Six
A/N : Alhamdulillah rating Sensitivity di kategori cerita pendek udah 20 an :" thanks bgt ya semua nya! Trailer sudah ku buat. Silahkan cek di chapter 'Sensitivity' :)
“Sama dengan ku, Revika.”
Aku tercekat. Lalu menoleh ke arah Joy dengan perlahan. “Apa maksud mu?”
Joy menyengir tak jelas. Kemudian dia menepuk kepala ku dan menetapkan tangannya disana. “Tidak. Tidak apa-apa,”
“Beritahu aku, Joy. Sebetulnya aku bisa mengetahui nya dengan memandang mata mu. Tetapi aku ingin kau memberitahu ku,”tutur ku jujur.
Joy memandang ku dengan mata menyipit. Lalu mata nya melebar, seakan tahu benar apa perasaan ku sebenarnya. Setelah itu, ia menghela nafas panjang. “Baiklah. Kau ingin tahu masa lalu ku?”
Aku mengangguk cepat. Lalu memandang nya mata berbinar. “Cepat beritahu ku. Aku lelah menunggu,”
“Kita baru kenalan, Lersy!”tawa Joy sambil menepuk pundak ku.
Aku mencibir. “Tapi,”
Joy terdiam. Dia mengamati ku serius dengan mata hazel nya yang sempat membuat ku terlena sedikit.
Aku menarik nafas ku dengan pelan. “Tapi aku merasa kalau kita berdua mempunyai nasib yang sama. Jujur, saat aku memandang mata mu, yang kurasakan hanyalah kegelapan. Padahal aku tak pernah merasakan hal itu sebelumnya. Masa lalu mu—”
“Gelap,”desis Joy lirih.
Aku mengerutkan dahi. Lalu sadar akan perkataan ku yang salah. “Maaf,”
Joy menggeleng. “Tidak usah minta maaf, Vik. Aku sudah tenggelam dengan masa lalu ku,”
Oke, sekarang dia memanggil ku dengan dua nama.
Mata Joy menunjukan rasa sendu. Tak lama kemudian, dia menunduk, melihat dandelion yang kini hanya ada tangkai nya saja. “Aku sudah mengingat betul apa yang terjadi di masa lalu ku. Aku sudah mengingat nya, Revika. Kalau aku dulu hanyalah orang miskin yang tak bisa apa-apa,”
Mata ku bergerak otomatis ke tangan Joy. Kini, tangannya sudah meremas tangkai dandelion itu. Tetapi, ajaib nya tangkai itu tidak patah. Atau belum patah.
“Kau tahu? Sewaktu pemerintah masih di kuasai oleh Inggris sewaktu itu, aku disana. Aku masih berumur 5 tahun. Dan aku tak bisa melindungi keluarga ku,”
—Flashback—
Joy POV
“Ibu!”
Dor! Dor!
Sebuah tangisan pun terdengar meraung-raung dari rumah sebelah. Kejam nya, tentara Inggris. Mereka merengut nyawa tak bersalah dari kami semua. Padahal desa ini hanyalah desa terpencil yang mempunyai raga lemah. Mereka memang tak pernah puas.
Setelah mengambil kekuasaan raja Farenheit di kerajaan Virdinia, mereka pergi dan mengambil desa kami. Desa dimana aku dilahirkan. Dan sekarang, tinggal menunggu diri ku di bunuh dan aku bisa pergi dari kesengsaraan ini.
“Flo!”
Itu suara ibu ku. Sekarang, kami sedang dalam masa pengejaran. Rumah ku sudah di hancurkan oleh tank tentara inggris. Buku favorit ku ‘Rubber Whale’ , masih ada disana. Dan aku tak mau meninggalkannya.
Ibu ku tetap memanggil ku dengan panik. Tetapi, aku bodoh. Aku terus berlari meninggalkan ibu ku yang mengikuti arus para penduduk desa ke kerajaan William.
Sekali lagi, aku bodoh. Hanya karena buku bergambar favorit ku, aku rela menyusup di antara tentara-tentara inggris yang mengejar para penduduk desa.
Mengapa mereka melakukan nya? Mengapa mereka membunuh para teman ku? Padahal kami tak ada salah apa-apa?
Setelah berhasil menyusup para tentara itu, aku sampai di rumah ku yang telah hancur seperti kapal titanic. Tanpa alas kaki dan hanya sebuah baju lusuh, aku berlari memasuki rumah ku dan segera mencari buku itu.
“Flo! Kau ini, bagaimana kalau kau terbunuh, nak?”
Tiba-tiba, ibu ku datang dengan adik bayi ku yang masih berumur 3 bulan. Aku terdiam mengamati Ibu ku yang masih saja menceramahi ku. Akhirnya, aku menemukan buku favorit ku.
Tetapi, tidak sampai itu saja. Saat ibu ku sedang menceramahi ku, dua orang tentara inggris melihat kami.
“Kalian disana!”
Aku terkejut, lalu menarik tangan Ibu ku karena takut. Rumah ku tak ada pintu belakang. Kini, dua tentara Inggris itu ada di pintu depan rumah kami.
“Kalian punya keberanian untuk medatangi rumah yang sudah kami amankan tadi,”tutur seorang tentara Inggris yang membawa senapan besar.
Tubuh ku gemetar, aku hanya bisa bersembunyi di balik tubuh ibu ku.
Aku bodoh. Seharusnya aku melindungi ibu ku.
Dor!
“Ibu!”pekik ku histeris.
Sekarang, ibu ku sudah tergeletak tak berdaya karena melindungi ku. Patrick—adik bayi ku—menangis di pelukan ibu ku. Mata ku melotot ketika melihat darah bercucuran dari dada ibu ku. Baju nya sudah robek. Terdapat banyak goresan di tubuh ibu ku.
Dan yang ku lakukan hanyalah menangis.
Aku merasa bahwa sebagian dari diri ku hilang ketika melihat ibu ku meninggal di depan mata ku sendiri. Aku menekan dada ibu ku, berharap agar ibu ku tak meninggal seperti ini. Tetapi tuhan berkata lain.
Dengan senyuman hangat, ibu ku menatap ku, membelai rambut ku dengan rasa kasih sayang besar. “Lindungi lah orang yang kau sayang, nak. Jangan menjadi ayah mu. Tetapi kau harus tetap mencintai nya karena ia telah membuat mu ada di dunia ini. Aku mencin—”
Kalimat Ibu terputus, tangannya terjatuh. Mata ku melebar. Ibu ku sudah meninggal dunia.
Patrick tetap menangis. Dan sekarang, aku ikut menangis terisak-isak, ku lihat sebuah pisau di samping ibu. Pisau dapur yang selama ini di pakai ibu untuk memberi makan ku dan adik bayi ku.
Seperti kerasukan, aku mengambil pisau itu. Lalu menatap tentara Inggris itu dengan mata kosong.
Tentara Inggris itu tertawa melihat ku. Mereka mengadahkan senapan mereka. Lalu tersenyum. “Matilah kau, anak kecil.”
Aku berpekik penuh kemarahan. Lalu berlari dengan cepat ke arah tentara Inggris itu. Mata ku melotot nyaris keluar, yang hanya ku pikirkan hanyalah tentara inggris yang mati agar ibu ku bangga dengan ku.
“Enyahlah kau berdua! Persetan dengan tentara inggris!”
Aku melompat, lalu menusuk dada salah satu tentara inggris yang menembak ibu ku. Aku menarik pisau ku, lalu menusuk nya terus tanpa rasa belas kasihan.
Dor!
Sebuah peluru nyaris mengenai ku. Aku menoleh dengan tatapan menakutkan. Lalu menarik melempar pisau ku yang tepat mengenai bola mata rekan tentara inggris yang telah ku bunuh. Tepat setelah itu, aku mengambil sebuah pistol yang ada di saku tentara inggris yang sudah kubunuh. Lalu menembak rekannya berkali-kali seperti kesetanan.
Aku tersenyum puas ketika melihat dua orang tentara itu meninggal secara mengenaskan karena tangan ku sendiri. Lalu aku menggendong adik bayi ku dengan kasih sayang,
“Selamat tinggal, ibu ku.”
—Flashback end—
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Sensitivity
Teen FictionKisah tentang seorang perempuan berhati sensitif. Kau pasti terlalu bingung untuk mengartikan nya. Karena memang perempuan itu tak bisa di artikan. Dia selalu bertingkah ceria, padahal diri nya menahan rasa sakit yang menusuk.