Part 21

9.3K 873 57
                                    

Aku berlarian menuju rumah sakit saat mengetahui kalau salah satu muridku mengalami kecelakaan di sekola tadi. Kebetulan sekali aku sedang pergi ke Dinas Pendidikan karena perintah Bapak Kepala Sekolah. Mbak Luna tadi menelpon kalau Kiara terjatuh karena kembali berantem dengan Roni. Ah mereka berdua selalu saja membuat ulah. Apalagi Roni, dia tampak pendiam tetapi diam diam menghanyutkan.

Aku sampai di sebuah ruangan perawatan dengan nafas yang ngos-ngosan. Setelah mengatur nafasku, aku mengetuk pintu diiringi ucapan salam. Saat mendengar sahutan dari dalam, aku segera masuk ke dalam ruangan itu.

"Selamat siang Dokter." Aku melihat Dokter itu tersenyum formal. Aku melihat tulisan nama yang tertera di meja kerjanya. Dr. Muhammad Ali Syahbani, spesialis dokter anak.

"Anda orangtuanya?" tanyanya membuatku menggelengkan kepala.

"Saya Kamila, wali kelasnya Kiara di sekolah. Bagaimana keadaannya?" tanyaku.

Dia kembali tersenyum dan mempersilahkanku untuk duduk. Aku duduk di kursi yang ada di hadapannya.

"Lukanya tidak terlalu parah, keningnya hanya tergores sedikit. Kemarilah anak manis," ucap Dokter Ali.

Aku melihat tirai hijau yang ada di sana terbuka dan terlihat Kiara dengan kepala menunduk.

"Bu Guru Milla," gumamnya menatapku.

Aku menyambutnya dan memangku tubuhnya yang kecil. "Apa sakit?" tanyaku.

"Sedikit, Ibu tadi Roni isengin Kia. Dia nempelin ulat bulu ke punggung Kia bikin Kia kaget dan jatuh."

"Sudahlah, nanti akan ibu hukum Roni nya."

"Nah Kia, Om Dokter kasih resep obat. Nanti Kia harus rutin minum obatnya yah dan harus sampai habis."

"Baik Om Dokter," ucap Kia.

Aku mengambil kertas resep yang harus ku tebus. Kami segera pamit dan Dokter itu mengantarkan kami hingga pintu keluar.

"KIARA!"

"Mama!"

Kami sama-sama menoleh ke sumber suara dan seketika tubuhku membeku kaku.

Dia.....

"Camila?"

"Intan?"

***

Aku masih tak habis pikir. Setelah 7 tahun berlalu dan dia sangat dekat denganku.

Kiara...

Ya Allah....

Aku tak bisa mengungkapkan rasa sakit, sekaligus ngilu di dalam hati ini. Kiara, anak dari mas Iqbal dan selama ini begitu dekat denganku.

Selama 7 tahun aku berjuang melupakan dan move on darinya, tetapi dia. Dia bahkan mungkin tak mengingatku sama sekali. Bahkan sudah ada seorang anak di antara mereka.

Iqbal bahkan belum menggauli istrinya karena selalu terbayang Milla.

Dulu dia mengatakan itu, tetapi sekarang sudah ada Kiara di antara mereka. Ya Allah ampuni hamba karena perasaan ini. Tak seharusnya hamba merasa marah dan kesal seperti ini.

Ibu guru lihat, ini Papa dan Mama Kiara. Papa kan kerjanya jadi pembela Negara jadi Kiara kasih warna hijau bajunya dan ini Mama, Mama itu suka ngobatin yang sakit, bantuin Om Dokter. Jadi kiara gak kasih warna. Kan Mama suka pake seragam putih.

Seketika ucapan Kiara beberapa hari lalu terngiang di telingaku. Sebelumnya aku tak menyangka kalau yang Kiara maksud adalah mereka.

Kuatkah aku bertemu lagi dan berhubungan lagi dengan mereka sebagai guru dan orangtua?

Mampukah aku menatap wajahnya lagi setelah sekian lama?

Mampukah aku mengubur dan menekan perasaan ini?

Kuatkah aku?

Astagfirulloh ya Allah, sungguh Ampuni diri hamba yang begitu hina ini. Hamba tak memiliki kekuatan untuk melawan perasaan ini.

***

Aku berusaha mengenyahkan pikiranku tentang kejadian kemarin dimana aku bertemu dengan Intan, istri dari mas Iqbal. Aku tidak tau kenapa Allah menakdirkan seperti ini? Kenapa kami harus kembali bertemu di saat aku masih belum bisa melupakannya. Aku semakin larut dalam dosa ini, aku semakin terhanyut pada perasaanku sendiri yang haram.

"Tidak baik melamin di pagi hari," seruan itu menyadarkanku dari lamunanku.

"Pak Malik." Aku tersenyum canggung padanya. Aku bahkan tidak sadar kalau aku sudah melewati ruangan guru.

"Sepertinya kamu sedang tidak baik-baik saja Bu Milla. Apa kamu sakit?" tanyanya menatapku penuh khawatir.

"Saya baik-baik saja Pak, saya harus kembali ke ruangan guru. Permisi Pak," aku bergegas menuju ke ruanganku hingga tangan pak Malik mencekal tanganku yang langsung aku hindari. Aku menatapnya dengan tatapan mata bertanya dan kesal.

"Ah maafkan aku," ucapnya tampak merasa bersalah dan merapihkan kacamatanya yang sedikit melorot. "Kenapa Bu Milla selalu menghindari saya? Apa saya melakukan kesalahan?"

"Tidak, maaf Pak tetapi saya sedang ada jadwal kelas pagi. Saya permisi," aku bergegas meninggalkannya.

Begitulah setiap aku berhadapan dengan seorang pria. Sungguh aku merasa takut, aku merasa takut untuk mencoba menjalin sebuah hubungan lagi ataupun dekat dengan seorang pria. Sesungguhnya aku masih trauma dan aku tidak bisa lagi berdekatan dengan seorang pria.

"Kenapa?" pertanyaan itu menyadaranku ke dunia nyata. Mbak Luna berdiri tak jauh dari mejaku.

"Seperti biasa, Pak Malik menggangguku lagi."

"Dia menyukai kamu, Mil. Tidakkah kamu menyadari itu." Mbak Luna kini duduk di hadapanku. "Kapan kamu akan mencoba membuka hati dan memberi kesempatan pada pria? Jodoh itu tak akan begitu saja ada lho Mil, kalau kita tidak mempersilahkannya."

"Aku tidak tau Mbak, ini terlalu-"

"Cepat?" aku menghentikan ucapanku mendengar ucapan mbak Luna. "Dari dulu kamu selalu menjawab itu toh Mil. Pak Malik juga berusaha mendekati kamu sudah cukup lama. Apa karena dia duda dengan anak, jadi kamu mempertimbangkannya?"

"Bukan begitu, aku hanya belum siap. Aku masih merasa takut akan pemberian harapan palsu. Aku takut terjatuh lagi."

"Move On Milla, ini sudah 7 tahun berlalu. Saatnya kamu bangkit dan lawan rasa takut itu, tidak semua pria sama." Mbak Luna menarik tanganku dan menggenggamnya. "Mbak ingin melihat kamu bahagia. Ibadah kamu akan sempurna dengan kamu menikah."

"Aku tidak tau harus bagaimana, dia- dia masih mendominasi pikiran dan hati ini. Walau itu salah besar, tetapi tidak mampu melepaskannya."

Mbak Luna kembali terdiam, dia sepertinya sudah sulit berkata-kata mendengar aku yang selalu membicarakan ini dan perasaan ini. Dan juga tentang dia.....

***

Jodoh Terhalang RestuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang