Dix

965 66 4
                                    

Dix

 Tujuh ratus tiga puluh hari kemudian

Lersy berjalan dengan cepat menerobos para murid-murid yang berlalu lalang karena ingin melihat papan pengumuman kelulusan. Ia merapatkan dekapan tangannya yang berisi buku agar tak jatuh saat ia melihat papan pengumuman nanti. Seseorang dengan tak sengaja menjatuhkan buku nya, membuat ia bergurutu kesal seraya mengambil kembali buku nya yang sudah di apit oleh murid-murid tidak sabaran itu.

Diri nya terkesima ketika melihat papan pengumuman.

Lersy mendapat nem tertinggi dari murid-murid lainnya. Ia tersenyum kecil, lalu berjalan keluar dari kerumunan murid-murid gila yang tadi hampir menginjak sepatu hitam nya. Ia berjalan ke arah Thalia yang sedang menangis terharu. Terlihat sebuah kertas di tangannya, dengan tulisan ‘diterima’ berwarna merah dan berhuruf kapital.

Lersy tertawa riang, lalu memeluk Thalia. “Selamat, Thalia!”

-

Malam dua tahun sebelum nya, Thalia merasa di khianati oleh Lersy. Thalia menjauhi diri nya dari Lersy selama satu minggu, dan Lersy pun tak tahu harus berbuat apa. Di akhir minggu, Lersy akhirnya menghalang jalan Thalia yang berusaha keras mengabaikan Lersy. Lersy pun sudah berubah, Ia sekarang cukup pendiam, sepert sifat asli nya. Ia masih bisa membaca pikiran orang lain dengan tatapan mata, tetapi ia berusaha keras untuk tidak membaca pikiran orang lain.

Thalia berusaha kabur, tetapi dia tak bisa lepas dengan pandangan mata Lersy saat ia mengucapkan kata ‘maaf’. Mereka berdua menangis bersamaan, lalu berpelukan. Itulah sahabat sejati. Walaupun hati Lersy tak pernah lagi merasakan kehangatan seperti senyuman Joy.

Joy?

Lersy pun tidak tahu sekarang ia dimana. Lersy tak pernah menanyakan alamat rumah Joy. Ia sudah menanyakan pada warga desa. Tetapi tak ada yang pernah melihat nya lagi.

Sekarang, Lersy sudah melupakan Joy.

-

“Kau masuk Edrill?! Itu jauh sekali, Thalia! Bagaimana kita bisa bertemu nanti?”

Kini, kami sedang berada di kafe pelayan dekat taman kelam ku dulu. Thalia menghembuskan nafas nya perlahan. “Entahlah. Memang nya kau di terima dimana saja? Nem mu sempurna, Lersy! Oh ayolah, ikut ke Edrill bersama ku! Aku yakin kau tidak memakai ujian-ujian terlebih dahulu mengetahui nem mu yang sangat sempurna,”tutur Thalia seraya mengangkat cangkir teh nya.

“Seperti nya bisa saja,” Aku menopang dagu ku. “Dan berhenti dengan kata-kata ‘sempurna’ itu! Menyebalkan sekali mendengar nya,”

Thalia terkekeh geli, lalu ia meletakan cangkir teh nya dengan pelan. “Kau masih ingat—”

“Ferr? Tentu saja,”ujar ku pelan seraya menunduk, melihat air yang memantulkan sebuah cermin di cangkir teh ku. “Aku masih tak percaya kau bisa naik kelas bersamaan dengan ku, padahal kau lebih muda dari ku,”

“Jangan mengalihkan pembicaran, Lersy.”gerutu Thalia bersekukuh.

Aku tersenyum menyeringai. Lalu terdiam. “Kau masih mencintainya?—maksud ku, mencintai.. Ferr?”

Thalia menggeleng pelan. Lalu ia menunduk. “Aku masih kekanak-kanakan, mencintai kakak sendiri. Sungguh gila,”

Aku terdiam, meresapi perkataan Thalia, terdengar jelas kalau Thalia masih mempunyai perasaan terhadap Ferr. “Ferr sekarang dimana? Aku tak pernah melihat nya lagi,”

“Dia,” Suara Thalia mulai bergetar. “Dia kabur dari rumah, Lers..”

--

Kaki ku melangkah pelan menuju meja komputer. Aku sudah daftar di Edrill, tetapi aku belum mengetahui apakah aku di terima atau tidak. Thalia berjanji akan pergi bersama ku ke London jika aku di terima nanti. Aku menjatuhkan badan ku ke kursi, lalu menghidupkan komputer ku dengan jantung berdetak kencang. Aku berdiri, lalu pergi ke dapur untuk mencari minuman.

Aku membuka kulkas, lalu mengambil sebuah kaleng soda dan membuka nya. Mata ku tak sengaja menangkap sebuah televisi yang masih menyala di dekat meja makan. Dengan rasa penasaran yang begitu kuat, aku berjalan pelan menuju meja makan, lalu meletakan kaleng soda ku dan memandang televisi itu dengan serius.

Dua detik kemudian, aku langsung berkutat dengan berita-berita yang ada di TV. Sungguh, aku tidak pernah menonton TV. Kini, ada sesuatu yang membuat ku ingin menontonnya nya.

“Frizca Joyced dinyatakan meninggal tanggal 3 desember. Adik dari Flo Joyced sang penentang tentara inggris yang di nyatakan pahlawan itu meninggal karena penyakit jiwa nya yang membuat otak nya lumpuh. Pemakaman di laksanakan tanggal 4 desember, tetapi menurut orang-orang sekitar, Flo Joyced, sang pahlawan yang mencintai adik nya itu, tidak pernah di temukan lagi semenjak dua tahun yang lalu,”

Frizca Joyced.

Otak ku memutar kembali kisah ketika kami berada di bawah bintang dan berpegangan tangan. Joy bercerita tentang keluarga nya dan masa lalu nya. Ia berkata kalau ia sangat mencintai adik nya. Karena hanya adik nya yang tersisa di dunia ini, yang bisa di sebut keluarga. Ayah nya sudah meninggalkan ibu nya sejak entah kapan, dan Joy membenci ayah nya. Meskipun aku ingat betul kata-kata terakhir ibu Joy saat ingin meninggal dunia.

Joy pasti merasa sedih sekali sekarang. Dia.. Dia dimana?

*

SensitivityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang