Murkanya Kapal Besi

320 27 8
                                    

Teriak tak berujung itu datang dari semua sudut, bergetar dan saling bersahut, menyampaikan pesan dari murkanya laut.
"Air naiiiiiik, Air naiiiiikk, Air naiiiiik".
Tak satupun kulihat senyum di wajah mereka, Tatapan nanar bak Pagi yang menghirup gelap Malam dengan lahapnya, dan memancarkan titik tiik cahaya kebingungan di setiap sudut kota.
Ketakutan itupun terkuak dari setiap wajah wajah yang bergantung hidup dalam perlarian tanpa tujuan.
Mereka tahu apa yang akan terjadi, Mereka merasakan apa yang di takuti.
Tapi Mereka tak pernah tahu apa itu Tsunami.
Aiiiiiir....?
Tidak, tidak,
itu bukan air yang ku kenal.
Itu bukan air biru yang sering ku kunjungi.
Itu bukan air yang bersahabat dengan ku selama ini.!!!
Dan itu bukan air yang pernah menghiasi indahnya pesisir pantai ku. Kata kata yang sesekali terdengar di pengeras suara dalam 5 waktu, terdengar dengan merdu dari ruang yang ada di tiang tiang tinggi dalam pemukiman Masjid.
Terdengar dekat di telingaku.
Pelan, begitu pelan, hampir tak bersuara.
Sekilas hanya bibir yang tampak bergetar, suara yang nyaris putus asa itu keluar, tetap bernyawa dan begitu ikhlas.
"Innalillahiwainnailaihirojiun, Innalillahiwainnailaihirojiun, Innalillahiwainnailaihirojiun"
Beberapa dari kami meneriakkan itu dengan tangis, hinggah telinga begitu perih merasakan kalimat itu.
Terulang dan terus menerus ketika mereka melihat lumpur yang membawa kayu,
lumpur yang membawa besi,
lumpur yang membawa pecahan benda benda tumpul dan benda tajam lainnya.
Bahkan tak lupa dia membawa keluarga, saudara, dan orang orang yang pernah kami kenal.
Tapi kami begitu lemah, kami hanya bisa melihat dan berteriak.

"Ya Allaaaah, kapaaan ini akan berakhir,,?"
Lirih sedih seorang Ibu, Ibu yang tak lepas dari kendali buah matanya. Dia terus menerus melempar pandang ke tak tentu arah, mencari kematian yang terapung di atas lumpur.
Himpitan himpitan suara di dalam lumpur, bak gemuruh yang mengertak gerimis agar menjadi hujan, sedikit berdenyit layaknya gemeretak gigi gigi yang lelah hadapi malam.
Barisan lalu lintas manusia menghindari percik percik air yang bernyanyi di dasaran Bumi.
Menampar kaki kaki telanjang, bahkan sebagian melilit pergelangan kaki.
Perlahan, kemudian menelan tubuh tubuh yang tak mampu lagi berjuang.
Kami bagai penonton film Action India.
Film yang bercerita hadirnya emosi emosi manusia yang menjadi tali dalam melakukan kejahatan, dipisah oleh dinding aparat kepolisian.
Tak satupun warga dapat melakukan tindakan, hanya harapan akan datang nya seorang pemuda yang bisa merubah semuanya dalam akhir waktu yang di tentukan.
Bimbang, dan duka dari setiap wajah wajah yang meraih tempat tertinggi, meraih keselamatan dari bencana Pagi.
Ini takdir yang tak bisa dirubah, tak ada yang bisa menghalangi, dan tak ada yang bisa kembali.
Hinggah waktu yang telah di tentukan akan berakhir dengan kuasanya.
Lumpur itu mengalir dengan deras beriring dengan derasnya air yang mengalir dari pipi pipi wanita yang tak tahu dimana keluarga mereka,
bibir bak mesin yang tak hentinya mengucap takbir.
Tanpa paksa, tanpa sadar, dan tanpa rencana.

Sekumpulan kulit putih mengucap ampun dan maaf, takbir untuk Allah yang maha besar bergaung dari mulut mereka.
Tak ada lagi Idealisme tentang apa yang mereka percayakan, apa yang mereka anut.
Seketika alam bawah sadar mereka, membentuk kata yang tak pernah terucap.
"Allaaaaah hu akbaarrr".
"Allaaaaah hu akbaarrr".
"Allaaaaah hu akbaarrr"
Gambaran kiamat terpapar di benak mereka, sebagian besar dari mereka tak pernah mengenal Allah.
Kini mereka lantang mengatakan kebesaran Allah.
Percaya akan Rukun Iman dan yakin bahwa Allah Maha Pelindung.

lumpur itupun semakiiin berlimpah dan bergerak buas ke seluruh kota.
Melaju cepat, seperti air terjun yang jatuh dari ketinggian tak berbatas,
tak ada kesulitan meluncur dengan apa yang telah tahluk dihadapannya.

Dia menghempas tanpa ampun, beberapa rumah hancur, terseret dalam goyangan besar, hinggah melebur dengan lumpur.
Gelombang besar pun datang, dari jauh tampak bayangan harapan mengikutinya. Seperti sosok raksasa kegelapan yang berayun diatas gelombang.
Semakin dekat dan ikut menghempas apapun yang di lewatinya.
Mengajak satu persatu warga untuk ikut dalam arus satu arah.
Matahari pun melukiskan gambaran besar dengan sinar redup bencana pagi.

Apakah ini akhir dari sebuah kehidupan?
Bayangan pun berubah menjadi Bahtera Nuh yang ingin menyelamatkan kami dengan nahkoda utusan Sang Kuasa.
Tapi,,,
Sebuah keinginan yang tak menjadi sebuah kenyataan.
Ini sebuah kapal buas tanpa nahkoda, bukan Bahterah Nuh.
Aku menatap dengan jelas ketika dia semakin dekat.
Ini akan menjadi sebuah kenyataan.
Kapal dengan berat 2.600 ton, dengan panjang 63 meter, dan lebar 19 meter.
Sebuah Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel, (PLTD) itu kapal yang selama ini bersandar di Pelabuhan Ulee Lheue.

Kapal yang selama ini memberi cahaya kepada kami saat malam.
tak terbayangkan oleh kami air dapat dengan mudah menyeret kapal tersebut.
Dengan mudah menggiring kapal tersebut di jalan yang tak sepantasnya dia lalui,
tak ber-nahkoda tapi seakan dia tahu tempat yang akan dituju,
terus hinggah ke suatu tempat dimana dia akan berlabuh, dia menghantam beberapa rumah dalam diam dan akhirnya terdampar di pemukiman warga.

Dia lelah menjadi cahaya malam, atau mungkin dia telah lama menantikan ini, puluhan tahun dia menjadi cahaya di Bali, Pontianak, dan terhenti di tempat kami karena krisis listrik di tempat kami.
dari tahun 1997 dia lelah hanya diam di pinggiran pantai,
memberi tanpa tahu siapa yang pantas dia beri,
kapal yang tak pernah terkenang dengan awak awak yang terlupakan dengan tugas yang dianggap tak berguna, tak dikenal, bahkan tak seorangpun ingin tahu darimana cahaya yang mereka dapatkan.
Ini mungkin balas dendam,
mungkin juga kapal besi ini murka karena tak diperhatikan oleh sebagian orang yang dia terangi malamnya.
Dan mungkin ini juga mimpi sebuah kapal besi yang berkorban dari tahun 1997 agar dapat dikenang dan menunjukan bahwa dirinya ada, diantara mereka yang melupakannya.

Dia berhenti di pemukiman warga, inilah tempat akhir kapal besi itu.
aku terdiam, hatiku menangis, tak bisa berbuat banyak untuk orang yang mengandungku selama 9 bulan, dan untuk orang yang mengasuhku saat Ayah dan Ibuku sibuk bekerja.
mereka ada disana, dalam jerit dan ketakutan atau syahid dalam kematian.
aku berharap mereka tenang dan tersenyum saat kapal tersebut menarik paksa mereka, terus memaksa mereka agar menjadi penopang dimana kapal itu berlabuh.

"ibuuuu, kakaaaaak".
tetaplah di bawah kapal. disini tak hanya aku yang akan mengirim doa untuk mu.
suatu hari, ratusan bahkan ribuan orang akan datang menjiarahi makammu.
dan murkanya kapal besi yang menarikmu telah menebus dosanya dengan menjadi nisan/pusara indah untukmu dan lainnya.

ice cream di tanoh AcehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang