Liebe, bitte bleib bei mir
Love, please stay with meNabila
Aku pernah ada di situasi ini. Didalam keadaan yang paling menyakitkan sekaligus menyedihkan. Lagi-lagi aku merasakan pahitnya ditinggalkan.
Airmataku sudah kering. Emosiku pun dingin. Aku sudah nggak bisa merasakan apapun lagi, semuanya berubah kebas saat pagi tadi aku disiapkan baju serba hitam lengkap dengan satu buket bunga yang ditaruh di atas meja belajar.
Aku memalingkan pandangan, sengaja enggan menatap siapapun yang masuk ke kamar dengan wajah sedih dan penuh iba. Aku juga malas menatap baju dan bunga yang sudah disiapkan. Intinya aku menolak semuanya, aku menolak ajakan pergi, menolak pakai baju hitam, menolak meninggalkan kamar karena aku benci pemakaman.
"Nabila ayo, teh, udah waktunya."
Waktunya apa? Kenapa orang-orang ini begitu memaksa aku untuk pergi? Kenapa dari sekian banyak orang harus aku yang mengalami hal ini sampai dua kali? Aku tahu diluar sana juga banyak orang yang mengalami hal seperti ini. Tapi, Tuhan, kalau pada akhirnya dipisahkan, kenapa awalnya kami dipertemukan?
Mama membantuku memakai baju serta tudung hitam dikepalaku. Senyumnya tipis dan pahit. Mungkin di kepalanya terpikirkan kenapa aku, anak malangnya, harus mengalami hal serupa sampai dua kali. Pertama papa. Kedua, orang kepercayaan papa.
"Sabar ya, teh, doa mama menyertai kamu dan dia."
Bagus. Aku suka begini, aku suka saat semua orang tidak menyebut namanya jelas. Cukup dia. Dengan hanya sesingkat itu pun hatiku masih sangat tercabik. Karena dia yang mereka maksud adalah dia yang pergi mendahului kami disini.
Aku sudah dipelataran tempat peristirahatan terakhir. Tapi kakiku enggan diajak keluar dari mobil dan aku memilih untuk berdiam lebih lama disini sambil menyaksikan sekian banyak kerabat dekat silih berdatangan dengan niat mengantar dia pulang.
Satu persatu ku absen namanya. Yang aku kenal ada lumayan banyak, hanya sedikit wajah asing yang dalam keadaan seperti ini sangatlah tidak penting dipikirkan dia itu siapa. Yang aku tahu, mataku memanas saat melihat teman-teman dekat kami datang secara bersamaan. Semuanya memakai warna baju yang sama. Hitam-hitam tanda kesedihan.
Mas Reza jalan dijajaran paling depan. Tangannya erat menggenggam mbak Aina yang terlihat menguatkan suaminya. Mas Reza, dibalik kacamata hitam yang dipakainya mungkin menaruh sakit yang paling dalam. Bagaimana ya rasanya kehilangan satu dari mereka yang ikatannya sudah sekuat keluarga?
Dibelakang, ada mas Aga yang sama seperti mas Reza, dia memakai kacamata hitam. Mbak Lea dengan setia mengapit serta mengusap lengan suaminya, mengucap sepatah dua patah kata ke telinganya. Mungkin 'sabar' sama seperti yang orang lain sering ucapkan ke aku, atau juga 'dia sudah ditempat paling indah'. Tsk, yang indah itu kalau dia bersama kami disini.
Mas Esa setengah memeluk kak Fira. Sekali dua kali aku melihat dia melandaskan kecupan lembut ke puncak kepalanya. Mungkin tujuannya lagi-lagi untuk menguatkan. Tapi siapa coba yang bisa kuat ketika ditinggalkan? Kita semua bisa jadi sangat lemah. Selemah Arsen, yang datang dengan wajah pucat pasi. Anindya, disisinya dengan sangat lembut menuntun dia jalan walau matanya juga sama merahnya. Kita semua sedih disini, dan entah siapa yang bakal lebih dulu berkuat hati.
Sebuah ketukan terdengar dari jendela, aku menoleh dan mendapati Bagas sedang tersenyum tipis. Kepalanya bergerak mengisyaratkan ini sudah waktunya turun dan memberi salam terakhir. Aku mengangguk, membuka mobil dan menghirup udara paling menyesakkan. Apa memang begini udara di pemakaman? Sesesak ini? Semenyakitkan ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
nirvana
Fiksi Penggemara state of perfect happiness, harmony and freedom an aditstories 2.0 || updates once a week