Papa Mama udah menunggu di halaman rumah bersama Ibu dan Unta. Aku meminta Unta untuk mengemasi barangku semalam. Jadi kita bisa langsung berangkat waktu aku pulang.
Bunda dan Macan mengantarku pulang. Mereka ingin berkenalan dengan Papa Mamaku. Bunda memaksa jadi aku tak sampai hati untuk menolak.
Papa Mama masih terlihat sama seperti dulu, hanya saja mereka sedikit menua. Ini pertama kalinya aku melihat mereka setelah 14 tahun lamanya.
“Chefa! Mama seneng bisa ketemu kamu Nak!” Mama langsung memelukku ketika aku turun dari mobil Macan.
Aku hanya mematung, tak tahu harus bagaimana. Disatu sisi aku masih sakit hati dengan Papa Mama, disisi lain aku tak bisa bohong jika aku merindukan mereka.
“Papa seneng kamu mau tinggal lagi sama kita!” Papa ikut memelukku.
Aku memilih diam.
“Mbak, Mas kenalin ini Julian pacarnya Chefa, ini Bundanya!” Ibu memperkenalkan Macan dan Bunda.
Papa Mama melepaskan pelukannya dan menyalami Macan dan Bunda.
“Ya ampun Besan, akhirnya kita bisa ketemu juga!” sambut Bunda.
“Iya, saya seneng akhirnya bisa ketemu sama Mantu dan Besan!” jawab Bunda.
Besan? Mantu? Apa-apaan mereka? Lebay amat! Emangnya gue udah nikah sama Macan?!
“Ayahnya Julian nggak bisa ikut ke sini, lagi di luar kota. Nanti kapan-kapan kita main deh ke Semarang!”
“Kita tunggu lho!” jawab Mama sok asik.
“Julian kalo mau sering-sering main ke Semarang nggak apa-apa! Kita nggak ngelarang kok!” tambah Papa.
“Iya Om, Tante. Nanti saya sering-sering main ke sana.” Jawabnya dengan sopannya.
Setelah ngobrol ngalur-ngidul kamipun pergi. Kulihat Ibu sempat menangis saat mobil Papa keluar dari halaman rumahnya. Aku jadi ikut menangis karenanya.
Unta yang duduk di sampinggu merangkulku, mencoba membuatku merasa lebih baik.
Hampir setengah perjalanan, tapi tak ada percakapan di antara kami. “Cheli udah nunggu kalian sejak kemarin!” pekik Mama memecah keheningan.
Unta hanya tersenyum dan mengangguk, sedangkan aku lebih memilih diam dan membuang muka.
“Che, Mama bangga punya anak yang jenius seperti kamu!” pekik Mama lagi.
“Bangga? Karena akademikku bagus Mama bilang bangga sekarang? Dulu karena aku sering sakit Mama membuangku, dan sekarang bilang bangga? Haha, lucu sekali!” protesku dalam hati. Aku lebih memilih diam, Ibu bilang aku nggak boleh mengatakan sesuatu yang akan menyakiti Papa Mama. Jadi, daripada ribut aku lebih memilih diam.
“Chefa lagi sariawan, makanya dia nggak banyak ngomong.” Sahut Unta.
Aku tak memperdulikan perkataannya. Aku tahu dia ingin membuat Papa Mama merasa lebih baik.
Suasana ini membuatku mengatuk, aku tertidur disisa perjalanan.
***
“Che, bangun Nak! Kita makan malam dulu!” Mama membangunkanku.
Aku sudah berada di kamar ketika terbangun. Kamarku dan Cheli. Tak ada yang berubah dari kamar ini, semua masih sama seperti terakhir aku meninggalkan rumah ini.
“Yuk makan dulu, Mama udah siapin masakan kesukaan kamu!”
Aku mengangguk dan ikut dengannya menuju meja makan. Yang lain sudah menunggu di sana, termasuk Cheli. Kami saling bertatap untuk waktu yang sangat lama. Dia benar-benar mirip denganku, tatanan rambutnya, warna kulitnya, dia benar-benar sepertiku. Hanya saja penampilannya lebih feminim dariku.
Dia melempar senyum padaku, dan aku membalasnya.
Sama seperti situasi di mobil tadi, makan malam kali ini juga sangat sunyi. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold
General FictionBukan tentang sahabat ataupun kekasih, hanya sebuah kisah tentang kebencian yang dibalut kehangatan kasih sayang