Chapter 8

14.6K 957 14
                                    

Happy Reading💕

Willem datang mengunjungi sebuah tempat pemakaman umum bersama sang ayah dan kakak tertuanya, Keana. Pagi ini pada awal hari kamis menjadi peringatan bahwa sudah dua puluh tahun semenjak kepergian sosok wanita yang menjadi istri sekaligus seorang ibu.

Keana menyentuh batu nisan ibunya, meneteskan air mata karena merindukan sosok seorang ibu yang tak pernah tergantikan oleh siapapun sampai sekarang. Willem berlaku sama. Jika Keana masih sempat merasakan kehadiran sang ibu dan bermain dengannya, maka Willem tidak pernah. Ibunya meninggal setelah melahirkannya ke dunia. Bagi Willem tak ada sosok seorang ibu yang mampu menggantikan ibunya walaupun dia belum pernah merasakan bagaimana rasanya dipeluk dan dicium oleh sang ibu. Kebetulan ayah mereka pernah menikah enam tahun silam, tetapi hubungan itu kandas sebelum mencapai tahun pertama.

"Aku merindukanmu, Mom ..." Keana menangis histeris. Kalau boleh jujur, semenjak kepergian sang ibu, dia kesulitan mengurus Willem karena waktu itu umurnya masih tujuh tahun ketika Willem lahir. Dengan susah payah dan bantuan pelayan di mansion-nya, dia dapat mengurus dan mengajarkan Willem banyak hal. Meskipun begitu, adiknya masih kekurangan kasih sayang dari ibunya secara langsung walaupun dia tahu ibunya sangat menyayangi Willem.

Willem menarik sang kakak lalu memeluknya dan membiarkan kakaknya menangis. Sementara Frans berusaha tegar walaupun hatinya tergores tiap mengingat istrinya sudah tak lagi menemani. Akhirnya Frans ikut memeluk kedua anaknya.

Mereka bertiga berpelukan, menangisi sosok yang sudah lama pergi karena rindu.

∞ ∞ ∞

"Will, bagaimana progres hubunganmu dengan Deborah?" tanya Banyu penasaran. Sejak beberapa hari lalu, Willem tak pernah membalas pesannya.

Beruntung mereka sedang berada di kantin, jadinya tidak perlu dikeluarkan dari kelas karena berisik. Willem yang kala itu sibuk main game dari ponselnya hanya menjawab seadanya.

"Hm ... entah, sulit mendapatkannya."

"Kau menyerah begitu saja? Oh ya, nanti malam Felicia mengadakan pesta ulang tahun. Kau sudah menerima undangannya kan? Tidak berminat mengajak Deborah kesana? Karena Felicia menuliskan besar-besar di depan undangannya; bawa pasanganmu."

Kalimat Banyu sukses merusak fokus Willem. Dia segera menghentikan kegiatannya dan mengambil undangan dari dalam tas yang teman angkatannya berikan. Dan, benar saja apa yang Banyu katakana. Disana memang tertera untuk membawa pasangan.

"Haruskah aku mengajak Deborah? Aku tidak yakin dia bersedia ikut. Beberapa hari lalu saja harus menggunakan cara licik untuk membuatnya setuju pergi nonton denganku."

Banyu memicingkan matanya, menatap curiga. "Pergi nonton denganmu? Wah ... wah ... apa yang telah aku lewatkan, pangeran kodok? Apa tandanya Deborah sudah memberi sinyal untukmu menaklukan hatinya?"

"Belum. Mungkin karena terpaksa akhirnya dia setuju. Eh–tapi aku bertemu dengan Dina sewaktu jalan bersama Deborah. Dia kelihatan kaget dan ..." Willem kesulitan mencari kata apa yang tepat mewakili ekspresi Dina saat mendengar dia mengenalkan Deborah sebagai kekasihnya.

"Pasti tidak percaya. Iya kan? Ya jelas tidak percaya, wajah Deborah terlalu tua jika bersanding denganmu!" potong Banyu.

"Hm ... mungkin. Tetapi kalau Deborah bersedia datang ke pesta ulang tahun bersamaku, bukannya nanti ketahuan umur asliku? Aku tidak mau dia mengetahui semua identitasku sebelum aku yang memberitahu sesungguhnya."

"Tenang saja, Felicia sudah merayakan ulang tahunnya kemarin di New Zealand. Dia hanya mengadakan pesta dansa saja, tidak ada acara tiup lilin lagi atau potong kue."

"Benarkah?"

Banyu mengangguk. Kebetulan dia bertanya pada Felicia sebelumnya sehingga tahu acara seperti apa yang perempuan itu selenggarakan. Kalau tidak jelas, dia juga tidak berminat datang.

"Kalau begitu aku akan datang! Aku pamit ya, aku mau pergi menghampiri Deborah." Willem segera bangkit dari tempat duduknya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celananya.

"Sudah ku duga kau akan mengatakan itu. Memang ya, jatuh cinta bisa membuatmu berbuat seenaknya. Hahaha ..."

Gelak tawa Banyu yang menganggu membuat Willem harus menatapnya sinis. Harga dirinya sudah merasa terinjak oleh Banyu, lelaki itu akan lebih sering menjadikannya bulan-bulan bahan ledekannya. Tidak ada yang bisa Willem lakukan selain pasrah menerimanya.

"Apa aku baru saja mendengar sahabatku bernama Willem jatuh cinta?" timpal Selin yang datang tiba-tiba.

Niat Willem untuk pergi harus tertahan sebentar karena ada Selin. Oh cmo'n! Apa harus di saat seperti ini ada Selin? Biar bagaimanapun, Selin adalah perempuan. Walau Selin sahabatnya, perempuan seperti Selin yang senang bergosip ria bisa membeberkan apapun. Termasuk, ketertarikannya.

"Tidak. Tidak ada yang jatuh cinta." Willem menepis pertanyaan Selin yang membuat Banyu menaikkan satu alisnya.

"Kau yakin tuan Willem? Hm?" tatap Selin sambil mengedipkan matanya berkali-kali. Tak ada satu pun yang berani membohonginya, termasuk Willem dan Banyu. Karena mereka sudah bersahabat sejak kecil.

Willem menyerah. Tatapan Selin itu selalu berhasil membuatnya membeberkan hal yang sebenarnya Selin tak boleh tahu. Ah ... sungguh bodoh! Banyu terkekeh melihat hal ini, karena memang sudah sepantasnya Willem memberitahu Selin.

"Jadi, perempuan seperti apa yang membuatmu jatuh cinta?" Selin menaik turunkan alisnya menatap Willem penuh rasa ingin tahu.

Willem membayangkan sosok Deborah,. Kedua bola mata indah berbeda warna itu sangat menarik perhatian. Terlebih saat bibir sensualnya di poles lipstick berwarna merah. Ugh ... rasanya dia ingin menciumnya sampai lipstick itu berantakan kemana-mana. Bayangannya akan Deborah membuat Willem senyam-senyum sendiri.

"Well, sepertinya perempuan itu sangat menggoda. Benar bukan? Apakah ukuran dadanya yang membuatmu senyam-senyum?"

Pertanyaan seenak mulutnya Selin menimbulkan tawa Banyu yang tak biasa. Pasalnya pertanyaan itu terdengar terlalu frontal di telinga mereka. Willem sendiri sampai mengerutkan dahi menanggapi pertanyaan yang tidak pernah dia pikirkan akan keluar. Willem menatap aneh sahabatnya, lalu Selin memberikan cengiran.

"Ups! Maaf. Aku kelepasan," ucap Selin. "Tapi benar kan pertanyaanku?" Selin kembali bertanya.

"Selin, pikiranku belum sekotor itu membayangkan seorang perempuan. Aku menyukainya karena dia memang mempesona, bukan karena dadanya." tegas Willem memberi jawaban.

Selin kembali menatap Willem dengan rasa penasaran yang tinggi. Perempuan seperti apa yang mampu membuat sahabatnya terpesona? Dari dulu Willem tak pernah menyukai siapapun, tetapi sekarang dia mendengarnya jatuh cinta. Apa perempuan itu secantik Emma Watson? Atau se-seksi Kim Kardashian? Atau mungkin setinggi Nicole Kidman? Atau se-mungil Ariana Grande? Banyak kemungkinan yang Selin bayangkan, tetapi itu hanya bayangan angan-angannya saja. Belum tentu semua bayangannya benar.

Selin memicingkan matanya lalu kembali bertanya. "Memangnya perempuan itu seperti apa? Kau tidak ingin memberitahuku?"

Willem tersenyum licik sembari mencubit hidung Selin sebelum akhirnya bergegas pergi. "Itu rahasia."

Selin mengerucutkan bibirnya kesal. Dia segera beralih menatap Banyu, bersiap memburu lelaki itu dengan segudang pertanyaan. Menyadari tatapan memburu Selin, Banyu segera berlari mengejar Willem. Selain karena takut membeberkan, Banyu juga malas menjawab segala pertanyaan Selin nantinya.

"Hey! Kalian kenapa curang sekali! Will, Banyu–tunggu aku!" teriak Selin seraya berlari kecil mengejar kedua lelaki yang sudah berada jauh meninggalkannya.

∞ ∞ ∞

Jangan lupa vote, komen dan share💗

Kiss Me Until I Lost My Mind (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang