Cinq

1.3K 92 4
                                    

Cinq

 

Kami berdua terdiam sepanjang perjalanan. Aku masih memikirkan perkataan Joy. Mengapa aku tak membaca pikiran nya saja? Hanya kalimat itu yang bisa melintas di pikiran ku. Tetapi aku tak pernah mengubris nya.

Aku yakin aku akan merasakan rasa bersalah jika mendalami mata nya dan masuk ke masa lalu Joy. Tetapi aku tak yakin setelah itu dia akan masih menemani ku atau tidak.

Oh, god. Please jangan ambil Joy dari ku. Aku hanya menginginkan tempat curhat untuk segala kefrustasian ku.

Walaupun mempunyai banyak teman, aku selalu merasa kalau diri ku sendiri. Sekarang? Aku mempunyai dia.

Aku melirik tubuh Joy dari belakang. Punggung nya yang tegap menghadap ke depan. Tangannya yang ada di saku celana. Dan terlebih lagi, syal nya yang masih berada di leher ku.

Hangat, ucap ku dalam hati sambil mendalami bau Joy yang membuat ku nyaman.

“Kita sudah sampai!”

Aku mendongak. Lalu melihat gerbang hitam yang bertuliskan nama taman favorit ku. Aku menggeleng kuat saat mata ku dan Joy bertemu. “Tidak akan berguna, Joy.”

Joy tersenyum sumringah. Kemudian menarik tangan ku seraya berjalan cepat menuju bangku favorit ku. Aku terkesima melihat bangku itu yang sudah koyak. “Apa yang terjadi disini?”tanya ku seraya menyentuh bangku yang sudah terjungkal ke belakang.

Suasana menjadi hening. Karena Joy tak kunjung menjawab, aku menoleh, kemudian terkejut ketika mengetahui apa yang dia lakukan.

“Joy!”pekik ku kaget.

Dia sedang berbaring di rumput-rumput, tangannya yang sedari tadi ada di saku ternyata di perban. Kepala nya bergerak sedikit, mengamati ku dengan senyuman manis. “Ada apa?”

“Apa yang kau lakukan?” kau membuat ku khawatir tahu.

Joy menatap ku  serius. Ketampanannya pun terlihat.

“Apa?”tanya ku kikuk. Jangan tatap aku seperti itu.

Joy tertawa ringan. Lalu tersenyum geli. “Wajah mu menunjukan rasa cemas, lucu sekali.”

Tanpa sadar, wajah ku memerah karena malu. Joy sialan. Dia bisa melihat tembus perasaan ku. Itu yang membuat ku tertarik terhadap nya. Dia menatap ku dengan tatapan itu lagi. Tatapan yang membuat mu tak lepas dari manik mata nya. Sungguh pria yang menyebalkan.

Aku mengalihkan pandangan ku, lalu melihat langit senja yang berwarna oranye kemerahan. Aku terkejut ketika melihat sebuah bintang berada tepat di balik awan. Bintang itu berusaha bersinar dengan terang, tak peduli dengan matahari yang masih menampakan wujud nya setengah. Padahal bintang itu hanya sendiri.

“Lihat itu,”

Aku melirik Joy sekilas, dia sedang menunjukan bintang yang sedari tadi ku pandangi.

“Di mata kita, bintang terlihat kecil. Tetapi sebenarnya besar. Dan di mata kita, dia terlihat redup. Tetapi sebenarnya dia bersinar terang,”ujar Joy seraya mengangkat tangannya, berusaha menyentuh langit, walaupun dia sendiri tahu kalau langit tidak akan pernah di sentuh oleh manusia. “Kau tahu kan maksud ku?”

Aku mengangguk lembut. Perlahan tapi pasti, aku tersenyum tulus.

Aku tahu Joy melihat ku, dia mengamati ku sesaat, lalu ikut tersenyum. “Aku baru tahu kau bisa tersenyum seperti itu. Senyuman mu.. Berbeda dari senyuman pertama yang ku lihat di malam itu.”

Aku menghempaskan nafas ku, lalu memandang matahari yang berada di arah mata angin barat.“Berbeda.. ya?”

Tiba-tiba, tangan Joy mengusap pundak ku. Aku menoleh, lalu melihat Joy sedang tertawa geli karena wajah ku yang agak sedikit terkejut. “Mau di mulai latihannya?”

Aku mengangguk ragu. Lalu kami terdiam selama beberapa saat. Aku mengamati Joy yang sedang menunduk, mengamati bunga dandelion favorit ku.

Aku menghela nafas panjang. Kemudian kembali melihat matahari yang sekian detik lagi akan tenggelam. Tiba-tiba, ku rasakan sebuah tangan berada di pipi ku. Dengan cepat, aku menoleh, lalu tertawa melihat Joy yang agak sedikit terkejut karena rangsangan ku yang begitu cepat.

“Ayo, buat permohonan,”ujar Joy sambil tersenyum. Dia menunjukan tangkai dandelion yang sedari tadi berada di tangannya—yang menyentuh pipi ku tadi.

“Kau kekanak-kanakan sekali,” Aku mendengus sambil menggembungkan pipi ku.

Lagi-lagi, Joy tertawa. Lalu dia meraih tangan kanan ku dan mengaitkannya di tangkai bunga dandelion—bersamaan dengan tangannya.

Tangan kami bersentuhan. Ku lihat ekspresi Joy yang tiba-tiba agak berubah. Tetapi dia menyembunyikan pandangannya. Aku tersenyum manis seraya mengeratkan tangan ku.

 Tepat di saat matahari tenggelam, kami meniup bersamaan bunga dandelion itu. Mereka pun terbang ke angkasa, bersama dengan udara malam yang kian berhembus kencang.

Aku tersenyum melihat bunga dandelion kecil yang sudah lepas dari Ibu nya.

“Semoga tangkai-tangkai kecil itu mendapat tempat yang nyaman dan menetap disana. Ibarat diri ku yang sekarang masih melayang di udara, mencari tempat nyaman dan menetap disana.”

Joy tersenyum hangat sambil mengamati ku. Dia mengusap punggung ku. Tanpa ragu, aku menyandarkan kepala ku di pundak nya yang tertutupi jaket tebal.

“Sama dengan ku, Revika.”

*

SensitivityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang