Hembusan angin pagi menerpaku yang entah sudah berapa lama duduk di atas pohon. Beberapa bintang masih bertebaran di atas sana. Aku suka melihat mereka dari sini, mereka terlihat sangat indah.
“Masyaallah! Anak perawan satu ini pagi-pagi udah nangkring di atas pohon! Turun Ndok! Kalo sampe dikira kuntilanak gimana?” seru wanita berdaster batik, yang baru saja keluar dari rumah sambil membawa tas belanja di tangan kanannya.
“Kenapa sih Bu? Pagi-pagi kok udah teriak-teriak?” Sosok bertubuh gagah itu keluar dan menghampiri kami.
“Lihat tuh, anak perawan Ibu pagi-pagi udah nangkring di atas pohon!” keluhnya, menunjuk ke arahku.
Aku hanya nyengir dari atas sini.
“Biarin aja Bu, ntar kalo laper juga turun sendiri!” dia mencoba menenangkan Ibu.
“Bener itu! Ibu mau ke pasar ya?”
Wanita itu adalah Ibuku. Ibu yang membesarkanku sejak kecil, dan dialah wanita yang paling sabar bagiku. Bagaimana tidak? Dia tak pernah sekalipun mengeluh dalam menghadapiku yang bisa dibilang hiperaktif sejak kecil.
Ditambah lagi dengan Kakakku, yang tak jauh berbeda denganku. Namanya Kemal, tapi aku lebih suka memanggilnya unta. Kemal dan camel tidak terlalu jauhkah? Lagipula wajahnya memang sedikit mirip orang Arab, terutama hidungnya itu.
“Iya, mau titip apa?”
“Nitip Es dawet deh Bu! Tapenya yang banyak ya!” es dawet dengan tape adalah jajanan faforiteku.
“Ya sudah, nanti Ibu belikan, kamu mau titip juga nggak Mal?” tanyanya pada si Unta.
“Enggak usah Bu!”
“Ibu berangkat dulu! Assalammualaikum!” Ibu berlalu meninggalkan kami. “Oh iya, halaman depan tolong disapu ya!” teriaknya saat sudah keluar dari halaman rumah.
“Iya Bu!” teriakku dari sini. “Unta, lo yang sapu ya! Gue masih betah di atas sini!” aku menyerahkan pekerjaan itu padanya.
“Dasar lo itu! Harusnya lo yang sapu, lo kan anak gadis!” gerutunya, tapi tetap menuruti permintaanku.
“Rajin amat lo? Adik lo mana?” seseorang baru saja memasuki halaman rumah kami. “Astagfirullah!!” pekiknya terkejut melihatku.
“Biasa aja kali!” pekikku melihat reaksinya yang berlebihan.
“Gila ya lo? Pagi-pagi nangkring di atas pohon mana pake baju putih, rambut lo nggak di iket lagi! kayak hantu penasaran tahu nggak!” sungutnya.
Aku turun dari atas pohon, “Suka-suka gue! Ngapain pagi-pagi ke sini?” tanyaku.
“Lo jadi pindah?” tanyanya terlihat sedih.
Aku bisa memaklumi kesedihannya. Aku, Unta dan Julian memang sudah lama bersahabat. Sejak kecil kami sudah terbiasa bersama. Bahkan kami selalu sekelas sejak dulu, walaupun sebenarnya aku lebih muda setahun dari mereka.
“Che, lo yakin baik-baik aja tinggal serumah sama Cheli?” si Unta yang sudah selesai menyapu segera bergabung bersama kami. (Che dibaca “Sie”, begitu biasanya aku dipanggil)
Cheli, kembaranku. Pernah dengar? Kalo saudara kembar tinggal serumah, maka salah satu diantara mereka akan sering sakit. Percaya atau tidak, itu benar-benar terjadi.
Dulu aku tinggal bersama bersama Papa Mama, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk memberikanku pada orang lain. Kebetulan, Tante Tiwi, maksudku Ibu, tidak mau menikah. Beliau memutuskan untuk mengangkatku sebagai anak.
Saat itu usiaku masih tiga tahun, tapi sungguh, aku sudah bisa merasakan sakit hati yang teramat dalam. Tahu apa alasan Papa Mama memutuskan kenapa aku yang di adopsi, dan bukannya Cheli? Karena dulu aku yang sering sakit. Aku tak sengaja mendengar pembicaraan mereka 14 tahun yang lalu itu.
Bukankah itu tak adil? Mereka menganggap anak penyakitan sepertiku harusnya pergi saja. Jika bukan karena Mas Kemal yang memaksa untuk tetap bersamaku, mungkin hidupku akan jadi sangat menyedihkan.
Aku rasa si Unta memang dewasa sebelum waktunya. Bayangkan saja, anak usia 4 tahun memaksa untuk tetap bersama adiknya dengan alasan rasa sayangnya pada keluarga, dan kewajiban melindungi adiknya.
Papa Mama memang sempat melarang, mereka tak mau berpisah dengan anak laki-lakinya. “Kemal anak jantan, Kemal harus sayang keluarga! Di sini ada Papa yang bisa lindungi Mama dan Cheli, tapi siapa yang lindungi Tante Tiwi dan Chefa kalo bukan Kemal?” aku masih ingat betul perkataan Mas Kemal itu, perkataan yang akhirnya membuat Papa Mama mengizinkannya pergi bersamaku.
Ibu dan Unta tak pernah membuatku merasa sedih. Kasih sayang yang Ibu berikan, jauh lebih besar dari kasih sayang yang kudapatkan dari Mama. Memang Mama yang melahirkanku, tapi Ibu tetap yang nomor satu bagiku.
Sejak aku menginjakkan kakiku di rumah ini, sekalipun aku tak pernah mau menemui Papa Mamaku. Aku selalu menutup kamarku rapat-rapat setiap kali mereka mengunjungiku. Sebenarnya, aku juga tak mau seperti ini, tapi mereka sendiri yang membangun jurang di antara kami.
“Kalo bukan karena Ibu, Che nggak akan mau Mas!” Mama memintaku kembali tinggal bersamanya, dan aku menolak. Tapi Ibu membuat kesepakatan denganku, aku harus tinggal setahun dengan mereka, jika aku tidak suka, aku boleh kembali tinggal bersama Ibu dan tak seorangpun bisa memaksaku untuk kembali pada Papa Mama.
“Tapi apa nggak sayang sekolah kalian yang tinggal setahun?” tanya Julian.
Memang jika dipikir, sayang juga kalo harus pindah sekolah. Aku dan Unta bisa saja tetap melanjutkan kelas 12 di sini, tapi saat lulus nanti akan sulit bagi kami untuk mengelak tinggal bersama Papa Mama. Mereka pasti akan meminta kami kuliah di Semarang. Berbeda jika kami meneruskan kelas 12 di sana, setelah lulus kami akan mudah membuat alasan untuk kembali tinggal di Jogja bersama Ibu.
“Justru kalo kita tinggal di sana sekarang, kita punya alasan untuk lanjut kuliah di sini!” Jawab si Unta.
“Apa lo bakal berubah dan membagi kasih sayang lo sama kembaran gue?” tanyaku ragu.
Kedua orang itu melihat ke arahku, pasti mereka berpikiran aku ini egois. Tapi harus kuakui aku tak mau berbagi kasih sayang Mas Kemal dengan kembaranku itu.
“Oke, kalian pasti bakal berpikiran kalo gue egois!” sahutku segera.
“Che, gimanapun dia, dia tetap saudara kita! Kita harus belajar menerima kenyataan itu!” jelas si Unta. “Tapi lo nggak perlu khawatir, kalo memang akan ada perang, gue ada dipikah lo!” lanjutnya.
Aku tersenyum kecil, walau aku yakin Mas Kemal tidak mungkin sepenuhnya ada dipihakku, setidaknya dia telah sedikit menenangkanku. Dia itu orang yang adil, pasti dia akan jadi penengah jikalau memang terjadi perang. “Emangnya lo bisa bedain gue sama dia?” selidikku, kudengar kami sangat mirip sampai sekarang.
“Bisalah!”
“Jangankan si Unta! Gue aja bisa bedain kalian!” Julian ikut bersuara.
“Nggak nanya!”
“Eh iya, gue hampir lupa! Tujuan gue ke sini kan mau ngajakin lo jalan ntar malem!” sahutnya.
“Lo nggak lagi ngajakin Che kencan kan?” tanya Unta segera.
“Aaa…” dia terlihat canggung.
“Unta, lo apa-apaan sih! Lagian nggak masalah kalo Macan ngajakin gue jalan!” aku memang memanggilnya macan, namanya Julian, aku plesetkan jadi Julion, lalu ditranslate jadi macan.
“Okelah, gue percaya lo nggak bakal macem-macem sama adek gue!”
“Emang lo mau ngajakin gue ke mana?”
“Pasar malem.”
Aku tersenyum kecil. Dulu aku pernah bilang ke dia kalo aku punya pacar, aku bakal ajak ke pasar malem. Naik dermolen (buat yang nggak tau, dermolen itu sama seperti bianglala), beli gulali, naik komedi putar, pokoknya aku bakal ajak mengingat masa kecil.
“Nggak romantis banget sih lo! Ajakin ke mana kek, danau atau pantai gitu!” cela Unta.
“So sweet!” pekikku dengan senyum yang masih mengembang. “Lo masih inget ya? Gue aja hampir lupa!” sambungku.
“Kayaknya ada yang nggak gue tahu nih!”
“Udah ah! Gue mau mandi!” aku berlalu meninggalkan mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold
General FictionBukan tentang sahabat ataupun kekasih, hanya sebuah kisah tentang kebencian yang dibalut kehangatan kasih sayang