Aku keluar dari kamar sambil mengeringkan rambutku dengan handuk kecil. Si Unta sedang duduk di ruang tamu dengan wajah tertekuk seperti baju belum disertika. "Kenapa lo?" tanyaku.
"Masakin air buat gue mandi!" pintanya.
Aku langsung putar haluan menuju dapur. "Si Unta kenapa Bu? Kok wajahnya ditekuk gitu ya?" tanyaku pada Ibu yang sedang mencuci ikan.
"Putus sama pacarnya." Jawab Ibu singkat.
"Hah, kok bisa Bu?" aku mendekati Ibu.
"Nggak bisa LDR katanya!"
"Ibu emang tahu LDR itu apa?" ledekku.
"Ngejek orang tua ya kamu! Ya tahulah!"
"He..he..he..oh iya Bu, ntar malem Che mau pergi sama Macan." Aku mengambil panci di lemari bawah.
"Kamu nyari apa Che?"
"Panci Bu, Unta minta direbusin air buat mandi."
"Biar Ibu yang rebusin! Kamu hibur kakak kamu aja sana!" baru aku melangkah, "Oh iya, es dawet kamu ada di kulkas!"
Aku langsung mengambilnya.
"Kamu suka sama Julian? Udah siap LDRan?"
"Lihat nanti ajalah Bu!" aku langsung menemui Unta.
"Nih!" aku memberikan es dawet pada Unta. "Si Macan setia nggak ya?" pekikku sembari duduk di sampingnya.
"Maksud lo?"
"Feeling gue, ntar malem dia bakal nembak gue! Tapi masalahnya, besok kita ke Semarang, otomatis gue sama dia bakal LDRan. Apa dia bisa setia?" keluhku.
"Makanya gue putus, LDR nggak gampang Che!"
"Iya juga sih!"
"Tapi menurut gue, lo bisa kok LDRan!"
"Kenapa lo bisa mikir gitu?"
"Che, lo itu cewek yang limited edition! Jarang ada cewek yang kayak lo!"
"Emang, gue kayak gimana?"
"Nggak bisa ditebak! Jadi, pacaran sama lo itu nggak bakal ada bosennya!"
"Lo lagi muji gue, atau ngehina nih?!"
"Terserah lo mau anggap apa! Eh iya, lo udah prepare buat besok?"
"Belom. Lagipula apa yang perlu gue siapin?"
"Terserah deh!"
"Mal, airnya udah mateng!" teriak Ibu dari dapur.
"Gue mau mandi dulu!" dia meninggalkanku.
***
Kami menyusuri ramainya pasar malam. Tak seperti biasanya, malam ini Macan tidak banyak bicara. "Lo kenapa sih? Sariawan? Dari tadi diem mulu!" sungutku akhirnya.
"Gue lagi ngumpulin nyali!" jawabnya singkat.
Aku tertawa mendengarnya, "Ngumpulin nyali buat apa? Lo mau nembak gue? Ketebak banget sih lo!"
Dia melirik kesal, "Nggak bisa ya lo pura-pura nggak tahu?!" dengusnya.
"Oke, anggap aja gue nggak tahu!" ralatku. "Tapi ya Can, asal lo tahu aja! Sejak lo bilang, kalo lo suka sama gue, sejak itu juga gue nggak pernah buka hati buat cowok lain selain lo! Jadi gue rasa, kalo lo nggak sanggup nembak gue, nggak masalah kok!" sambungku.
Kelas 5 SD, masa-masanya cinta monyet. Waktu itu, si Macan pernah bilang "Che, gue suka sama lo! Lo jangan deket-deket sama cowok lain, gue nggak suka!". Bisa kubilang itu adalah ungkapan perasaan yang paling maksa, tapi aku suka itu.
Sejak saat itu, aku mulai luluh dengannya. Aku tak pernah membuka hatiku untuk yang lain lagi selain dia. Memang hubungan kami tetap berjalan layaknya sahabat, tapi kami sama-sama tahu kalo ada cinta di antara kita.
"Naik dermolen yuk!" dia menggandengku ke arah wahana pasar malam faforite kami itu.
Antriannya tidak panjang, jadi kami bisa langsung naik.
Aku melihat ke luar saat dermolen mulai berputar. Perlahan kami semakin naik, tapi tiba-tiba dermolen berhenti saat kami tepat berada di posisi tertinggi. "Ehh!" pekikku.
"Gue sengaja, minta tukang dermolennya matiin mesin waktu kita udah di atas!" sahutnya yang duduk di sampingku.
Aku tersenyum kecil, "Lo kebanyakan nonton sinetron! Lagian lo nggak kasihan sama penumpang yang lain apa?" sebenarnya aku suka caranya ini, bagiku ini romantis.
"Lo mau nggak, jadi pacar gue?" dia menatapku lekat.
Ini pertama kalinya aku melihatnya bicara serius denganku. Aku masih berdiam diri sambil menatapnya. Rasanya agak aneh kalo dia jadi serius begini, tapi aku menikmati moment langka ini.
"Buruan jawabnya! Waktu gue cuma lima menit nih!" rengeknya menghancurkan suasana serius ini.
"Lo butuh jawaban apa?"
"Serius dong Che! Gue deg-degan nungguin jawaban lo!"
Aku tertawa melihat tingkahnya, "Oke!"
"Oke? Jadi kita sekarang pacaran?" dia memastikan.
Aku mengangguk.
Dia melonjak kegirangan, membuat dermolen yang kami naiki bergetar.
"Biasa aja! Ntar jatuh kita!" aku menariknya duduk kembali.
Dia tersenyum lebar. Dia merogoh saku jaketnya, mengambil sebuah kalung. Kalung emas putih dengan bentuk hati bermata putih. Dia memasangkan kalung itu. "Lo cantik!" bisiknya sambil memasang kalung itu.
Dermolen kembali berjalan membuatnya sedikit terdorong ke arahku. Aku mendorongnya, "Gue emang udah cantik dari lahir!" pekikku.
Dia hanya tersenyum.
Perlahan dermolen yang kami naiki sampai bawah. Kami segera turun dan berjalan beriringan menuju kedai makan langganan kami. Kami segera duduk setelah memesan makanan.
"Can!" seruku membuka pembicaraan.
"Apa?"
"Lo setia nggak?"
"Kenapa nanya gitu?" dia keheranan karena pertanyaanku.
"Besok kan gue ke Semarang! Semarang-Jogja jauh Can! Apa kita bisa LDRan?"
"Tujuh tahun lebih kita HTSan, dan gue nggak pernah sekalipun berniat untuk berpaling dari lo, apa itu cukup menjawab pertanyaan lo?"
Memang benar, selama ini dia tak pernah sekalipun menanggapi cewek-cewek cantik yang mencoba mendekatinya. Padalah mereka jelas-jelas lebih baik dari aku.
Aku mengangguk.
"Udah, nggak usah mikir yang macem-macem! Cuma lo yang bisa bikin gue jungkir-balik demi bikin lo seneng! Bahkan waktu gue capek, senyum lo bikin capek gue pergi!"
Aku tersenyum kecil, "Idih! Belajar gombal dari mana lo?!" ledekku.
"Dari kakak lo!" jawabnya jujur.
"Eh iya, lo udah tahu kalo dia putus?" berhubung dia membahas soal si Unta, sekalian saja kubahas masalah Unta.
Dia mengangguk, "Wajar sih mereka putus!" komentarnya.
"Maksud lo?"
"Soalnya hubungan mereka flat-flat aja!"
"Flat? Kayaknya Unta sama Windi, enjoy kok sama hubungan mereka, kenapa malah putus?"
Windi itu pacarnya Unta. Dia teman sekelas kami.
"Gue tanya, tujuh tahun ini lo pernah nggak ngerasa bosen sama gue?"
"Kok malah bahas kita?"
"Jawab aja!"
"Enggak sih!"
"Kenapa?"
"Gue paham!" aku mengerti maksud pembicaraannya. Hubungan Unta dan Windi memang baik-baik saja, tapi hubungan itu terlalu biasa. Layaknya pacaran romantis ala sinetron. Berbeda denganku dan Macan, tujuh tahun HTSan tapi hubungan kita seru, nggak cuma sekedar romantis-romantisan. Bahkan tak jarang kami berdebat gara-gara parpol pilihan kami yang berbeda. Aku bisa menyebut hubungan kami cukup berkelas.
Makanan pesanan kami datang.
Seseorang menelpon Macan saat kami tengah menyantap makanan kami. "Kenapa?", dia memberikan handphonenya padaku. "Kakak kamu!"
Aku langsung menerima handphone itu. "Kenapa?"
"Lo masih lama nggak?"
"Kenapa emang?"
"Papa Mama udah di sini."
"Bodo amat!" aku langsung memutus telpon itu.
"Kenapa Che?" tanya Macan mengetahui perubahan mimik wajahku.
"Papa Mama udah di sini." Jawabku singkat. Aku kembali menyantap makananku.
"Che.."
Aku tak memperdulikannya, aku tahu dia pasti bakal menasehatiku. Aku tak masalah jika ada yang menasehatiku, asalkan itu tak ada sangkut pautnya dengan Papa Mama. Aku muak dengan itu.
"Che.." panggilnya sekali lagi.
"Lo tahu kan hal yang paling gue nggak suka!?" jawabku akhirnya.
"Che, apa lo nggak pernah ngelakuin kesalahan?"
Aku sudah tahu maksudnya. Aku pernah melakukan kesalahan, dan aku mendapat pengampunan. Dia mencoba untuk bilang, kalo aku juga harus memberi pengampunan untuk Papa Mama.
"Can, lo nggak tahu! Lo nggak tahu, gimana sakitnya dibuang! Mereka menganggap gue anak penyakitan, yang lebih baik diberikan ke orang lain!" tegasku.
"Che, lo inget waktu gue berantem sama Kemal? Lo sendiri yang bilang, kalo kita nggak boleh negthink sama orang, dan lo bener Che!"
Dia pernah bertengkar dengan kakakku. Unta dipercaya untuk ikut lomba fotografi yang sebenarnya sangat diimpikan Macan. Macan sempat marah karena kakakku tak memberitahunya. Aku memang bilang padanya untuk tidak negthink dulu, dan setelah dikonfirmasi ternyata Unta tak memberitahunya karena takut Macan kecewa. Setelah itu mereka kembali baikan.
"Gue pinjem handphone lo!" aku mengatungkan tangan. Aku memang tak membawa handphone. Aku jarang membawa handphone saat berpergian.
Dia memberikan handphonenya.
Aku sempat tersenyum kecil melihat looksreennya. Foto kami berdua, sebenarnya foto kami bertiga, tapi dia memotong foto kakakku. "Jahat lo sama kakak gue!" pekikku.
Dia tak menjawab.
Aku menelpon si Unta.
"Gimana Jul?"
"Ini gue!"
"Kenapa Che?"
"Papa Mama masih di situ?"
"Iya."
"Pamitin ke Ibu, gue nggak pulang! Gue nginep di rumah Macan!"
"Apa?! Gila lo ya? Dimana lo sekarang? Gue jemput!"
Macan mendelik mendengar perkataanku.
Aku tahu apa yang ada dipikiran dua cowok itu, pasti mereka mengira yang tidak-tidak dengan kata "menginap". Pikiran mereka langsung tertuju pada hal yang jorok, ketika mendengar kata itu. "Nggak usah panik gitu!" aku berbicara pada Unta sekaligus pada Macan.
"Gimana gue nggak panik, kalo adek gue bakal tidur bareng sama cowok?! Walau dia sahabat gue, gue tetep nggak bisa terima!"
"Dasar ya lo! Gue tidur sama Sisil lah! Lo pikir adek lo cewek apaan?!" tungkasku segera. Sisil itu adeknya Macan. Dia masih kelas 2 SD.
"Ya udah, besok gue jemput lo!"
"Terserah lo! Satu lagi, lo bisa suruh tamu kita tidur di kamar gue!" aku mematikan telponku.
Macan tersenyum manja melihatku.
"Idih, kenapa lo?" pekikku.
"Sisil lagi nginep di rumah Bu dhe, besok baru pulang! Kayaknya malam ini gue mau tidur di kamar Sisil aja deh!" godanya. Aku tahu dia hanya bercanda, dan aku jamin dia tak akan berani melakukan itu.
"Oh ya? Gimana kalo kita langsung tidur bareng aja di kamar lo?" tantangku.
"Next time aja deh! Kalo Bunda nggak di rumah!" elaknya.
Kami tertawa bersama.
"Eh, btw gue seneng lo peduli sama orang tua lo!"
"Kata siapa gue peduli? Enggak tuh!" tungkasku segera.
"Kalo nggak peduli, ngapain lo minta mereka istirahat di kamar lo?"
Aku tak bisa menjawab lagi, karena memang benar yang ia katakan. Sebenci-bencinya aku, aku tetap memeperdulikan mereka. Aku selalu menanyakan keadaan mereka pada Ibu. Aku merasa benar-benar bodoh, untuk apa aku peduli pada mereka yang tak peduli denganku.
"Tapi bagus sih, itu artinya masih ada kesempatan lo perbaiki hubungan lo sama mereka." Sambungnya.
"Balik yuk!" aku tak mau membahas masalah itu lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold
General FictionBukan tentang sahabat ataupun kekasih, hanya sebuah kisah tentang kebencian yang dibalut kehangatan kasih sayang