#6 APA KAU MEMBENCIKU?

48 3 0
                                    

Pagi ini, aku bangun sangat pagi karena terbangun dari mimpi burukku, aku bermimpi saat ayah meninggalkan aku dan bunda.

Kenangan yang ingin aku lupakan. Aku membuka pintu balkonku, langit masih gelap. Tetesan hujan jatuh dari langit. Langit tampak menangis, sedih seperti hatiku.

Sejak 9 tahun lalu ibu masih tidak menghiraukanku, ia tampak sibuk dengan pekerjaannya. Iya, aku tahu itu semua demi aku juga. Ibu bekerja keras demi menghidupiku.

  Kedua sahabatku yang juga merupakan tetanggaku tampaknya belum bangun. Rumahku berada di antara rumah Kou dan Nancy, begitu juga kamar kami. Kamar kami bertiga bersebelahan jadi aku bisa melihat mereka dari balkon kamarku.


  Aku segera siap-siap ke sekolah, lalu aku segera ke bawah membantu bi Inem menyiapkan sarapan. Aku ingin berguna untuk Bunda, tapi lebih tepatnya aku ingin bunda merasakan masakan buatanku.

  "Bi, biar Murou aja yang goreng dagingnya. Bibi biar urus pekerjaan Bibi yang lain aja, soal masakan serahin aja ke Murou." Saranku ke bi Inem sambil menunjukkan jempolku dan mengedipkan sebelah mataku.

  "Iya non, terima kasih yah. Non pagi ini semangat sekali yah!" Jawab bi Inem.
"Iya dong bi, biar Bibi dan Bunda bisa rasain masakan Murou yang super lezat!" Cengirku ke bi Inem. Bi Inem hanya geleng-geleng sambil tersenyum kepadaku.

  Setelah makanan siap aku segera menunggu bunda di meja makan. Aku begitu gembira melihat bunda menuruni tangga. "Pagi Bunda ayo sarapan." Sapaku ke Bunda dengan senyumku yang paling manis.

"Aku sarapan di kantor saja." Tolak Bunda lalu segera keluar menaiki dan melaju dengan mobilnya.

  Aku hanya tertegun, leherku terasa kering. Senyumku yang awalnya mengembang kini mulai luntur dan hati ini rasanya begitu sesak. Rasanya aku ingin menangis saja tapi kutahan, aku tak ingin bi Inem melihatku menangis.

Aku dapat melihat bi Inem menatapku dengan iba. Tidak ingin berada dalam situasi ini lama-lama, aku segera mengajak bi Inem makan bersamaku.

"Ayo bi, makan bareng Murou yuk." Ajakku kepada bi Inem dengan tersenyum.

Bi Inem hanya mengangguk lalu duduk di kursi bersamaku. Bi Inem sudah seperti ibu keduaku di rumah, sejak Bunda mendiamkanku.

Apakah bunda benci padaku? Pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku, tapi kenapa? Aku tidak megharapkan Bunda memanjakkanku dan selalu ada untukku seperti ibu yang lainnya, aku hanya ingin Bunda menganggapku ada seperti dulu Bunda menyayangiku. Aku sangat rindu pelukan hangat bunda yang dulu.

HOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang