#10

2.5K 439 105
                                    

Ich bin hier, Schatz
I am here, my love

Aditya

"Bi," Gue mengetuk pintu apartment-nya sekali,

"Nabila." Sekali lagi, barulah seseorang yang keadaannya sangat gue khawatirkan itu muncul dengan wajah super datar. Sebuah ekspresi yang biasanya lo gunakan untuk menutupi kehancuran dalam diri lo. Dan sepersekian detik setelahnya, bibir yang biasanya mengutas senyum itu kemudian bergerak pelan, bergumam sesuatu yang dengan sangat ampuh menghancurkan tembok pertahanan yang susah payah dia bangun sendirian.

"Dit, papa udah nggak ada."

Dia, untuk pertama kali, menumpahkan tangis yang sempat tertahan. Nangis yang nggak bersuara, nangis yang artinya sakit luar biasa. Tangannya mengepal kuat sampai gue khawatir kukunya bakal melukai telapak tangannya sendiri. Tapi gue nggak banyak menyela, yang gue tahu, apa yang harus dilakukan adalah ada buat dia disana, disaat keadaan lagi nggak ada baik-baiknya.

Dengan sangat pelan, gue pegang tangannya, melepas kepalan tangannya, lalu gue gantikan dengan saling bergenggaman. Kalaupun genggamannya menguat, nggak apa-apa, biar yang sakit tangan gue aja. Asal jangan dia.

"Dit, papa Teddy meninggal tadi pagi, kecelakaan mobil diperjalanan pulang Jakarta-Bandung." Suara mas Damar ini terngiang jelas, bahkan sampai sekarang. Sampai gue memeluk anak perempuannya erat. Si anak kesayangannya. Si bungsu, Nabila Milena, yang walau sudah besar, dulu masih sering minta disuapin papanya.

"Dit, lihat, masa anak kecil gini kamu jadikan pacar?"

"Ih papa!" Nabila mendelik sambil cemberut lucu.

"Ya habis, teteh masa depan pacar minta disuapin papa? Apa kerjanya pacarmu itu?"

Gue tergelak, mencintai segala kelucuan dia termasuk manjanya ini, pa. Lebihnya, gue mencintai semuanya tentang dia. Semuanya termasuk hancurnya seperti sekarang ini, dipelukan gue, dengan tangis pilu dan nafas yang mulai tercekat menyakiti saluran pernafasannya, dan genggaman tangan yang gue yakini bisa merapuhkan tulang-tulang jari tangan.

"Papa udah nggak ada." Bisiknya, "Papa, Dit, papa meninggal."

Satu kata yang bisa menjelaskan perasaan gue saat itu; Sakit. Sakit banget, biar lengkap.

Ada bagian dari diri gue yang ikut hancur sama seperti Nabila atas berita kehilangan ini. Sampai tanpa sadar, satu demi satu airmata bergulir dengan sendirinya dari ujung mata gue sendiri. Ini untuk kehilangan papa, orang yang selama ini gue jadikan panutan, baik dalam pencapaian maupun dalam urusan menjaga dan mencintai Nabila. Dan juga untuk anaknya, yang dengan sangat pasrah harus merelakan kepergian papanya dari jauh seperti ini.

"Kita bisa pulang, bi. Kita bisa pake tabungan kita disini."

Setengah jam kemudian Nabila mulai berhenti menangis, tapi badannya jadi melemas. Wajar, mungkin karena terlalu lama menahan beban sedih kehilangan. Dia masih ada di dalam pelukan gue, kepalanya bersandar ke bahu, tangannya terkulai lemas dan yang bisa gue lakukan hanyalah mengusap lembut rambutnya dan sesekali mencium puncak kepalanya. Berharap dengan bantuan alakadarnya itu, alias kehadiran seorang Aditya, bisa membuat dia tenang walau nggak bisa mengusir sedih yang lagi dirasakan.

"Aku mau pulang, Dit."

"Boleh, kita pulang."

Besok harinya kira-kira jam sembilan pagi, gue dan Nabila sudah dijalan pulang ke Indonesia. Dan gue berani bersumpah, nggak pernah sekalipun membayangkan pulang ke tanah air dengan alasan yang menyesakkan seperti ini. Di bayangan waktu itu, nanti gue akan pulang ke rumah dengan sangat bahagia, sudah jadi Master of Science. Sampai di bandara, disana sudah ada yang nunggu baik itu teman atau keluarga, dengan wajah terhias rasa bangga yang nggak akan pernah bisa gue beli pakai uang sekaya apapun nantinya.

nirvanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang