Simpang Tujuh Tak Bertuan

56 12 1
                                    

Pembangunan telah terselesaikan, Ayahku memutuskan untuk menutup kenangan kenangan di punge.
Lamgapang, tempat baru yang di pilih Ayahku.
hilir mudik lalu lintas tak beraturan di simpang tujuh tak bertuan selalu menemani hariku.
saling pandang bahkan saling menebar emosi sering terjadi, tak bisa aku pastikan kapan si tuan lampu merah datang dan mengatur kami.
belum ada wacana akan di bangunya lampu merah di simpang tujuh, tapi mungkin ada perencanaan untuk kedepan.
jadi aku harus beradaptasi dengan simpang tujuh tak bertuan, aku juga berfikir mungkin ini salah satu cara promosi pedagang pedagang pinggirang simpang tujuh.
asap asap yang mengepul dari potongan daging daging yang tersusun di atas bara bara merah, melilit bulu bulu hidungku dan bertahan disana, otakku dengan cepat menggambarkan seporsi sate yang siap disantap.
aroma aroma kopi pun ikut berjuang dengan menaiki pasukan pasukan angin dan membawa dia ikut hadir di hidungku.
rasa lapar dan lelah timbul untuk memaksa ku berhenti di pinggiran.
aku harus berada disana untuk beberapa jam.
makanan dan minuman lainnya pun bersatu dengan angin dan menyebar dalam kemacetan, pedagang pedagang itu berhasil menarik beberapa pengguna lalu lintas.
dan aku salah satu pengguna lalu lintas yang terpilih.
ini kulakukan di tiap sore atau malamku, atau di setiap aku melewati simpang tujuh.
rupa dan warna dari tiap tiap khas manusia ada disana.
saling dengar, saling melihat, saling tersenyum, bagai manusia tak punya susatu yang harus di selesaikan.
inilah tempat dimana beban beban hidup terlupakan.
apakah ini hiburan bagi kebanyakan rakyat rakyat yang ada disini ataukah ini sebuah tradisi yang mewajibkan mereka harus ada disini.
aku selalu sendiri, menyaksikan ragam aktivitas yang ada.
"Nak"
tepuk seorang pak tua yang mengenai tepat di bahuku, tangan yang mengukirkan sisa sisa perjalanan hidup yang panjang.
keriput bersatu dengan urat urat besar di bawah kulit yang keluar dari gumpalan daging daging di punggung tangannya.
"saya duduk disini ya".
aku hanya tersenyum, untuk memastikan bahwa aku menyetujui apa yang di inginkannya.
sambil memandangi simpang dia pun menceritakan sesuatu.
"Nak, dulu sebelum warung kopi ini ada, di dekat simpang itu ada sebuah pohon besar.
disana ada sebuah pasar kecil dan mereka juga menjual dengan cara tukar menukar barang bukan uang. saya dan orang tua saya adalah salah satu penjual disana, kami menjual daun temuru.
tapi setelah pelebaran jalan, sedikit demi sedikit pasar disana dan cara pembayaran itu di lupakan, apalagi setelah pohon itu di tebang".
sambil mengenang dia menyeruput kopinya sedikit demi sedikit.
"jadi, kakek disini dari kecil ya?"
aku berharap mendapat sedikit info dan sejarah tentang simpang tujuh.
"ya, ini adalah kampung halaman kakek, jalan ini sangat sempit, tapi simpang ini tak berubah dari kakek kecil, dari puluhan tahun lalu, simpang ini mempunyai 7 cabang.
tapi dengan lahan yang sempit tingkat macet tidak seperti sekarang, semua teratur seperti ada lampu lalu lintas yang mengatur.
kakek tak berharap ada lampu lalu lintas, kakek berharap kedisiplinan dahulu kembali, dan tertanam di setiap warga warga yang tinggal di 7 cabang simpang itu.
mereka akan saling senyum, saling menghormati, dan mereka akan saling kenal jika melewati simpang ini di waktu waktu yang sama".
Aku mulai berfikir hal yang sama, egoku yang membuat aku tak ingin berbagi jalan ke warga, aku merasa kepentingan harus di dahuli.
aku tak pernah berfikir apa kesibukan dan keperluan mereka.
aku merasa malu, ini yang membuat ku beberapa kali hampir mengalami kecelakaan di simpang tujuh.
bukan tak adanya lampu lalu lintas, tapi tak adanya tenggang rasa yang membuat simpang ini macet.
tak lama kakek itu berdiri, dan tersenyum kepadaku.
"nak, tenggang rasa bukan berarti merendahkan harga diri, tapi lebih dari rasa mengerti akan hal yang seharusnya dapat kita bagi tak hanya berupa materi".
aku terdiam, tak lama aku melihat kakek itu dan tersenyum.
dia pergi menuju pohon dimana sepeda tua mununggunya.
aku hanya melihat kearahnya,
seorang pak tua yang tangguh, tangguh menjunjung tinggi tradisi tradisi dengan nilai nilai yang tak tertukar dengan materi, sebuah konsep diri yang jarang aku temui, sesuatu yang tak lagi tertanam dalam jiwa pemuda pemuda masa kini.
alaram menyadarkanku dari sosok pak tua yang aku pandangi, ini waktunya aku harus pergi dari tempat ini.
aku harus mempersiapkan semuanya sebelum jam 06.00 sore.
Ayah akan memarahiku, jika dia lebih dulu berada disana.
Ayah membuka tempat bermain anak anak di sebuah taman.
tak ada lagi es krim di kehidupannya, dia tak ingin mengingat kenangan kenangan indah bersama ibuku, dia tak ingin mengingat semuanya.
sementara aku harus membantu ayah, beberapa kali aku meyakinkan ayah untuk membuka ice cream, tapi dia tidak mau. alasan demi alasan selalu mengalahkanku.
dan akhirnya aku pun terjebak dalam lingkaran ayahku sekarang.
tak lebih dari 3 bulan titik jenuh itupun datang, aku tak bisa seperti ini terus. aku harus mewujudkan mimpiku,
aku bersih keras agar ayah membuka usaha lama yang dia tinggalkan.
aku berusaha keras meyakinkan ayah bahwa aku bisa melakukan sendiri tanpa bimbingan ayah.
akhirnya ayahku menyerah, menyerah dengan syarat.
kata katanya tajam, ini pertanda bencana besar bagiku. tatapan sebuah kekalahan dari mata ayahku, aku tahu, ayah tak akan menyerah begitu saja untuk menghentikan ku.
"ya, silahkan kamu buka, dengan modal sendiri".
aku terdiam, sebuah tantangan besar dari ayahku. dia tahu keuanganku, dia tahu berapa uang yang selalu aku gunakan di hari hariku, tak sekalipun aku menyimpan uang yang dia berikan.
aku selalu berpikir besok aku akan mendapat dan mendapatkannya lagi.
akhirnya semua telah aku siapkan, aku kembali pulang dan duduk di warung kopi simpang tujuh tak bertuan.
ketenangan sedikit demi sedikit mengalir di nafasku, aroma kopi yang begitu nikmat membuat aku lupa akan mimpi.
aku menunggu jarum jam itu menunjuk ke arah 11.30. aku harus kembali ke taman sari dan membereskan semua mainan di taman sari.

ice cream di tanoh AcehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang