Langkah kakinya menggema di lorong sekolah yang cukup sepi. Jam sudah menunjukkan pukul 07.15 WIB.
Rambutnya yang di kuncir kuda bergoyang ke kanan dan ke kiri, dahinya sudah di penuhi peluh karena berlari dari gerbang hingga ke kelasnya.
"Maaf Bu saya telat", ucap seorang gadis dengan tas yang masih ada di punggungnya.
"Baru datang ? Kamu pikir ini sekolah nenek moyang kamu ?", pertanyaan itu keluar dari Bu Nina, Guru Bahasa Indonesia yang super cerewet dan nyebelin.
"Papa saya kesiangan Bu tadi juga macet, kayak nggak tau Jakarta aja", ucap gadis itu.
"Ini kesekian kalinya kamu telat Lyra", ucap Bu Nina.
Gadis itu Lyra hanya memberikan senyuman jahilnya ke arah Guru berkacamata itu.
"Lari keliling lapangan 10 kali sekarang", dan ultimatum tersebut adalah hadiah jackpotnya pagi ini.
Lyra menatap ke dalam kelas dan pandangannya terjatuh pada Alvero yang juga sedang menatapnya.
Atensi Lyra menajam seolah memberi peringatan ke arah Alvero.
Ia berbalik dan meletakkan tasnya di meja Mia, temannya yang duduk di dekat pintu. Kemudian dia berlari ke lapangan untuk menjalankan hukuman dari Bu Nina.
Sebenarnya ia kesiangan bukan hanya karena macetnya Jakarta. Ia kesiangan karena ulah Alvero yang tidak pernah mau meninggalkan otaknya.
Ia terus berguling-guling di kasur sambil tertawa seperti orang gila karena buku Novel semalam.
Tapi lagi-lagi otaknya menyuruh untuk mengembalikan buku itu ke Alvero. Mau bagaimana pun ia tidak berhak mendapatkan buku novel selegendaris itu.
Ia melambatkan laju larinya, kepalanya menatap kebawah mengamati sepatunya yang kusam karena belum di cuci minggu lalu.
Kenapa Alvero bertingkah biasa saja padahal daritadi ia sudah berusaha menata hatinya agar tidak terus tersenyum saat menatap Alvero.
Kenapa sih cowok itu selalu sialan, umpat Lyra di dalam hati.
Bel berbunyi menandakan pergantian jam pelajaran, entah mengapa ia merasa begitu lambat saat berlari tadi.
Dan ya mungkin saja karena dia tidak sarapan tadi, Lyra menjatuhkan tubuhnya di tengah lapangan basket dan terlentang menatap langit biru.
"Akhhh kenapa hari ini panas banget sih", teriak Lyra.
Ia tidak peduli jika ada anak lain yang melihat tingkah anehnya, karena sinar matahari yang terik ia memilih untuk memejamkan matanya dan membiarkan peluh menghiasi dahinya.
Tapi tanpa diduga sesuatu yang dingin menyentuh dahinya, dan sontak saja ia membuka matanya lalu mendapati mata coklat sekaligus senyuman manis di depannya.
"Sumpah deh lo kayak orang mati tadi", ucapnya.
Lyra mengerucutkan dahinya, sebelum menabok keras kepala cowok yang ada di depannya.
"Anjing lo", umpat Lyra sambil bangkit dari posisi terlentangnya.
"Nggak usah ngumpatin gue juga kali", rengeknya.
Cowok itu Alvero, yang entah sejak kapan suka sekali merecoki hidupnya.
Lyra hanya mendengus lalu menyambar botol air yang dibawa Alvero dan meminumnya tanpa permisi.
"Lo haus banget ya ?", tanya Alvero sambil mendudukkan tubuhnya di depan Lyra.
Lyra hanya melirik sekilas ke arah Alvero yang duduk bersila di depannya sebelum kembali menutup mata, menikmati setiap tetes air dingin yang mengalir di kerongkongannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
With You
AcakLo beda. Dan gue nggak sadar itu dari awal. Gue gak nyangka kalo itu lo. Gue terlalu dibutakan sama ambisi gue. Dan lo selalu ada buat gue. Please demi apapun gue cuma pengen lo jadi milik gue dan gue akan pertahanin lo dengan segala keegoisan gue. ...