Deux
Multimedia : Lersy Goldinia
“Lersy!”
Sebisa mungkin aku tidak menoleh. Tetapi lagi-lagi hati ku berkata lain. Seorang perempuan. Dia bernama Thalia. Teman ku ceria dan ramah. Sebaya dengan ku. Tetapi, dia tidak seperti ku. Dia ceria dengan murni. Bukan dengan ku yang hanya seperti sebuah sandiwara.
Aku tersenyum—meskipun aku tahu kalau senyuman itu bukan berasal dari hati. Sebenarnya, semua senyuman ku tidak pernah berasal dari hati. Aku hanya tersenyum tulus jika hati ku hangat. Tetapi aku tak pernah merasakannya. Hati ku sudah beku seperti es di suhu -300 derajat.
“Ada apa, Thalia?”tanya ku sambil memiringkan kepala. Salah satu kebiasaan ku ketika seseorang memanggil ku. Entah kenapa aku melakukannya. Mungkin hati ku memberikan ku kebiasaan untuk bertindak sok lucu.
Thalia menampakan gigi rapih nya. “Sore ini aku akan pergi ke panti asuhan Froley. Kau mau ikut?”
Reflek, aku mengangguk. Anggukan ku membuat Thalia tersenyum. Dia melambaikan tangannya. Lalu berlari meninggalkan ku.
Sadar akan apa yang terjadi, aku berlari kecil ke taman belakang sekolah. Kemudian memukul sebuah pohon yang entah bernama apa. Ekspresi ku tetap tidak berubah. Masih senyuman hangat yang menghiasi hidup orang lain. Tetapi melihat gelimang darah di sela-sela jari ku, kalian pasti sudah yakin kalau senyuman ku itu tidak di terima oleh jiwa ku.
“Kapan aku akan berani untuk berkata ‘Tidak’?”pekik ku kencang. Kencang sekali hingga membuat burung dara berterbangan.
Aku terus memukul-mukul batang pohon itu sampai terlihat sebuah retakan. Tidak hanya sebuah, melainkan ‘banyak’. Aku berdiri mematung sambil memandang retakan-retakan itu.
Aku tahu itu salah ku. Tetapi bukan sepenuhnya.
“Bukan sepenuh nya salah ku bukan kalau pohon ini menjadi pelampiasan? Aku hanya tidak tahan, ya tuhan!”
Bruk!
Aku kembali memukul batang pohon itu. Tetapi hanya sekali, dengan memakai kekuatan besar. Batang pohon itu—sudah koyak, seperti dugaan ku.
“Mengapa begitu susah untuk menyatakan perasaan ku yang sebenarnya? Mengapa begitu susah untuk tidak peduli? Mengapa begitu susah untuk tidak membuat hati ku seperti ini?”
Aku terdiam. Lalu melihat tangan ku yang sudah bergelimang darah. Ku usap kasar tangan ku di sapu tangan yang selama ini selalu ku bawa untuk darurat. Aku menghela nafas ketika melihat darah yang masih saja mengalir dari tangan ku. Lalu aku segera pergi ke kamar mandi perempuan untuk menghentikannya.
-
Aku menghela nafas ku. Lalu menghempaskan diri di sofa berwarna putih yang berada di ruang utama di panti asuhan Froley. Seorang anak berumur 4 tahun tersenyum memandang ku. Lalu dia pergi meninggalkan ku dan melangkah menuju Thalia.
Aku tak menyalahkannya.
Thalia memang di kenal sangat baik di kalangan anak-anak kecil di desa kami. Sementara aku, di kenal sebagai seorang pahlawan karena terus membantu orang lain. Padahal aku sendiri pun tidak ingin melakukannya.
Seorang lelaki seumuran dengan ku tiba-tiba duduk di sebelah ku. Aku agak terkejut. Tetapi kemudian kembali tenang saat mengetahui siapa lelaki itu.
“Ferr? Sedang apa kau disini?”tanya ku sambil melihat Thalia yang mengusap anak berumur 4 tahun tadi.
Dia terjerat mendengar suara ku. Lalu tersenyum. “Untuk melihat mu, apa lagi?”
Kalian pasti bingung. Mengapa aku bisa tahu dia tersenyum dan ekspresi nya yang lain. Sesungguhnya, aku juga tidak mengetahui nya mengapa aku bisa seperti ini. Kemarin juga, aku tidak tahu mengapa aku bisa membaca pikiran lelaki di taman itu hanya dengan menatap mata nya.
“Hahaha,”tawa ku sedikit terpaksa. Jujur, sebenarnya aku tidak menyukai Ferr a.k.a Ferolialdo. Tetapi aku panggil saja dia Ferr. “Kau tak membantu Thalia?”
Dia menggeleng. “I rather stay here with you.”
Tampak nya, jika kalian tahu suara dan wajah nya bagaimana, kalian pasti akan tersanjung dan terlena dengan setiap kata-kata yang di keluarkan oleh bibir tipis nya itu. Tetapi aku tidak merasakan apa-apa. Hanya hati beku yan menanggapi peristiwa ini.
“Funny.”tawa ku. Kemudian berdiri. “Aku harus pulang. Sudah jam 6. Nanti ayah bisa marah kalau aku pulang terlalu malam.”
“Oh, come on, Lers. Tunggu aku dan Thalia. Kita bisa pulang bersama,”ujar Ferr sambil memegang tangan ku.
Aku tersenyum. “Baiklah. Tetapi kasih tahu adik mu, kalau dia tak cepat-cepat, dia bakal kehilangan kakak nya.”
Ferr tertawa. Kemudian dia melepaskan tangan ku dan berlari ke arah Thalia.
Keluarga bahagia, ujar ku dingin di dalam hati.
-
“Aku pulang.”
Sesuai dugaan ku, tak ada jawaban. Aku mulai melepas sepatu ku. Lalu berjalan pelan ke dapur. Seperti kebiasaan rutin ku, aku mengambil sebuah apel ranum, lalu meletakan tas ku di meja dan mendapati sebuah kertas yang berada di meja ku.
Ayah akan pulang terlambat. Jaga diri mu baik-baik.
Ayah.
Tak butuh sedetik sampai aku meremas kertas itu dan membuang nya. Semenjak ibu ku meninggalkan kami, ayah pasti selalu pulang malam. Tetapi aku sudah tidak peduli lagi. Ayah pun mengetahui sifat ku yang sekarang aneh. Tetapi dia tak pernah menanyakannya. AKu tak butuh ayah yang seperti itu.
Setelah merapihkan tas ku, aku mengambil jaket ku sambil terus memakan apel. Aku memakai sepatu ku, lalu berjalan kembali untuk menikmati keindahan malam—ralat, sebenarnya aku ingin pergi ke taman kesayangan ku.
Tak butuh beberapa menit aku sampai di taman kesayangan ku. Aku memandang seorang lelaki seumuran dengan ku—dia sedang duduk di bangku panjang kesayangan ku. Wajah nya tak terlihat. Aku bahkan tidak yakin kalau dia adalah manusia atau tidak.
Tanpa ragu, aku mendekati nya. Mungkin aku bisa menyembuhkan kesedihannya dengan wajah palsu ku ini. Wajah palsu yang selalu ceria dan menghiasi kehidupan orang lain. Seperti perkataan ku sewaktu itu, wajah ini tidak pernah sekali pun menghiasi kehidupan ku.
Aku berdiri tepat di hadapan lelaki itu. Perlahan, dia mendongak. Kemudian terkejut saat melihat ku.
“Jangan kau perlihatkan wajah palsu mu di depan ku.”
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Sensitivity
Teen FictionKisah tentang seorang perempuan berhati sensitif. Kau pasti terlalu bingung untuk mengartikan nya. Karena memang perempuan itu tak bisa di artikan. Dia selalu bertingkah ceria, padahal diri nya menahan rasa sakit yang menusuk.