VII. His Mom and Game

12.3K 531 10
                                    

__________________________________________________________________________

Saya minta maaf atas keterlambatan meng-update part ini. Jujur saya bingung akan seperti apa jalan ceritanya. Saya sudah membuat konsepnya seperti yang saya pelajari, namun ide-ide lain datang tak diduga, sehingga saya bingung sendiri.

Hal lain yang menjadi keterlambatan saya adalah selama dua minggu ini saya melaksanakan ulangan. Jadi, untuk sementara cerita ini akan lama update. Maafkan saya...

Saya harap pembaca dapat memberikan komentar ataupun memberikan suara. Saya berterima kasih atas hal tersebut.

__________________________________________________________________________

Cilia mengetukkan jarinya di meja kantor. Jari-jarinya mengapit sebuah pena sedangkan tangan lain digunakan untuk memegang sebuah map yang berisi berkas. Matanya bergerak lincah, memindai setiap kata-kata per baris, memeriksanya dengan cermat dan memahami isinya dalam waktu singkat.

Ia menutup map tersebut, kemudian memindahkannya ke tumpukan map di sisi kirinya. Tangan kirinya mengambil lagi sebuah map dan mulai membaca, kembali membuat ketukan di mejanya.

Hening. Ruangan Cilia begitu hening, hampir tak ada suara apapun, terkecuali suara goresan pena yang berpadu dengan kertas.

Tok tok tok

Ketukan di pintu ruangannya tidak membuat pandangan Cilia teralihkan. Ia tetap membaca bahkan ketika pintu itu berderit dan langkah seseorang memenuhi ruangannya.

"Permisi Nona," ungkap seorang wanita sambil membawa troli yang di atasnya terdapat sebuah teko dan cangkir. Suara wanita tersebut sukses mengalihkan perhatian Cilia dan membuat pandangan Cilia sukses teralihkan.

"Merci Madame Villy," ucap Cilia sambil meletakkan berkas tersebut dan berjalan ke wanita itu. Villy tersenyum menanggapi dan meletakkan sebuah cangkir dan teko di meja kecil berkaki setinggi pinggul orang dewasa.

Cilia membuka penutup teko dan uap panas berhamburan keluar, air keemasan di dalamnya berbau harum. "Teh?" tanya Cilia heran. Pasalnya, wanita tua ini kerap memberinya kopi, juga tak pernah menawarkan teh namun kali ini berbeda.

"Saya perhatikan anda terlalu sering mengonsumsi kafein. Anda bisa sakit jika terlalu sering meminum kopi, Nona Louhan," ujar Villy, membuat Cilia tersenyum mendengarnya.

"Terima kasih sudah mengingatkanku. Anda sangat perhatian, Madame Villy."

Villy menggelengkan kepalanya pelan, kemudian membantah pernyataan Cilia. "Tidak. Anda yang perhatian, Nona Louhan. Anda sering membantu saya dari karyawan lain yang menindas saya. Maaf jika saya lancang Nona."

Cilia tersenyum, menarik tangan Villy dan menggenggamnya hangat. "Tidak Madame. Anda wanita yang sangat tangguh dalam menghadapi cobaan hidup. Bahkan saya sendiri tak yakin bisa setangguh anda jika diterpa masalah bertubi-tubi."

Villy menatap Cilia dengan mata yang berkaca-kaca, melepaskan genggaman tangan mereka, mengusap ujung matanya. "Saya berharap anda akan selalu tangguh walau diterpa badai dan berakhir bahagia."

"Ya.." Cilia menelan ludah, kemudian melanjutkan bicaranya, "Saya juga berharap seperti itu."

Villy menarik trolinya dan berbalik ke luar ruangan. Di depan pintu, ia membungkukkan badannya sedikit dan pergi dari ruangan Cilia setelah menutup pintunya.

Cilia mengusap pipinya dengan pelan, mendesah lelah. Ia menuangkan teh tersebut ke cangkir dan menyesapnya secara perlahan, membuat teh tersebut perlahan-lahan membasahi tenggorokannya serta menyalurkan rasa hangat dan nyaman ke seluruh tubuhnya.

Lucky BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang