#6

3.2K 454 60
                                    

Ich liebe dein lacheln
I love your smile

Nabila

"Kamu nervous, bi?"

Aku mengangguk tanpa melirik dia sama sekali. Pandangan dan pikiranku cuma fokus sama satu hal. Panggung didepan itu.

"Kita pergi aja yuk, Dit?" Bisikku karena nggak mau mengganggu hadirin lain yang pelan tapi pasti mulai memenuhi tempat yang cukup besar dan megah itu. Belum semegah Bridgewater Hall Auditorium di Inggris, sih. Lagipula kalau yang itu, untuk masuk dan ikut duduk walau dua menit pun aku nggak berani. Apalagi untuk ikut audisi ujian masuk sekolah musik seperti yang waktu itu aku jalani.

Rasanya, lebih baik di lab aja. Menghabiskan waktu bersama mesin, listrik, dan yang lain kayaknya jauh lebih membuat tenang daripada berada di tengah-tengah para pelaku seni begini.

"Eh? Kok gitu?"

"Aku nggak pede, Adit. Aku tuh nggak jago mainnya."

"Ya kalo kamu udah jago mah nggak perlu sekolah lagi, bi. Udah, diem aja dulu. Lagian kamu harus sayang dong, ikut ujian masuk gini kan kamu bayar. Uangnya dari hasil kerja di toko buku. Ya emang nggak seberapa, tapi Nabila yang Adit kenal nggak cepet nyerah."

Menit berikutnya, yang aku lakukan adalah mengingat kembali jalan cerita kenapa pada akhirnya aku sampai bisa duduk didalam hall tersebut, disamping Adit yang dengan sangat baik menenteng sekaligus menjaga tas biolaku.

Oh iya, biola. Ini alasan kenapa aku bisa sampai sangat niat ikut ujian masuk sekolah musik. Mimpi kecilku untuk menjadi seorang performer yang duduk anggun ditengah panggung sana, disaksikan beratus pasang mata penikmat musik klasik inilah yang membawaku ke sebuah website pendaftaran online dan berakhirkan disini. Aku harus ikut audisi ujian masuk karena katanya sekolah ini nggak menerima sembarang orang. Ya aku, sebagai seorang pemain biola abal-abal, yang hanya modal belajar dari teman satu apartment dan YouTube, bisa apa selain berdoa semoga kalau gagal aku nggak malu-malu amat.

Tapi benar kata Adit, aku bukan Nabila kalau cepat nyerah sama tantangan. Dulu, aku cuma anak perempuan yang bermimpi melanjutkan pendidikanku di Jerman. Lalu, aku membuktikan kalau mimpi itu bisa jadi nyata, lewat usaha dan keyakinan kalau aku itu bisa. Dan tada! Sekarang aku di Jerman. Aku berhasil mengalahkan semua anggapan dan pikiran yang menghalangi aku untuk mewujudkan harapan. Jadi, Nabila, seharusnya kalau cuma ujian kecil seperti ini kamu nggak perlu takut.

Iya, nggak perlu takut. Kemudian aku terpaku menonton seorang pianist sukses membawakan Nocturne op.09 no.2.

"Kata Adit kalo udah jago nggak usah sekolah lagi. Itu dia udah jago, Adit." Aku yang mirip anak lima tahun itu tiba-tiba merengek ke Adit. Yang jadi tempat pengaduan itu malah terkekeh sambil menggeleng kepala. Kan sebel.

"Kamu nggak denger tadi dia miss satu note?"

"Emang Adit tau darimana dia miss senotasi?"

"Tau lah, gini-gini juga Adit kalo belajar dengernya Chopin, bi. Jadi Adit tau kalo dia salah." Jawabnya dengan penuh bangga.

"Kalo semua orang disini kayak kamu, berarti nanti bakal banyak banget yang sadar sama salahnya aku."

"Oh, tenang, ada satu yang nggak."

"Hm?" Aku menoleh bingung.

"Satu orang itu Adit. Soalnya bagi Adit kamu nggak pernah salah."

Suportif. Mungkin satu kata ini yang menggambarkan dengan jelas bagaimana Adit ke aku, ataupun sebaliknya. Kami berdua selalu mendukung keinginan apapun. Kalau sukses, aku pasti ada. Kalau gagal apalagi. Jadi, hari itu, dengan keteguhan hati, aku memberanikan diri sekali lagi. Karena kalau gagal pun, Adit bakal tetap ada.

nirvanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang