XXXI. Hello, Father-in-law!

5.8K 245 26
                                    

Jawaban untuk pembaca yang selalu bertanya-tanya kapan cerita ini akan update:
Sebenarnya, sekitar tiga sampai empat minggu ke depan saya akan sangat sibuk dengan kegiatan ujian. Singkat saja. Mohon pengertiannya.

Bab 31: Hello, Father-in-law!

Melakukan perjalanan ke luar negeri memang melelahkan. Apalagi ketika menjadi perwakilan suatu yayasan sosial yang menyalurkan bantuan di negara miskin seperti Zimbabwe. Rasa lelah dan pegal itu kini dirasakan Morgan.

Setelah tiba di London siang tadi, dia bisa saja langsung ke apartemen dan beristirahat. Namun, dia tidak melakukannya. Banyak pekerjaan yang menumpuk. Rapat dengan bagian perencanaan bangunan mengenai proyek baru Emior C&B, memeriksa laporan perusahaan dan memantau pembangunan GM Mall. Untung saja, proyek satu itu akan selesai.

Ponselnya berbunyi cukup keras ketika Morgan berbelok di tikungan jalan dengan Bentley Continental-nya. Matanya melirik ke layar ponsel. Dia mendengus pelan, kemudian memasang bluetooth headset ke telinga.

"Kau di mana, Morgan?"

Suara yang selalu didengar saat berada di lingkungan kantor memenuhi indra pendengarannya. "Menuju Holland Park. Kenapa menelponku?"

"Apa submissive-mu tinggal di sana?"

"Tidak. Bahkan aku lupa kalau dia ada," ucap Morgan sekenanya. Dia tidak ambil pusing kalau lawan bicaranya bisa saja salah paham.

"Semoga kau tetap lupa dengan wanita ular itu. Aku sangat membencinya."

Morgan tidak menanggapinya. Dia hanya berpikir apa urusan si penelpon dengan submissive-nya?

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Morgan. Aku hanya tidak mau kau melalaikan pekerjaanmu karena wanita itu."

"Karena itu kau menjadi asisten pribadiku, Leonard Hamington."

Pria yang sedang mengemudi itu menekan klakson saat sebuah motor besar melintas di depannya secara tiba-tiba. Menjengkelkan. Pengendara itu bisa saja ditabrak olehnya atau kendaraan lain karena telah menerobos lampu merah.

"Jadi, kau menelpon hanya untuk membicarakan itu?"

"Tidak. Ayahmu meminta laporan kegiatan di Zimbabwe diberikan secepatnya."

"Kau saja yang buat. Aku terlalu sibuk untuk mengerjakannya."

"Memangnya ada urusan apa di distrik itu?"

Morgan mengamati jejeran rumah berhalaman luas setelah mengikuti petunjuk jalan di Holland Park. GPS yang dipasangnya juga berkata bahwa tujuannya telah dekat.

Seketika dia tersenyum. Tujuannya sudah di depan mata. Sebuah rumah yang dikelilingi pagar beton dengan tinggi sekitar dua setengah meter dan berwarna putih. Terlihat sangat berbeda dibandingkan rumah lain yang memiliki pagar besi rendah. Lebih tepat disebut benteng daripada rumah.

"Berkunjung ke rumah orangtua Cilia."

"Hah?! Untuk apa?"

"Tentu saja melamarnya. Lalu, apalagi?"

Tut.

Dengan kurang ajar, Morgan langsung mematikan panggilan itu setelah mendengar Leon menarik napas. Dia langsung melepas earphone itu dan menyimpannya di dasbor mobil. Telinganya pasti akan berdenging kalau mereka masih terhubung saat ini.

Lucky BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang