#4

4.4K 562 215
                                    

Ich bin so froh, dass es Dich gibt
I'm so glad that you exist

Nabila

"Nabila, liat sini."

Waktu masih SMA dulu, yang namanya anak perempuan lagi masanya pubertas, aku pernah ikut-ikutan teman yang lain untuk punya kriteria cowok idaman yang nantinya dijadikan pacar dan bahkan suami di masa depan. Aku yang masih enam belas tahun itu sempat membuat kriteria yang kira-kira seperti ini: Satu, cowokku nanti harus pintar. Maklum, dari kecil aku diajarkan mama untuk selalu mengedepankan pendidikan. Jadi pas udah besar, aku mulai kepikiran mungkin akan sangat seru kalau pacarku kelak orang yang pintar. Kedua, kalau bisa, pacarku bukan seseorang yang dikenal banyak orang. Aku juga sedikit berharap pacarku bukan anak gaul yang mengorbankan waktunya untuk nongkrong sama teman-temannya.

Ya intinya, aku kepingin dia orang yang normal-normal aja. Jangan nakal, jangan orang yang suka cari gara-gara juga. Jadi terdengar cupu ya, kriterianya Nabila ini? Sampai salah satu temanku pernah bilang 'Nabila, mending kamu pacarannya sama professor aja. Dia udah pasti pinter, udah pasti nggak cari gara-gara, dan udah pasti nggak asik. Serius banget sih, Nabila kriterianya? Nanti bosen loh kalo punya pacar yang kayak gitu.'

Mungkin bosen bukan bahasa yang tepat untuk menggambarkan hubunganku sama mantan pacarku yang dulu–yang sama persis seperti yang jadi kriteriaku. Dia pintar, dia nggak nakal, nggak suka nongkrong, sepulang sekolah dia habiskan di perpustakaan atau langsung bimbingan belajar, dan yang terakhir, dia asik sendiri. Dari saat itulah aku sadar kalau cari pacar itu nggak selamanya harus menuruti kriteria yang kita punya, tapi yang lebih jelas kita harus menerima apa yang sudah ada dan jadi takdir kita.

Dan takdir membawaku bertemu Adit. Kalau secara kriteria, laki-laki jangkung ini punya satu hal cakupan yang aku harap nggak ada di sifat pacarku kelak. Aditya itu terlalu gaul. Dia dikenal banyak orang, dia juga anak nongkrong. Setidaknya, waktu pertama kali aku mengenal Adit, ada beberapa pikiran miring tentang dia yang mengisi bagian kepalaku, salah satunya: Pasti Adit ini nggak pernah mengenal kata serius dalam sebuah hubungan. Dia pasti banyak bercanda dan seperti laki-laki kebanyakan, dia cuma bisa bikin kecewa.

Tapi aku salah. Aku terlalu cepat menilai Adit dan mengecap dia sebagai seseorang yang: lebih baik, Nabila, nggak usah punya urusan sama dia. Dan ternyata, aku malah jatuh cinta.

"Kamu emang seserius ini, ya, Nab?" Aku ingat waktu itu aku dan Adit memutuskan untuk bertemu di perpustakaan kampus kami di Bandung. "Ngedate pertama sama Nabila harus di perpustakaan gini?"

Ngedate pertama katanya. Padahal baik aku ataupun Adit belum ada yang mengakui dan membuat jelas status hubungan kami berdua waktu itu. Apakah teman biasa, atau lebih dari sekedar teman biasa.

"Emang kenapa, Dit?"

"Nggak kenapa-kenapa. Adit penasaran aja."

Lalu aku sempat mengira kalau Adit alergi pada apapun yang berhubungan sama belajar. Dan perkiraan aku itu dipatahkan lagi oleh kenyataan kalau Adit memang lahir sebagai seseorang yang jenius. Tapi seringkali, Adit nggak memperlihatkan kepintarannya itu supaya nggak menarik perhatian katanya. Jadilah dia Adit yang kita kenal selama ini, orang terkonyol yang banyak melakukan aksi lucu bersama dua sahabatnya, tapi dalam satu waktu, dia bisa mengerjakan soal ujian semester dengan skor A walau tanpa belajar sebelumnya.

"Kamu jangan terlalu serius Nabila. Nanti gila." Adit melakukan hal itu lagi, dia mengusap ibu jarinya tepat di keningku yang seringkali bertaut stress karena terlalu banyak belajar. "Hidup itu harus seimbang. Kamu serius boleh, tapi jangan lupa sama becandanya. Lagian kasian dong, kepala kamu ini juga butuh istirahat dari mikirin jaringan sama rumus-rumus gila ini."

nirvanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang