#8

2.9K 401 127
                                    

Ich bin Hals über Kopf in Dich verliebt
I am head over heels in love with you

Nabila

"I love you, jangan?"

"Jangan, karena kamu udah tau dan aku bakal terus begitu."

Aku masih sering tersenyum gila setiap kali mengingat jawaban Adit. Iseng sudah pasti, tapi aku suka kesederhanaan dan arti yang ada di balik kata-katanya. Bukan, ini  bukan penjelasan seorang penyair. Ini cuma aku, Nabila yang pada setiap kesempatan selalu dengan cerobohnya jatuh ke lubang yang sama. Tapi aku nggak perlu takut, Adit will be there to catch you, katanya.

Tapi aku nggak pernah menyangka sebelumnya, kalau arti dari kalimat romantis itu berarti dia muncul didepan pintu apartment-ku pukul setengah empat dini hari, lengkap dengan senyum nyengir dan tubuh yang menggigil walau sudah dibalut penghangat yang super tebal.

"Hey." Katanya, lalu dia mengecup pipiku, kemudian berlari kecil masuk kedalam dan duduk sambil mengepal tangannya didepan penghangat ruangan. "Pagi." Lanjutnya saat dia sadar aku sedang mengecak pinggang dan memasang raut wajah meminta penjelasan, dari mana kamu sebenernya?

"Kamu ngapain berdiri disitu, bi?" Adit malah bertanya.

"Kamu ngapain keluar jam segini?"

Dia nyengir lagi. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala, dan hampir saja kembali ke pelukan tempat tidur yang nyaman. Tapi kenyataannya, gerakanku kurang cepat dari Adit yang sudah menahan tanganku untuk nggak balik lagi ke tempat tidur.

"Nabila let's get lost."

Aku membelalak kaget. Setahuku, Adit nggak pernah ikut-ikutan teman bulenya untuk minum bir yang jadi maskotnya Munich. Adit juga jauh dari barang-barang terlarang. Jadi, apa kira-kira yang jadi alasan pencetusan ide aneh semacam, get lost?

Tanpa sadar tanganku bergerak, menempel ke dahi Adit. Aku lagi ngecek, barangkali dia sakit, demam sampai mengigau, dan jauh-jauh kesini hanya untuk bilang Nabila let's get lost, sebelum akhirnya pingsan dan bangun keesokan harinya sambil bertanya Adit ngapain ya, disini?

"Kamu nggak lagi sakit kok, Dit."

"Ya siapa yang bilang sakit, bi? Aku serius, aku pengen kita pergi, bedua aja. Bantu Adit nebus dosa Adit yang akhir-akhir ini terlalu sibuk sampe nggak punya banyak waktu buat kamu. Mau, ya?"

Dia meminta, dibarengi dengan bibir yang melengkung kebawah secara drastis, lalu mata yang hampir berlinang airmata seperti anak laki-laki lagi minta dibelikan mainan baru supaya bisa sombong sama teman yang lain.

"Bitte.." Kali ini dia memohon dengan ekspresi wajah yang jauh lebih menderita dari sebelumnya. Karena aku masih belum memberi jawaban, si Adit yang kadang nggak punya perasaan–in a good way–itu menyerangku dengan puluhan kecupan di setiap inci wajah seorang Nabila Milena. Sampai aku menyerah soalnya Adit mulai menyiksa dengan perang kelitikan yang aku paling nggak bisa lawan.

"Oke, oke, Aditya Mahya take me with you."

Jam empat kurang enam belas dini hari, aku sudah tertawa sampai nafasku hampir habis. Tapi aku nggak menyesal, karena untuk alasan apapun, kalau kamu tertawa bersama orang yang kamu cinta, rasanya nggak ada yang salah. Apartment ini, Munich, Jerman, bahkan dunia hanyalah milik berdua, yang lain nggak perlu ngontrak, cukup ada di dunia yang sama dan harus mau berdoa untuk kebahagiaan kami berdua.

"Ibarat kita lagi patungan. Kalo mereka ikut patungan dengan cara doain kita, nanti kita kasih bahagianya. Kalo nggak. ya selamat menikmati jadi yang ingin seperti kita tapi calonnya nggak ada."

nirvanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang