Une
Aku memijakan kaki ku di sebuah taman lembab. Daun-daun masih menimbulkan suara angin di karenakan hujan yang terus membara. Ujung jaket hitam ku basah karena butiran hujan yang terus menyebabkan angin kencang. Aku merapatkan tudung hitam ku dengan cepat. Karena aku takut di ketahui oleh semua orang kalau aku disini hanya untuk mengeluarkan air mata.
Aku terduduk lemas di sebuah bangku panjang di bawah pohon beringin. Untuk ke sekian kali nya, aku mulai mengusap mata ku yang sudah memerah karena terbekas se kolam air mata.
Aku merapatkan kaki ku agar tidak terkena hujan yang masih menemani ku di taman tak berpenghuni ini.
Terlihat seorang lelaki berumur 5 tahun menyeberang jalan. Dan terlihat lah sebuah mobil yang melaju kencang menuju lelaki itu.
Aku memutar mata ku. Dan pikiran ku pun menyeringai. "Biarkan saja lah."
Bruk!
-
Aku terbangun. Kemudian melihat lelaki berumur 5 tahun itu ada di dekapan ku. Dia terlihat ketakutan, tetapi aku berusaha menenangkannya. Orang tua mereka berlari menuju ku, kemudian menunduk berkali-kali tanda berterima kasih.
Aku tersenyum. Kemudian beranjak dan membuat lelaki berumur 5 tahun itu berdiri. Orang tua lelaki itu tersenyum. Lalu meninggalkan ku.
Jangan khawatir, aku tidak mengharapkan balasan apa-apa.
Kemudian aku berjalan kembali ke bangku panjang kesayangan ku itu. Lalu sadar akan satu hal.
"Shit!"
Aku menendang bangku panjang itu sampai bangku itu sedikit terjungkal ke belakang. Aku mengepalkan tangan ku.
Aku melakukannya lagi.
Aku menghela nafas. Lalu memukul-mukul pohon beringin itu seakan dia adalah orang yang paling ku benci. Aku hanya ingin melampiaskannya pada sesuatu. Itu saja.
Kemudian sebutir air mata pun turun dari pelipis ku.
"Ini memang sudah takdir,"seru ku di tengah isakan ku. "Kapan aku bisa menghentikan semua ini?"
Pukulan ku pun berhenti. Kemudian aku melihat batang pohon itu, lagi-lagi, batang itu sudah koyak. Aku terdiam, berusaha mengontrol nafas ku. Kemudian membetulkan bangku panjang dan duduk kembali sambil termenung.
Jika kalian belum mengerti, sejujurnya, aku malas untuk menjelaskan nya. Karena aku sendiri pun tidak ingin tenggelam dalam kesedihan yang tidak mungkin bisa dihentikan.
Karena, jika aku menceritakan kembali bagaimana sebuah kisah ini didirikan, itu sama saja aku menggali lagi masa lalu yang sudah ku kubur dalam-dalam di hati kecil ku.
Hati ku yang tak berguna.
Hati ku yang tidak patuh oleh pemimpinnya. Yaitu otak ku.
Seperti yang kalian tahu, hati ku di golongkan mempunyai jiwa lain. Itu menurut ku. Aku tak pernah berkonsultasi dengan siapa pun tentang hati ku yang tak berguna ini.
Menurut ku, hati ku itu mempunyai kelainan.
Dulu, sebelum hati ku menjadi seperti ini, aku adalah seorang perempuan yang tidak peduli, dingin dan kasar. Aku pernah mengira kalau tuhan ingin mencoba kemampuan ku, tetapi aku tidak yakin kalau cobaan Nya se kejam ini.
Setiap hari, hanya karena sebuah kata, aku bisa merasakan sebuah kesedihan. Padahal dulu, aku tidak pernah menangis. Dan sekarang? Hanya karena sebuah kata saja, atau sesuatu yang membuat dada ku sakit, aku bisa merasakan kesedihan dan kemarahan.
Ini semua membuat ku gila karena kelainan ku ini.
Bakat?
Jangan kata kan hal ini adalah sebuah bakat. Karena hal ini sama sekali tidak berguna di kehidupan ku. Yang ada hanyalah membuat ku sengsara akan rasa takut dengan pandangan-pandangan itu.
Aku menghela nafas. Lalu menatap seorang lelaki sebaya dengan ku—mengayuh sepeda tua nya yang berwarna cokelat. Dia melihat ku. Dan tanpa aba-aba, aku langsung bisa mengetahui apa pikiran lelaki itu.
"Cewek itu sendirian saja."
Aku menghela nafas. Kemudian beranjak pergi. Aku tidak mau menatap mata lelaki itu. Kalau aku menatap nya terus, bisa-bisa aku mengetahui semua pikiran nya—dan yang lebih penting, bisa-bisa aku di kira orang gila karena terus memandang gerak-gerik nya—ralat, memandang mata nya.
Aku mengambil payung ku yang berwarna hitam. Walaupun hujan sudah reda, aku tetap memakai payung tua ku itu. Entah untuk apa.
Lalu, aku berjalan keluar dari gerbang taman kesayangan ku, dimana aku menumpahkan segala perasaan ku di sebuah pohon dan sebangku kursi panjang.
Akhirnya aku kembali lagi ke dunia ku. Dunia dimana aku di kenal sebagai perempuan ceria, hangat, manis dan ramah. Tetapi aku hendak mengubah nya.
Karena aku sudah muak dengan segala hal tentang diri ku yang peduli kepada orang lain.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Sensitivity
Teen FictionKisah tentang seorang perempuan berhati sensitif. Kau pasti terlalu bingung untuk mengartikan nya. Karena memang perempuan itu tak bisa di artikan. Dia selalu bertingkah ceria, padahal diri nya menahan rasa sakit yang menusuk.