#9

2.5K 421 99
                                    

Du bist meine erste Liebe
You are my first love

Nabila

Waktu kecil, aku banyak menghabiskan waktu bersama buku, baik itu buku dongeng, buku pintar, atau bahkan beberapa jenis ensiklopedia oleh-oleh dari Papa, setiap habis pulang dinas kerja di luar kota atau bahkan dari luar Indonesia. Dan aku selalu suka. Padahal Kamila, kakakku, seringkali merajuk minta dibelikan mainan, tapi aku malah nggak peduli sama sekali kalau nanti si mainan-mainan itu datang. Aku cuma mau buku.

"Papa nggak beli buku?" Nabila yang masih cilik itu akan tiba-tiba cemberut kalau papa menggeleng kepala. Tapi, si cilik yang sama akan loncat-loncat bahagia kalau sebagai gantinya papa mengajak aku ke toko buku,  untuk memilih sendiri buku apa yang ingin aku baca nantinya.

"Papa, teteh mau ini ya." Cetusku sambil memborong tiga ensiklopedia bergambar. Kalau nggak salah, dua diantaranya itu tentang kupu-kupu dan dinosaurus. Keduanya aku tinggalkan di Bandung. Sengaja aku susun rapi di kamar, barangkali keponakan kecilku, Olivia, punya rasa ingin tahu yang luar biasa tentang dunia ini, sama seperti aku dulu. Tapi jangan ditiru bagian aku menakut-nakuti teman sepermainan, saat mereka bertanya bukannya dinosaurus sudah nggak ada, ya?

Aku pernah menceritakan kejadian lucu itu ke Adit. Jadi, waktu itu pukul empat sore, sebagai anak perumahan, wajar rasanya aku main keluar pakai sepeda berkeliling dan akhirnya bertemu teman-teman yang lain dilapangan. Mereka lagi asik main masak-masakan yang tradisional sekali, pakai daun dan bunga-bungaan. Haha, maaf ya, waktu itu belum ada gadget, jadi mainnya masih seasik kotor-kotoran main tanah dan sesuai slogannya berani kotor itu baik, kan katanya?

Lalu aku datang, salah satu temanku langsung mengajak aku ambil bagian. Dan aku selalu mengambil peran jadi guru. Iya, Nabila yang waktu itu baru delapan tahun, yang rambutnya dikuncir kuda, yang kemana-mana bawa tas gendong berisikan buku-buku berat, dan yang selalu bangga pakai topi berlogokan NASA, itu jadi guru di daerahnya. Sebuah prestasi kalau kata Adit, soalnya aku waktu umur delapan lagi seneng-senengnya main di sawah, bi.

Dan mungkin main di sawah jauh lebih manusiawi daripada tiba-tiba didatangi tetangga dan melapor kalau anaknya ketakutan, dan nggak bisa tidur setelah dapat ilmu dari si guru cilik di sekolah terbuka alias lapangan basket perumahan.

"Pak Teddy, Tiara jadi nggak bisa tidur karena Nabila cerita katanya dinosaurus itu masih ada. Anak saya ini ketakutan loh, pak. Nangis terus dia."

Mama langsung menoleh kearahku dengan tatapan penuh bingung. Nabila, sudah mama bilang jangan berlebihan! Begitu biasanya omelan mama kalau aku mulai meracau dan menolak berhenti menceritakan semuanya yang aku dapat dari buku.

Aku menunduk takut, tapi disaat seperti itu, disaat aku kira semua orang akan melihatku sebagai bocah aneh yang hobinya bukan main masak-masakan, melainkan baca buku sampai hampir mengetahui semua hal yang belum seharusnya anak kecil tahu. Papa adalah satu-satunya yang menilaiku begitu. Beliau nggak ngomel, atau bahkan ceramah seperti mama.

"Teteh, papa nggak tau loh kalau dinosaurus itu masih ada. Teteh bisa tolong jelaskan ke papa?" Katanya. Dan sedihku hilang seketika saat aku mengangguk, lalu lari secepat mungkin ke rak buku untuk mengambil my dear encyclopedia dan membukanya didepan papa.

"Papa bisa lihat ini, ciri-ciri yang dimiliki hewan purba hampir sama seperti komodo yang masih ada sampai sekarang di Indonesia, kan, Pa? Komodo bisa membunuh mangsanya dengan menggunakan gigitan yang mungkin sekuat T-Rex?"

Sebuah senyum muncul di bibir papa. Dan satu hal yang aku sadari ketika aku beranjak dewasa adalah, waktu itu papa bohong. Dan mungkin bukan cuma sekali. Begitulah cara papa menghargai, beliau ingin mendengar, tidak perlu menyudutkan.

nirvanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang