Guru Killer

42 7 0
                                    

Aku bernapas lega setelah berpisah dengan Cheli di lapangan tadi. Dia langsung ke kelasnya, sedangkan aku dan Unta harus ke ruang wakasek dulu untuk mengkonfirmasi  identitas kami.
“Sumpah ya Ta, gue nggak nyaman banget!” keluhku.
“Gue tahu kok! Emang lo bener-bener nggak bisa lupain sakit hati lo dulu untuk setahun?” jawabnya dengan mudahnya.
“Enak banget lo ngomong!” desisku kesal.
“Ya seenggaknya lo pura-pura semua baik-baik aja! Ibu juga selalu ngajarin lo untuk coba dengarin penjelasan mereka kan? Ibu nggak pernah mau lo kayak gini ke Papa Mama kan?” jelas Unta.
Jika kupikir, mungkin memang sebaiknya aku mulai melupakan masa lalu. Ibu juga selalu memintaku untuk memperbaiki hubunganku dengan mereka. Aku juga sebenarnya tak pernah mengharapkan ini terjadi.
“Gue bakal coba!” pekikku.
Kami langsung masuk ke ruang wakasek. Bu Sofi, kesiswaan sekolahan ini sangat banyak bertanya, tapi Unta menjawab semua pertanyaannya. Akhirnya setelah kurang lebih satu jam kami berada di sini, seorang cowok yang katanya ketua kelas kami datang menjemput kami.
“Nggak bisa ya lo datang lebih cepet?” dengusku saat kami keluar dari ruang wakasek.
Dia tersenyum, “Bu Sofi emang suka nanya macem-macem!” jawabnya.
“Oh iya, gue Kemal, ini adik gue Chefa!” Unta memperkenalkan diri sekaligus memperkenalkanku.
“Aku Evan.” Dia memperkenalkan diri. “Cheli mirip banget sama Chefa!” sambungnya.
“Lo kenal Cheli?” tanyaku segera, ternyata cukup terkenal juga kembaranku.
“Aku pacarnya.” Jelasnya.
“Oh, lumayan juga seleranya!” cibirku.
Dia tidak menjawab.
Kami sampai di kelas. Setelah mohon izin masuk, kamipun masuk. Semua mata tertuju padaku sambil berbisik-bisik mengenai Cheli. Aku rasa berita tentangku sudah menyebar sebelum aku pindah ke sini.
“Silahkan masuk!” Guru beralis tebal itu mempersilahkan kami masuk.
“Terima kasih Pak!” jawab kami serempak.
“Kamu boleh kembali ke tempat, dan kalian berdua bisa memperkenalkan diri!” sambut guru itu.
“Nama saya Kemal Ardian, saya pindahan dari Jogja, saya harap kita bisa berteman baik!” Unta terlebih dahulu memperkenalkan diri.
“Nama saya Chefa Rinjani, saya juga pindahan dari Jogja, semoga kita bisa berteman baik!” aku juga memperkenalkan diri.
“Kemal, kamu boleh duduk!” Guru bertampang sangar itu mempersilahkan Unta duduk. Feelingku nggak enak, pasti aku bakal dikerjain sama guru yang satu ini. Dari tampangnya saja aku tahu kalo dia orang yang menyebalkan.
“Jadi, kamu saudara kembarnya Cheli?” introgasinya.
“Iya Pak.” Jawabku.
“Harusnya kamu masih kelas 11 seperti Cheli, bagaimana bisa kamu di kelas ini sekarang?” pertanyaannya terdengar seperti meremehkanku.
“Waktu masih paud, guru saya menyarankan saya untuk langsung ke taman kanak-kanak saja.” jelasku tanpa panjang lebar.
“Apa kamu tidak sulit mengikuti pelajaran yang setingkat di atasmu?” sekali lagi aku tak yakin apakah ini pertanyaan atau hinaan.
“Sejauh ini tidak Pak!”
“Kalo begitu, coba kamu kerjakan soal dipapan tulis itu!”
Aku melihat ke papan tulis. Pelajaran kelas 11, Bab limit. Aku kerjakan saja, soal ini tidak terlalu sulit, memang banyak identitas trigonometri yang harus kugunakan, tapi sebenarnya ini mudah. “Sudah Pak!” pekikku saat selesai mengerjakan soal itu.
Teman-teman sekelasku menggeleng heran. Seperti mereka tak percaya bahwa aku sudah selesai mengerjakan soal itu.
Beliau bertepuk tangan diikuti teman-teman yang lain, “Jawaban kamu benar! Bagaimana bisa kamu dan Cheli sangat jauh berbeda! Kalian sangat bertolak belakang! Anak yang langganan mendapat nilai 3 diulangan saya, ternyata punya kembaran yang sangat cerdas!” Aku tahu itu pujian, tapi aku tak suka cara bicaranya yang seolah merendahkan saudaraku.
“Maaf Pak, tidak seharusnya anda membanding-bandingkan murid, sekalipun dia adalah kembaran saya. Setiap orang punya kelebihannya masing-masing!” tegasku.
Seisi kelas tercengang melihatku. Bapak guru yang menyebalkan ini juga tertegun dengan perkataanku barusan.
“Kamu boleh duduk!” dia memintaku untuk duduk.
“Evan, hati-hati! Chefa saingan yang berat untuk kamu!” sambungnya lagi saat aku sudah duduk di samping Unta. Pasti Evan murid terpandai di kelas ini.
Aku mengangkat tangan.
“Ada apa lagi?” tanya bapak guru itu.
“Kenapa Bapak menginginkan kami bersaing? Bukankan lebih baik kami bekerja sama? Dalam persaingan hanya satu di antara kami yang unggul, sedangkan jika kami bekerja sama, kami bisa unggul bersama-sama.” Protesku.
Unta menginjak kakiku, “Hari pertama udah cari masalah!” bisiknya.
Suasana kelas kembali menegang. Bahkan suara bel pun tak dapat memecahkan ketegangan yang telah ku buat.
“Baik, pelajaran saya akhiri!” beliau menutup jam pelajarannya. Setelah merapikan bukunya, beliau sudah hampir meninggalkan kelas sebelum berkata, “Chefa, saya suka pemikiran kamu!”
“Terima kasih Pak!” jawabku bingung sebenarnya.
“Hai!” seseorang menghampiri mejaku. “Tadi itu hebat banget! Pertama kalinya ada yang bikin bungkam Pak Rowi.” Lanjutnya.
Aku hanya tersenyum.
“Oh iya, namaku Hana.” Dia mengulurkan tangan padaku.
Aku dan Untapun menyambut uluran tangannya bergantian. Hana orang yang ramah. Dia juga manis.
Anak-anak kelas ini ramah. Mereka menyambut kami dengan baik. Kami juga langsung mendapat teman. Terasa banget kekeluargaan dan kekompakan kelas ini.
Aku hampir meninggalkan kelas saat aku mendengar petikan indah permainan gitar, “Kalian duluan aja!” aku meminta teman-teman yang lain untuk duluan saja, kami mau ke kantin rencananya.
Evan memainkan lagu Slank yang berjudul cinta kita, itu lagu faforite Macan. Aku memperhatikannya yang sedang bermain gitar tanpa bernyanyi.
Merasa kuperhatikan, dia menghentikan permainan gitarnya dan melihat ke arahku.
“Lo jago main gitar ya?” seruku sebelum dia sempat berkata apapun.
“Enggak juga.”
Aku berjalan ke arahnya yang duduk di atas meja, dekat meja guru. “Itu lagu faforitenya pacar gue!” aku duduk di kursi guru.
“LDR?”
Aku mengangguk.
Handphoneku bergetar, ada telpon dari Macan. Baru juga dikangenin udah telpon aja nih orang.
“Kenapa? Kangen lo?”
“Gue cuma mastiin aja, kalo lo nggak lagi genit di sana!”
“Ganggu aja sih lo! Gue lagi godain pacar orang nih!”
“Wah, parah lo! Jadi PHO!”
Aku tertawa, “Hahaha..Btw, namanya Evan, pacarnya Cheli.”
“Jadi, lo sekelas sama pacarnya kembaran lo?”
“Iya.”
“Jangan direbut!”
“Enak aja! Enggaklah! Lagian dia bukan tipe gue!”
“Ya udah ya, gue balik ke kelas dulu!”
“Emang lo lagi di mana?”
“UKS.”
“Lo sakit?”
“Enggak, nemenin Tono.”  Tono itu teman sekelasnya.
“Oh ya udah! Take care! Nggak usah ganjen lo!”
“Tenang aja, gue kan Macan, bukan buaya!”
“Serah lo deh!” aku memutus telpon.
“Pacar kamu?” selidik Evan.
“Iya.”
“Oh..”
“Eh iya, gue mau nanya, anak kelas 12 udah nggak wajib ikut ekstra kan Van?”
“Iya. Kenapa emang?”
“Nggak apa-apa sih! Gue males aja kalo suruh ikut ekstra!”
“Dulu kamu ikut ekstra apa?”
“Fotografi.”
“Mau ikut hunfot nggak? Besok sabtu anak-anak fotografi pada mau hanfot.”
“Pengen sih, tapi kan gue nggak kenal sama mereka.”
“Gampang, ntar aku kenalin!”
“Emang boleh?”
“Aku ketuanya, mana mungkin mereka bisa nolak!”
“Lihat ntar deh!”

UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang