Calon Mantu

29 7 0
                                    

“Eh, Chefa! Sini sayang masuk! Ibu kamu udah telpon Bunda tadi!” sambut Bunda ketika motor Macan memasuki halaman rumahnya. Keluargaku dengan keluarga Macan memang sangat dekat. Bunda dan Ibu udah kayak kakak-adik.
“Iya Bunda!” aku langsung mencium tangan Bunda.
“Kita langsung masuk yuk! Kamu pasti capek kan?” Bunda langsung menggiringku masuk.
Aku menurut saja.
“Ya ampun Bun, anaknya nggak disambut nih?” dengus Macan di belakang kami.
“Kamu ntar aja! Bunda mau nyambut mantu Bunda dulu!” jawab Bunda.
Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Bunda.
“Jul, kamu bikinin minum buat Chefa ya!” pekik Bunda saat kami sudah duduk di ruang tamu.
Macan langsung menuruti perintah Bunda.
“Kamu jadi pindah ke Semarang?”
“Iya Bun.”
“Pantesan!”
“Pantesan apa Bun?”
“Julian minta pindah ke Semarang.”
“Serius Bun?”
“Iya, tapi Ayahnya nggak ngebolehin.”
“Oh..”
“Bunda ngapain ngomong sih? Orang Ayah aja nggak acc!” dengus Macan sambil membawa dua gelas teh untukku dan Bunda. Dia langsung duduk di sampingku setelah meletakan dua cangkir teh di meja.
“Manis banget sih!” aku mencubit pipinya pelan.
Dia memegang tanganku, “Minum dulu! Teh hijau kesukaan lo!”
“Eh iya, diminum dulu Che!”
Aku mengangguk dan meminum teh buatannya. “Not bad!” komentarku.
“Bunda tinggal dulu ya! Nanti kamu anter Chefa ke kamarnya Sisil!” Bunda meninggalkan kami berdua.
“Iya Bun!” jawab kami serempak.
Aku menyandarkan diri pada sandaran sofa. Banyak hal yang aku pikirkan saat ini, tentang bagaimana aku menjalani hidup bersama orang tua dan kembaranku, tentang Ibu yang aku tinggalkan, tentang Macan yang harus LDR denganku, itu semua membuatku penat.
Macan duduk menyerong menghadap ke arahku. “Kenapa Che?”
“Gue lagi penat aja!” jawabku sambil memejamkan mata.
Dia membelaiku lembut, “Semua bakal baik-baik aja! Jangan khawatir, gue pasti jagain Ibu!” bisiknya lembut.
“Gimana kalo Cheli nggak suka sama gue? Gimana kalo gue nggak bisa ngendaliin diri gue? Gimana kalo gue bakal tiap hari ribut sama Papa Mama? Gimana kalo semua jadi semakin ribet?” aku melihat kepadanya.
“Lo bisa! Lo cuma perlu turunin ego lo!”
“Gue nggak bisa!”
“Cepat atau lambat, lo pasti bisa!”
“Entahlah!” “Tidur! Udah malem!”
Aku mengangguk.
Macan mengantarku ke kamar Sisil. Dia langsung kembali ke kamarnya setelah mengantarku.
Kamar Sisil mirip dengan kamarku dan Cheli dulu. Aku dan dia sangat dekat dulu. Kami tak pernah saling iri. Tiap salah satu dari kami menangis, yang lainnya ikut menangis. Seperti ikut merasakan, semacam ikatan batin. Entah, apa kami masih bisa seperti itu saat bertemu kembali besok.
Seseorang masuk dari pintu yang belum kututup rapat, “Chefa kok belum tidur?”
Aku langsung menghapus air mata yang sempat menetes tadi. “Ini baru mau tidur Bun!” jawabku.
“Kamu mikirin apa sayang?”
Aku menggeleng.
“Kadang kita harus jalani sesuatu yang nggak sesuai sama keinginan kita, dan saat itu terjadi, lebih baik kita menjadi seperti daun yang tak pernah mengeluh ketika angin membawanya.” Bunda memelukku.
“Makasih Bun! Chefa ngerti harus gimana sekarang!”
Apa yang terjadi biarlah terjadi. Jika semua memburuk, Mas Kemal tetap bersamaku dan Ibu selalu mendukungku. Jika semua membaik, tak ada lagi yang perlu ku khawatirkan. Baiklah, aku siap!
***

UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang