Berjalan di jenuhnya Rutinitas

43 3 0
                                    

Pagi ini aku mempersiapkan beberapa lembar surat lamaran kerja.
Harapan salah satu dari perusahan tersebut dapat menerimaku sebagai karyawan.
7 (tujuh), ya aku membuat 7 (tujuh) lembar surat tanpa tanggal dan alamat yang dituju.
jam menunjukan pukul 11.15,
Aku duduk di salah satu warung kopi yang berada di pinggiran jalan besar, warung kopi yang berdiri dengan bangunan yang tidak permanen. Dengan dapur alakadarnya serta beratap terpal bewarna biru yang dijunjung oleh 2 tiang kayu ukuran 3x6 disisi depan, sedangkan sisi belakang terpaku erat menyatu dengan atap gerobak.
Aku duduk disalah satu kursi panjang yang telah diisi beberapa orang lain, aku mengeluarkan beberapa surat kabar, menulusuri beberapa lowongan kerja yang mungkin bisa kudatangi.
Semangat dari secangkir kopi dan beberapa batang rokok menemaniku.
Surat pertama keluar.
Salah satu nama perusahaan aku tulis di alamat yang akan dituju dan tak lupa tanggal hari dimana aku akan menggantungkan hari hari ku selanjutnya.
Beberapa jam kemudian Surat kedua, ketiga, hinggah ke tujuh telah aku isi.
Marketing, salesman, cleaning service, dan beberapa perusahaan lainnya telah mendapat kesempatan untuk menerima surat yang telah aku buat, dan aku menghibur diri dengan harapan, bahwa mereka akan menerimaku juga, itu yang ada di dalam otak ku saat ini.
Sebuah harapan besar seperti yang ada dalam surat.
Aku mengantungkan harapan dan rejekiku pada setiap perusahaan yang akan aku tuju.
Aku lupa akan adanya tuhan, sang perubah harapan dalam janji tanpa waktu yang akan menjadi kenyataan.
Tapi itu yang sedang aku rasakan, dan mungkin juga para para penganggur rasakan saat dalam tahap mencari kerja.
2.30 aku berangkat menuju satu demi satu perusahan yang telah aku pilih.
Hal yang sama saat aku memberikan surat surat pada setiap karyawan yang telah berada disana, mereka selalu tersenyum dan mengakatan "kami akan menghubungi anda".
Seperti mesin mesin penjawab telpon otomatis.
Senada, serentak, dan sedikit menggoda.
Ada cahaya kemungkinan dalam kata kata mereka, dengan senyum manis mereka meyakinkan aku bahwa, perusahan mereka membutuhkanku dan akan menyambut kedatangan ku kembali.
Akhir dari hari ini adalah rasa lelah yang bergantung pada 7 harapan.
Aku kembali setelah memberikan surat terakhir, untuk sedikit memejamkan mata.
Aku masuk kedalam sebuah kamar. lemari, lampu, cermin, tempat tidur, dan meja kecil yang tak pernah berubah tempat setelah 1 tahun yang lalu.
Selalu menjadi sosok yang membuatku tak pernah kesepian.
Merekalah pendengar terbaik saat aku mengeluh.
Aku menghempas tubuhku di atas kasur.
Dia memelukku, memastikan hari esok akan lebih cerah.
Akan ada berita berita terbaik dalam sebuah harapan.
Dan dia menyentuh tubuhku dengan lembut, buat ku semakin hilang dari rasa lelah.
Tak lama aku pun terlelap dalam lelah.

3 hari berlalu, tak ada satupun harapan datang menjemputku.
putus asa mengarahkan ku agar aku menulis surat kembali.
Gelisah muncul bercampur dengan gerakan tanpa sadar, aku mengitari sudut demi sudut kamarku, Aku duduk, dan kemudian berdiri. Beberapa kali sosok ku terlihat saat aku mengitari sudut kamarku, aku berhenti Melihat kekalahan ku dalam cermin cermin yang memantulkan pesimisme kepadaku.
Aku berbaring kembali dan menatap langit langit.
Sesekali melihat handphone ku.
Sunyi, sedikit pun tak berbunyi.
Bagai kematian dalam gelapnya malam.
Berdiri lagi dalam gelisah dan membayangkan tentang hancurnya mimpi.
Aku berbicara pada diri sendiri, aku harus mencoba dan mencoba lagi.
Aku kembali mengambil beberapa kertas.
Menulis tentang sebuah harapan baru. Harapan dengan aroma yang sama. Mungkin dalam takdir yang sama atau mungkin berbeda.
Semua bahasa yang ada dalam kertas juga sama.
Apakah ini tindak kebodohan atau usaha setiap manusia untuk mencipta sebuah harapan harapan yang akan aku bungkus dengan kertas coklat yang akan menjadi sampah lagi di beberapa perusahan.
Lembar demi lembar tercipta, dengan pengharapan dalam sebuah derita.
10, ya itu yang tercipta hari ini, 10 surat lamaran yang siap aku antarkan kepada perusahaan yang membutuhkan karyawan.
Aku kembali berbaring setelah menyelesaikan semuanya.
Menatap kembali langit langit.
Siapa yang pantas aku salahkan, yang pantas aku caci. Yang pantas menanggung takdir hidupku.
Apakah mereka yang bernasib lebih baik, mereka yang selalu bangga dengan sepeda motor yang mereka tunggangi.
Mereka yang tak perduli bahwa orang tua mereka pernah ada dalam garis bimbang ku saat ini sebelum mereka mencapai kesuksesan.

ice cream di tanoh AcehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang