Mimpi Yang Pudar

70 9 0
                                    

Malam yang lelah, Aku melaju untuk pulang kerumah.
Dalam beberapa menit aku pun tiba dirumah.
Aku masuk dan menuju ke kamar, rasa lelah menyeretku untuk berbaring di kasur.
Tidur mungkin dapat menghilangkan lelahku saat ini, berharap akan ada pagi yang menyenangkan.
Seiring kelelahan dan rasa sepi, aku pun tiba dalam pagi tanpa lelah. Hidupku bergairah kembali.
Sinar matahari masuk ke celah celah ventilasi kamarku, menyapaku dengan lembut, berbisik diantara rambut kecil di ujung telingaku, marasuk hinggah terdengar alunan sorak tentang semangat untuk jalani hidup.
Handphone ku berdering, panggilan masuk dari nomor yang tak terdaftar. Aku membiarkan hinggah dering itu berhenti, otakku membangun sistem pertahanan yang kuat, benteng penolakanpun terbentang dan membuat aku enggan untuk berbicara tentang apapun yang ingin di bicarakan seseorang di dalam handphone.
Beberapa menit kemudian, handphone ku berdering kembali.
Benteng itupun perlahan mulai luluh, semakin aku diam. Partikel partikel kecil pada benteng mulai turun dan jatuh hinggah kedasar tanah. Aku menyerah dan akupun meraih handphoneku untuk menjawab panggilan itu.
"halo, siapa?" dengan nada lemah aku berbicara.
"mad, ini aku. Agus,masih ingatkan?" meyakinkan aku, bahwa aku mengenalnya.
ya, aku memang mengenalnya dengan baik. Seseorang yang memiliki perekonomian tinggi di sekolahku. dia adalah idola, banyak yang berteman dan mendekatinya dengan alasan alasan tertentu.
Aku dekat dan sangat mengenalnya karena kami juga satu kampung.
Bahkan saat SD, SMP, hinggah SMA kami satu sekolah dan satu bangku.
dengan ketus aku berkata. "masih hidup gus, kirain udah mati dibawa tsunami."
"ya tidaklah, aku di malaysia mad waktu kejadian. neh aja aku baru pulang. bagaimana teman yang lain mad?"
Aku duduk dan mengambil rokok. "tidak semua selamat gus, banyak yang pindah dan juga tidak ada kabar sampai sekarang." penjelasanku.
"Gus, aku kirim alamat rumah ku yang baru ya? kamu kerumah aku aja, aku mau mandi dulu neh."
aku kemudian mematikan handphone tanpa menunggu perkataan terakhir Agus.
aku mengirim pesan kepadanya, dan menyuruh agar dia datang kerumahku pada siang hari jam 11.30.
Setelah itu aku memasang alaram pada pukul 10.00.
Aku membakar rokok yang dari tadi berada di tanganku.
Aku kembali menatap dengan pandangan yang kosong, berfikir tapi tak tahu apa yang aku fikirkan. Aku mencari cari hal yang pantas untuk Aku fikirkan pagi ini.
Asap asap mulai berputar di langit langit rumahku. merantai kepala, mengarahakan leher, agar mataku tertuju ke atas. dan meninkmati apa yang ingin mereka tunjukan. membentuk sesuatu yang tak sempurna saat mereka saling bersentuhan.
mereka mancari jalan keluar, beberapa asap telah mencapai ventilasi.
sebagian masih terperangkap dalam kamarku. menatapku dengan acungan acungan jari tengah meyakinkan bahwa kekalahan menyelimutiku, mereka yakin aku lemah, aku tak dapat melupakan semuanya.
Mereka membawaku, membisikan bahwa mereka adalah segalanya, adalah seorang pemenang yang menjadi pahlawan di setiap pagiku.
Aku menghisap rokok ku semakin dalam, menghembuskan asap asap baru kearahnya. mereka terusik dan terusir, kemudian mendekati ventilasi.
Aku terjebak dengan tembakau tembakau setan yang selalu aku simpan di bawah tempat tidurku.
menggulung sempurna bagai sebuah rokok rokok dari pabrik tapi tanpa kotak.
bakung, kami menyebutnya bakung.
tembakau hijau terbaik itu begitu mudah aku dapatkan disini.
pagi, aku selalu menggunakan ini untuk melupakan segalanya, melupakan ibuku, dan melupakan mimpi mimpi yang sulit aku gapai.
Aku terbang mengapai asap asap baru yang kucipta dan ku sebar di langit langit kamarku, Aku mengusir mereka agar cepat menuju ventilasi dan menghilang.
Mereka terbirit birit meninggalkan ruanganku, Aku tersenyum melihatnya.
mata mata yang tadi segar, layu kembali. sulit untukku mengangkat kelopak mata. tapi inilah titik terbaik yang aku inginkan. aku merasa tak pernah ada masalah yang terjadi.
tembok tembok kamar berbicara, dan mengatakan bahwa semua baik baik saja.
aku tenang, begitu tenang, aku mengambil handphone dan memutar beberapa lagu karya Tony Q dan Ras Muhammad.
Orang orang yang menyebar keadilan dengan musik, orang orang yang menggambarkan bahwa mencapai kebahagiaan bukanlah hal yang sulit.
Aku tenang, dan sangat tenang.
tembakau itu menuju jemari ku dengan bara api yang membakarnya.
Aku kembali dalam kantuk, ini seperti malam yang tenang.
Bara api semakin mendekat di jemariku, Pertanda mereka harus berpisah dengan ku, saatnya rokok untuk di matikan, sebelum aku terlena dan bara itu menyentuh kulitku.
Aku mengambil asbak, menghancurkan semuanya, memisahkan tembakau setan yang telah bercampur sedikit arang kematian, dan membuang mereka dari jendela.
sisa sisa dari tembakau setan itu pun tengelam dalam jurang jendela kamarku.
Aku memastikan bahwa seseorang tak dapat mengenal filter penghubung pada ujung rokok itu, hanua filter yang tergelatak di asbak.
Itu tak lagi filter penghantar asap dari tembakau setan, aku yakin bahwa itu rokok biasa.
Aku harus menghilangkan jejak setiap aku menggunakannya, takut jika ayah dan kakakku tahu bahwa aku selalu menggunakan bakung.
Aku pun kembali dalam kantuk dan tertidur.
Beberapa jam kemudian, alaram jam berbunyi. Aku tersentak, ini sudah jam 10.00.
Aku harus bersiap siap sebelum Agus datang.
Aku mengambil handuk dan menuju kamar mandi.
Tak ada yang berbeda, selalu sama setiap harinya.
Aku tak bisa terlepas dari rutinitas rutinitas yang merantaiku ke titik jemu.
tapi aku harus melewati semua ini, sabar adalah penopangku agar tak mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup.
Mandi, makan, kemudian duduk di depan TV melihat kebodohan kebodohan acara yang sedikit menghiburku.
Tak lama suara kendaraan berhenti di depan rumahku.
Aku keluar dan melihat, kemudian kembali ke ruang TV.
aku tak pernah melihat mobil itu sebelumnya, mungkin dia berhenti sejenak, menelpon atau bersitirahat.
"Assalamuallaikum"
"permisi,, permisi"
Terdengar suara dari pintu rumahku,
"waalaikumsallam" aku keluar dan membuka pintu.
"wooooooi, Gus. kamu ya, apa kabar Gus" aku kemudian menyalaminya.
tak sempat dia menjawab aku menariknya masuk kerumah.
"keluar aj yuk, kita cari warung kopi, lama neh tidak ngopi sama sama"
Agus pun berjalan kearah mobil di depan rumahku, sepertinya itu mobilnya.
Aku dan Agus pun masuk kedalam mobil, kami berbincang kemudian berhenti di salah satu warung kopi di Simpang tujuh.
Agus melanhkah keluar dari mobil, dan aku mengikutinya.
"lama sekali gx jumpa mad!"
Agus pun masuk ke dalam warung kopi kemudian duduk disana, tak lama kemudian seseorang dayang menghampiri dan bertanya apa yang kami inginkan, Agus memesan sanger.
sanger minuman favorite Agus, selama aku dulu sering pergi ke warung kopi tak pernah aku melihatnya memesan minuman lain.
Akupun memesan kopi saring, kopi yang biasa aku nikmati.
"kerja dimana mad?" Agus berkata.
"belum neh Gus, palingan bantu Bos aku aj." Bos adalah sebutan beberapa anak aceh untuk orang tua dalam pembicaraan sesama anak seumuran kami. Biasa kami berkata Bos cowok untuk seroang Ayah dan Bos cewek untuk seorang Ibu.
"Es cream ya?" Agus menyambung.
"gx lagi Gus, semenjak Bos cewek meninggal, Bos cowok ku gx mau melanjutin usaha itu lagi. Katanya seh gx mau mengenang tentang Bos cewekku, takut sedih gitu."
"jadi usaha yang kalian rintis selama ini di tinggalkan begitu saja?"sayang kali mad"
"gx juga seh Gus, Kemaren aku ada rencana mau buka lagi. trus saat ngomong sama Bos ku, dia tetap gx mau buka, jadi kami selisih paham sedikit. akhirnya dia kasih aku izin asalkan aku cari modalnya sendiri Gus,. kamu sendiri gimana Gus?"
Pesanan kami pun datang, Aku dan Agus minum sejenak dan Agus menatap kosong ke arah jalan.
"Alhamdulillah, Aku sekarang ada beberapa usaha properti di medan. dan aku fokusnya dirumah sewa, tapi masih dalam bimbingan Bosku Mad. jadi tiap akhir bulan aja aku wajib di medan untuk penagihan."
"Aku pengen juga ada usaha lain, tapi masih belum kepikiran neh, ehmmmmm, gimana kalo kita buka es krim mad, pasti kau tahukan resepnya? tapi yang lebih modernlah".
Aku terkejut mendengar pe4kataan Agus.
"serius kau Gus, kalo gx berhasil gimana?"
Agus pun menatapku dengan penuh keyakinan, memastikan seolah olah dialah yang lebih mengerti akan es krim.
"Mad, kau pikir usaha propertiku saat pertama dibuka, Ayahku lansung berhasil. gx ada kendala gitu. Mad, aku bukan sok ngajarin kau ya. merintis, dalam waktu 3 bulan minimal kursi yang kita sediakan akan terisi hanya 10%, terus jika pun di bulan ke 5 kita akan maju dengan pesatnya dan mempunyai banyak pelanggan, itu bukan jaminan jika es krim kita selalu di kunjungi. mungkin bisa jadi titik jemu akan ada dari setiap pelanggan. disitulah kita harus memutar otak untuk membuat variant variant es krim yang baru. tenang aja, besar atau gx yang pasti aku ikhlaslah masalah modal yang aku keluarin."
Agus pun kembali menyeruput kopi sangernya.
Aku terseyum, Aku menatap Agus.
"Hebat, di umur yang muda. dia telah mempunyai jiwa bisnis yang besar." kataku dalam hati.
"okllh Gus, kalo kamu sudah yakin dengan itu, jadi kita mulai dari mana neh" aku pun menyeruput kopi saring ku. Mendengar kata kata Agus, aku merasa ini kopi yang paling manis dalam hidupku.
"kita bagi tugas aja ya Mad, kamu cari info untuk mesin dan perlengkapan dapur dan lainnya. Aku cariin tempat dan design seluruh Cafe es krim."
dengan mudah Agus mengatakan itu, Aku bingung dengan Umurnya yang muda berapa nominal uang yang ada ditanganya.
"jadi, kamu mau berbentuk cafe Gus, ini seriuskan Gus?"
Aku ragu, apakah dia benar benar sudah mantap untuk keptusan ini.
"iya, memang kenapa, kamu kerjain aja tugas kamu. setelah dapat info kita belanja ya, masalah uang jangan kamu pikirkan Mad. InsyaAllah aku akan siapkan."
"siap Gus, secepatnya aku cari info ya."
dalam beberapa bulan kemudian, cafe es krim ku berdiri.
Ayahku bangga dengan ku, Dia mengunjungi cafe ku. dalam matanya ada titik air yang tergenang.
dia menepuk pundakku, Aku tersenyum dan diapun mwmbalas senyumku. dia tak berkata apapun, tapi tergambar jelas dimata Ayah. Seandainya Ibu masih hidup, seandainya Ibu masih ada. Ibu pasti akan senang. Ibu pasti tak Akan meninggalkan Cafe ini.
Ibu pasti selalu duduk di sudut ruangan Cafe dan tersenyum melihat anak anak kecil datang dan memesan es krim. itu yang ibu lakukan saat kami menjual es krim di depan rumah.
Ibu sangat menyukai anak anak, Ibu yang memaksa Ayah untuk membangun taman bermain di depan rumah kami. ibu tersenyum saat anak anak mengambil es krim trus berlari ke taman bermain.
Ayah pun tertunduk, matanya tak tahan untuk membendung air yang tergenang di matanya.
Ayah masuk ke dapur dan memastikan semua berjalan dengan baik.
3 bulan berlalu, cafe es krim ku maju pesat.
Aku merasa menjadi pengusaha muda.
Aku di undang Agus ke Medan, ini pertama kalinya Aku ke Medan.
di Medan, Agus menyambutku.
Dia membawaku berkeliling, seminggu berlalu, Aku hilir mudik menikmati majunya kota Medan.
Waktuku tinggal 1 hari lagi untuk kembali pulang ke Aceh.
Agus ingin membawaku ke Club malam di hari terakhir.
Aku ingin menolak, tapi Aku juga penasaran. apa yang ada di dalam sana. apakah benar sama seperti yang disiarkan di beberapa film dan televisi.
Aku menyutujinya, Kami berangkat pukul 07.00 malam.
sebelum kesana Agus menjemput 3 temannya, 3 wanita yang begitu asing bagiku. mereka begitu wangi seperti putri putri dari kerajaan. tapi sayangnya celana dan baju mereka tampak seperti gembel, 2 mengenakan celana jeans pendek yang ujungnya robek dengan ukuran sejengkal dari pinggang, dan baju layaknya baju kaos dalaman seperti yang ayahku pakai selama ini, sangat tipis dan tanpa lengan. 1 lagi sedikit tertutup celana jeans panjang tanpa robek beserta baju kaos dengan lengan pendek walaupun baju itu terlihat menjerit karena si pemakai menggunakan dengan ukuran yang tidak sesuai. begitu ketat, membalut tiap daging daging tubuh dengan kuat.
Agus keluar, dan mereka saling berpelukan seperti teletubies yang disiarkan dalam televisi di minggu pagi.
Kemudian Aku keluar, Agus mengenalkan Aku kepada mereka, salah satu adalah orang yang Agus cintai.
kami kembali ke mobil.
Agus memintaku untuk duduk di kursi belakang, bersama 2 wanita yang lainnya.
salah satu menggodaku.
"boleh juga temanmu Gus."
Aku hanya tersenyum, tak sedikitpun aku tertarik dengan mereka. tak mungkin jika pendamping hidupku berpakaian seperti ini.
Ayah akan mengusir kami, dan Ibu juga akan menjerit dari dalam Kuburnya.
Tak terbayangkan jika kami tinggal di Aceh. seluruh warga sekitar tempat kami tinggal pasti akan menghujatku.
Agus berubah, sangat berubah. budaya budaya Aceh tak lagi melekat dalam dirinya. Aku bangga dengannya tapi melihat dia sekarang, aku menjadi miris. Apakah harus keberhasilan dan harta di dapat dari merubah budaya, menghilangkan budaya, atau menghapus budaya Aceh dari hidupnya. berharap hanya Agus yang ku kenal menjadi seperti ini dan tidak untuk orang orang Aceh yang tak lagi berada di Aceh. semoga mereka yang tak lagi di Aceh bisa membawa kebudayan kebudayaan yang melekat dan hidup dalam jiwa kami. kebudayaan yang berkaitan dengan unsur unsur Islam, budaya yang mengharuskan kami untuk tetap menjauhi perintah dan larangan Allah s.w.t, budaya yang setiap dari kami ingin mati dengan asma asma Allah.
Kamipun sampai di suatu tempat, begitu ramai dan setiap wanita berpakaian tak lebih dari seperti yang teman Agus kenakan.
Aku masuk mengikuti Agus, kemudian duduk di salah satu sofa.
sinar lampu yang teratur, menempel dimukaku. Tapi tidak ini bukan sinar, ini lebih mirip seperti sorotan laser laser yang terarah dalam kegelapan.
Lampu besar yang bergantung di atas panggung juga tak begitu terang.
Ruangan ini tampak begitu remang.
kami hanya bisa melihat satu sama lain dengan cahaya yang redup. di sofa yang hanya kami berlima, kami tetap saling mengenal karena masih tampak wajah wajah kami dalam jarak dekat. tapi kami harus beberapa kali dan fokus jika kesalah satu arah dalam kejauhan ,jika kami ingin memastikan apakah kami mengenal mereka yang berada jauh.
dentuman dentuman keras dari lagu, begitu cepat bergantian masuk ke telingaku.
Aku ingin keluar, tapi rasa penasaranku semakin besar. apa lagi yang ada di sini, ini bisa jadi pengalaman. pengalaman buruk dalam hidup yang tak akan ku ulang.
minuman yang Agus pesan datang, salah satu minuman tersebut di bakar, dan apipun mengalir dari atas wadah minuman terus turun kebawah. Sebelumnya Agus dan teman temannya memegang sedotan. Saat api menuju kearah bawah, Agus dan temannya berlomba lomba untuk menyedot air yang terletak di bagian bawah. wadah air yang asing bagiku, seperti gelas biasa tapi dengan tiang tinggi dibagian tenganya.
Agus memesankan segelas Air untukku, Air yang begitu keras saat menyentuh lidahku, mirip dengan minuman kaleng tapi sedikit berbeda pada rasanya.
Aku meminum air itu untuk menghormati Agus, 1, 2, 3 gelas telah Aku habiskan. Aku seperti orang bodoh. tak seharusnya aku menghormati Agus dengan cara seperti ini. konsep diriku sebagai Anak Aceh hilang karena persahabatan.
kenapa Aku tak menasehatinya jika aku menganggap dia seorang sahabat.
gelas keempat membuat kepalaku semakin berat.
pandangannganku menjadi buram, tiga teman Agus yang dari tadi menari mendengar alunan musik di depanku, menjadi enam. mereka terlihat seperti 6 orang kembar yang bodoh, tanpa malu mereka menari di depan orang orang yang tak mereka kenal.
tangan mereka turun naik, sesekali Agus ikut menari sambil memeluk pacarnya. dan salah satu teman Agus menarikku.
tapi Aku tetap duduk dan mereka saling terseyum dan tertawa melihatku. Aku membalas senyum mereka dan tertunduk menahan kepala ku yang semakin berat. seperti ada sesuatu yang diikatkan di rambutku, seperti menggunakan sebuah topi yang terbuat dari besi tebal dan tak bisa kulepas.
tak lama, jam 01.00 subuh lampu di hidupkan pertanda pesta telah usai.
Kami keluar, Agus menggopongku. dia tahu jalanku sudah tidak normal, seperti bayi yang baru belajar berjalan, berdiri dengan memegang dinding, dan berjalan juga menyusuri dinding.
salah satu teman Agus juga sepertiku. tapi dia masih bisa berjalan walaupun arahnya berubah ubah, kekiri kekanan dan sesekali memegang dinding.
kami menuju sebuah Hotel.
"kita tidur di Hotel malam ini ya Mad, besokan kamu sudah pulang."
"Atur ajalh Gus." kataku.
sesampai di hotel Agus memesan 2 kamar. dan dia memberikan salah satu kunci kepada temannya.
kami menuju kamar, dan Agus masih menggopongku.
salah satu temannya membuka pintu kamar, dan Agus membaringkanku di tempat tidur.
Aku memejamkan mata, Aku berharap topi besi itu lepas dari kepalaku.
Aku tertidur beberapa waktu, kemudian terbangun kembali. aku melihat salah satu teman Agus tidur dengan lelapnya di atas sofa kamar Hotel.
tak lama aku merasakan seseorang memelukku dengan erat.
tidaak, tidak mungkin Agus seperti ini. Aku mendengar dengan jelas, dia menyatakan bahwa salah satu dari tiga wanita tadi adalah orang yang dicintainya.
Aku membalikkan badanku, sedikit terkejut dan sedikit bersyukur bahwa itu bukan Agus.
kepala ku terlalu berat untuk menolak semua. kedewasaanku bergejolak, dan aku terjebak dalam lingkar aktivitas suami istri dengan wanita yang baru ku kenal.
Kami menyelesaikannya.
tak lama Aku terkejut. aku merasa seluruh tubuhku basah.
"Astafirullah" ucapku.
Aku melihat dinding dinding kamar yang ku kenal.
Aku bermimpi, bermimpi akan mimpi yang telah aku gapai, sebuah impian yang telah menjadi nyata dalam mimpiku.
tak ada dering telpon, tak ada panggilan dari Agus teman lamaku, tak ada cafe es krim, tak ada Medan, tak ada Club malam, tak ada teman teman Agus dan tak ada Hotel.
ini hanya sebuah mimpi dan Aku berharap itu tak pernah ada dalam hidupku.
Aku tak ingin suatu hari mimpi yang kugapai menjadi pudar di kikis oleh budaya asing yang menjadi penghancur hidupku.
aku akan selalu memegang konsep seorang anak Aceh yang berbudaya dan beragama.
aku akan selalu menjaga diriku agar tak tergoda dengan apapun kenikmatan dunia.
dan aku sangat bersyukur karena ini hanya sebuah mimpi.

ice cream di tanoh AcehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang