang sempurna."

Tunggu. Aku ingat sekali kejadian itu. Kejadian yang membuat Ellie dan Ayah berpisah, lalu wanita itu mengawasi segala pergerakan yang dilakukan Ayah agar cyborg tidak berniat macam-macam—selerti hipotesis Zach.

"Aku ingat, saat itu aku bergerak terlalu banyak hingga lengan robotnya terlepas. Sialnya, ketika lengan robot itu menyentuh permukan lantai, benda itu malah meledak dan mengenai dirimu bila saja Marc tidak datang tepat waktu lalu menyelamatkanmu."

Aku bergeming. Jadi, laki-laki misterius berpakaian serba hitam itu... Marc?

"Yang aku tahu, saat itu kau terlihat sangat kagum pada Marc tiap kali ia lewat di depan rumah dengan seragam agen mata-matanya," kata Ayah lagi. Lalu senyum terbit di wajahnya selagi matanya menerawang. "Anehnya, kau tidak pernah berubah dalam hal memilih cita-cita, bahkan di saat ingatanmu hilang setelah kejadian itu."

Kali ini aku tersenyum. Memikirkan mungkinkah itu alasan mengapa aku sangat senang melihat Marc dan juga bisa menyukainya dalam jangka waktu yang singkat.

"Ah... iya, aku ingat satu hal lagi. Saat masih sekolah dasar, pipimu sering merona tiap kali Marc tersenyum ke arahmu. Dan kau pernah bilang bahwa kau akan menikah dengan Marc dan menjadi pasangan yang serasi," ujar Ayah lagi. "Waktu itu, kalian berdua terpaut usia dua puluh satu tahun. Namun sekarang, kalian berdua sudah terlihat seperti pasangan yang ideal."

"Kau selalu bisa menghiburku, Ayah." Aku berujar padanya, dan dibalas dengan senyum tipis.

"Maafkan Ayah karena membawamu ke situasi sulit bahkan sejak usiamu masih amat muda. Tapi, ketahuilah bahwa Ayah sangat menyayangimu, Alen."[]

. . .

30 Juli 2018

DNA | Marc Márquez ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang