Hpku bergetar, tanda ada pesan masuk. Secepat kilat aku meraihnya yang memang tak jauh dariku. Aku kecewa setelah membuka pesan itu.
Ternyata itu Evan, bukannya Julian. “15 menit lagi aku sampai.” Bunyi pesan itu.
“Oke.” Balasku yang tengah duduk di depan meja rias. Hari ini aku ikut Evan hunfot bersama anak fotografi yang lain.
Aku terus menatap layar hpku. Perasaanku tak karuan. Bukan karna Evan. Tapi karena si Macan tak menghubungiku sejak kemarin. Rasanya ingin kubunuh orang itu. Apa yang dia pikirkan? Bisa-bisanya menghilang begitu saja.
Anggap saja aku memang overprotektif. Memangnya salah, jika aku mengkhawatirkan Macan yang sedari kemarin tidak menghubungiku? Aku tak masalah jika memang dia sedang sibuk, setidaknya beritahu dulu, agar aku tidak khawatir. Apalagi kami terpisah kota. Jika tidak, sudah kudatangi rumahnya sejak kemarin.
“Che!” pintu kamar terbuka dan Unta muncul dari baliknya.
Aku menoleh.
“Evan udah di depan.”
“Oh…” aku segera bergegas.
Unta melihatiku. Aku tahu benar arti tatapan matanya itu. “Gue nggak ada apa-apa sama Evan. Gue pergi sama Evan juga si Cheli tahu kok!” jawabku sebelum dia melemparkan pertanyaan yang macam-macam.
“Iya Mas. Evan juga ngajakin aku kok! Akunya aja yang nggak mau, mereka tuh kalo hunfot emang berangkatnya pagi gini, ntar pulangnya malem. Seharian di luar, bisa-bisa aku jadi gosong. He..he..he..” sahut Cheli yang baru saja datang.
“Tuh dengerin!” tungkasku.
“Emang hunfot di mana?”
“Nggak tahu.” Jawabku dengan senyum polos.
“Biasanya di air terjun, kalo gak pantai. Pokoknya yang alam-alam gitu deh!” jawab Cheli yang memang lebih tahu. Secara, dia pacarnya. Sudah seharusnya dia tahu.
“Pantesan lo ikut, kesukaan lo tuh!” cibir Kemal.
Memang betul, aku suka tempat-tempat yang berbau alam. “Lo mau nggak mau ikut keluar Chel?” ajakku, siapa tahu Cheli ingin mengantarku sampai luar agar bisa bertemu kekasihnya.
“Aku barusan dari luar.” Cheli tersenyum manis padaku.
“Ya udah gue berangkat dulu!” aku berlalu meninggalkan dua saudaraku.
Evan sudah menyambutku bersama motornya. Tanpa banyak basa-basi lagi kami langsung berangkat.
“Che!” panggilnya setelah kami hanya berdiam saja sepanjang perjalanan.
“Apa?”
“Sebenernya anak-anak pada cancel hari ini.”
“Loh, terus gimana?”
“Ya udah.”
“Kok ya udah?”
“Ya udah kita tetep pergi.”
“Kemana?”
“Udah, nurut aja!”
“Oke.” Aku tak banyak bertanya lagi. Walau sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan, termasuk alasannya tetap mengajakku pergi.
Kami tiba di air terjun. Aku tak tahu nama tempat ini, maklumlah aku tidak pernah ke Semarang sejak Mama Papa menitipkanku pada Ibu. Maaf, ralat. Bukan menitipkan, tapi membuang.
“Van, airnya seger banget!” aku langsung saja berlari ketika melihat air.
“Che, kamu nggak bawa baju ganti kan?!” cegah Evan, tapi sayangnya aku sudah terlanjur masuk kedalam air.
“Ha..ha..ha… iya sih!” aku tertawa. “Gimana yaa? Udah terlanjur juga! Urusan belakanganlah masalah baju! Yang penting seneng-seneng dulu!” jawabku kembali bermain air.
Evan hanya melihatiku dari tepian. Dia tersenyum melihat tingkahku. Mungkin aku terlalu konyol baginya. Atau lebih tepatnya kekanak-kanakan.
Aku menghampirinya. “Kamu nggak mau main air juga?”
“Enggak deh!” tolaknya.
“Airnya seger lho Van!” bujukku.
“Enggak, kamu aja!” tolaknya lagi.
Aku kembali ke tengah-tengah. Bermain air dan menikmati kesegarannya. Sedangkan Evan masih saja melihatiku dari tepian. Aku tahu, dia mengambil gambarku diam-diam.
“Aduh! Duh! Duh! Kakiku kram!” teriakku seketika membuat Evan bergegas menghampiriku.
“Kamu kenapa Che? Kita ke tepi dulu yaa!” dia mencoba memapahku.
“Aku nggak apa-apa kok!” aku tertawa puas.
“Kamu bohongin aku?!” pekik Evan kesal.
“Abis kamu nggak mau ikut main air sih! Kan gak enak kalo main sendirian!” jawabku.
“Dasar kamu ya!!” dia memercikkan air kepadaku.
Aku membalasnya, dan kamipun perang air.
Aku sangat menikmati moment ini. Aku tak menyangka, ternyata Evan bisa seasyik ini. Yang kutahu, Evan itu orang yang terlalu kaku dan serius, imagenya cool di sekolahan. Kaget saja jika ternyata dia bisa semenyenangkan ini.
Puas bermain air, kami beristirahat sejenak. Kami duduk di atas batu besar, di tepian air terjun sambil menyantap jagung bakar yang masih panas.
Sekali lagi aku memergokinya yang memang daritadi curi-curi pandang padaku. “Kamu daritadi lihatin aku mulu, kenapa?” selidikku.
“Heran aja!” jawabnya singkat lalu memakan jagung bakarnya.
“Heran kenapa?”
“Aku kira kamu tuh dewasa, smart, dan normal.”
“Terus, ternyata aku kayak gimana?”
“Out of the box!” dia tersenyum.
Aku tertawa. “Maksud kamu aku aneh gitu?”
“Bukan aneh, tapi unik!”
“Bisa aja!” aku tersenyum.
Dia memandangiku lagi. Kali ini seperti ada yang ingin dia tanyakan.
“Kalo mau tanya, ya tanya aja!” pekikku membalas tatapannya.
“Ketebak banget ya?” dia nyengir.
“Mau tanya apa?”
“Gimana hubungan kamu sama Cheli?”
Jujur, aku malas jika harus membahas apapun yang ada hubungannya dengan keluargaku itu. “Biasa aja.” jawabku singkat.
“Kamu baru pertama ke sini?” dia mengganti topik.
Aku tersenyum. Pandai juga dia membaca suasana. Aku mengangguk.
“Pantesan!”
“Pantesan apa?”
“Pantesan excited banget!”
“Aku emang suka sama tempat-tempat di alam terbuka gini.”
“Mana aja yang udah pernah kamu eksplor?”
“Kalo di Jogja sih, hampir semua udah pernah. Ya kalo kota ini, tempat ini yang pertama.”
“Mau eksplor kota ini?”
“Mau nemenin?”
“Why not?!”
“No, Thanks!”
“Kenapa?”
“Harusnya kamu tahu jawabannya.”
“Cheli?”
Aku mengangkat sebelah alisku, mengiyakan pertanyaannya.
“Tempat ini namanya curug tujuh bidadari.” Dia selalu saja sigap mengganti topik.
“Sampai detik ini, hubunganku sama Cheli belum membaik. Jadi, aku minta tolong sama kamu, jangan sampai dia salah paham sama kita, dan membuat semuanya semakin rumit.” Aku menolak untuk mengganti topik.
“Aku ngerti, kamu tenang aja! Kamu marah sama Cheli?”
Aku menggeleng. “Aku sendiri juga nggak tahu Van! Mungkin aku cuma iri dengan takdirnya yang lebih baik dari takdirku. Kenapa harus aku yang dulu sering sakit-sakitan sampai Mama Papa membuang aku? Kenapa harus aku? Kenapa bukan dia? Belasan tahun aku jauh dari Mama Papa, dan saat aku sudah mulai terbiasa, mereka minta aku kembali gitu aja! Aku nggak pernah ngerti kenapa takdir bisa sekejam itu!”
“Kalo kamu tahu semuanya dengan baik, aku yakin kamu nggak akan mikir kayak gitu.” Pekiknya pelan.
“Maksud kamu?” aku tahu ada yang dia sembunyikan dariku.
“Balik yuk! Ntar kemaleman, nggak enak sama orang tua kamu!” dia beranjak mendahuluiku. Membiarkanku dengan pertanyaanku.
Sepanjang jalan aku larut dalam pikiranku. Apakah selama ini ada hal yang tidak aku ketahui? Apakah pemikiranku selama ini memang salah? Entahlah! Aku hanya diam. Aku ragu untuk bertanya.
Pikiranku tentang semua pertanyaan itu buyar ketika motor Evan sampai di halaman rumahku. Aku langsung meloncat turun dari motor dan menghampiri sosok yang tengah duduk di teras bersama Cheli.
“Macan!!!” teriakku antusias.
“Tega banget lo ninggalin gue seharian!” pekiknya.
“Lo lebih tega lagi! Dari kemaren kemana aja lo? Nggak ngabarin sama sekali! Kalo lo sibuk seenggaknya pamitlah!!” protesku.
Evan dan Cheli hanya tersenyum melihat kami. “Emm, Van masuk dulu yuk! Kita biarin mereka kangen-kangenan dulu!” sahut Cheli dengan seulas senyum.
Evan mengangguk, dan merekapun lenyap dari pandangan kami.
“Kangen yaa??” godanya.
Aku membuang muka darinya. “Lo nyebelin!”
“Janggan ngambek sayang! Aku sengaja nggak ngabarin kamu, soalnya aku mau kasih kejutan buat kamu! Eh, malah kamunya pergi sama Evan.” Jelasnya.
Aku kembali melihat ke arahnya. “Aku sayang kamu!!” pekikku dengan senyum merekah.
“Nah gitu dong!!” dia ikut tersenyum.
“Berarti, seharian kamu ditemenin Cheli?”
“Iya. Sama Kemal juga sih tadi, tapi sekarang dia lagi pergi ke rumah temennya.”
“Barter dong gue sama Cheli?” aku tertawa.
“Tega lo! Pacar dibarter-barter!”
“Tukar tambah boleh kali yaa??” candaku.
“Dasar!”
Hari itu, aku bahagia. Kami membicarakan banyak hal. Tentangku, dan juga tentangnya. Sebanyak apapun waktu yang diberikan untuk kami, tak akan pernah cukup untuk bertukar cerita sebagai pelepas rindu.
Aku tidak bisa berhenti menatap dua matanya yang berbinar bersama cerita-ceritanya itu. Aku tak pernah bosan mendengar kisah-kisahnya. Aku juga tak akan lelah menceritakan bagaimana aku merindukannya.
LDR sungguh menyiksa, tapi aku yakin kami bisa. Sejauh ini kami tetap saling menguatkan, kendati jarak memisahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold
General FictionBukan tentang sahabat ataupun kekasih, hanya sebuah kisah tentang kebencian yang dibalut kehangatan kasih sayang