Wir waren füreinander bestimmt
We were meant to beAditya
Ada satu manusia lain yang nggak pernah gue sebut namanya, tapi dia masuk ke dalam daftar orang-orang yang pengen gue bikin bangga, yaitu; diri gue sendiri.
Gue rasa, kita semua pernah ngalamin sebuah fenomena dimana ada pikiran dan bisikan nggak jelas yang nyoba buat menguasai lo dan secara berulang-ulang menyebutkan lo nggak akan pernah bisa. Kalo kata bahasa Inggrisnya, namanya anxiety. Pernah ngerasain kan? Gue juga sama. Gue juga pernah jadi korbannya.
Kalo harus dijelasin dari bagian gue usaha mati-matian buat dapet beasiswa, kayaknya kepanjangan. Yang jelas, namanya hasil nggak mengkhianati usaha itu bener. Gue sering nggak tidur karena bikin proposal, bikin motivation letter yang seringkali diomelin dan diminta di revisi sama pembimbing. Ada satu waktu malah persyaratan tersebut cuma diliatin doang karena katanya bagian depannya aja salah, Dit. Oke, gue coba ulangi lagi, begitu terus sampe gue bersyukur nih nggak mengalami pembotakan dini.
Tapi jangan khawatir, semua orang punya jalannya masing-masing. Mungkin gue susah karena, ya mari kita mulai bagian anxiety ini, sebenernya gue nggak pinter-pinter amat, bro. Gue hampir mau menyerah waktu dulu merjuangin kesempatan yang udah gue dapat sekarang. Disaat itulah gue dibisiki Dit, udah, lo nggak bisa, nggak usah dipaksa, pada akhirnya duit juga bisa bikin bangga. Lulus aja kuliah, lalu cari kerja, jangan beasiswa. Sampe gue kepikiran, mungkin gue emang nggak bakal pernah bisa. Nah, disaat seperti itulah lo membiarkan setan menang dalam menguasi lo. Dan masa sih mau kalah sama setan? Mereka suka kalo liat manusia tergoda dan menyerah. Maka, cara terbaik untuk menaklukan mereka adalah dengan bertahan dan buktikan.
Pada akhirnya, gue bisa. Ya namanya juga hidup, bonyok-bonyok dikit lah biar ada bekas berjuangnya. Nggak bakal nyesel kok, gue nih buktinya. Setiap malam gue sempatkan bisik-bisik sama diri gue sendiri, walau terdengar gila, tapi ini sebuah cara untuk belajar menghargai; Dit, setelah semua yang udah lo lalui, gue mau bilang, gue bangga sama lo. Terimakasih.
Masalahnya, yang namanya ujian hidup nggak ada akhirnya, palingan libur semester aja. Itu juga kadang nggak lama. Kadang bentuknya sesepele hari ini dapet duit, besokannya si duit ilang. Kalo buat gue, ujian hidup dimulai dari kadang gue tergiur untuk mendapatkan hal yang lebih dan nggak mengindahkan hal yang lain. Gue mengkategorikan ini sebagai hal yang buruk sih, karena kesannya gue jadi egosentris. Apa-apa ya menurut bagus-bagusnya gue, dan keinginan gue.
Punya sifat nggak cepet puas itu kadang bagus sih, tapi kalo jadi kabur artinya, ya nggak bagus, lah. Kayak gue gini, sibuk aja sama target-target hidup gue sendiri. Lupa kalo hidup tuh sebenernya nggak cuma lo doang, Dit.
"Woi, ini mau mulai kerja kapan, deh?" Gue bertanya sama beberapa anak Indonesia yang kebetulan satu tim penelitian juga. Lalu gue mengedarkan pandangan ke ruang kelas super ajib yang dijadiin tempat ngumpul anak-anak penelitian. Teman bule gue, ada yang namanya Jerry, lagi duduk baca buku, terus dia menoleh kearah gue dan mengangkat bahunya. Kayak ngerti aja lo, Jerr, gue ngomong apaan.
Satu lagi, ini ada cerita lucu yang membuktikan kadang hidup memang kartun abis. Teman satu tim penelitian gue yang lain, namanya Tom. Kadang ada satu waktu dimana gue ngerasa kayak gue itu ibu-ibu yang wajahnya nggak pernah ditampilin di serial kartun Tom and Jerry setiap kali dua teman bule gue ini berdebat. Nggak akur, bro, padahal sama-sama dari Jerman, tapi dua orang ini sering banget debat kusir sampe yang lain memilih untuk bodo amat.
"Where's Tom, bro?"
"I don't know, probably dead."
Gue sedikit tergelak karena mukanya sengak banget. Tapi kemudian gue bete lagi. Dari jaman masih di Bandung, gue udah paling nggak suka ada jam-jam ngaret begini. Gimana mau hebat kalo lo nggak disiplin waktu, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
nirvana
Fanfictiona state of perfect happiness, harmony and freedom an aditstories 2.0 || updates once a week