Sept

1K 68 2
                                    

Sept

 

Aku masih terdiam karena cerita Joy yang membuat takut dan sedih.

Ya, Aku mengenalnya.

Flo.

Flo Joyced.

Aku sangat mengenal nya. Dia dijuluki pahlawan oleh teman-teman ku. Dan aku melihat nya, tepat di depan ku. Mengapa aku tak mengetahui nya dari kian lama? Pikiran ku memang lamban. Tetapi itu bukan hal yang penting sekarang.

Flo Joyced. Dia di juluki pahlawan karena menentang keras tentara Inggris, padahal usia nya yang masih muda. Aku tidak begitu mengerti masa lalu nya, karena memang masa lalu nya selalu di rahasiakan oleh para orang tua disini. Tapi, aku dengar dia menentang keras tentara itu karena adik nya di bunuh. Ternyata lebih parah, Ibu nya lah yang di bunuh.

Masa lalu yang kelam.

Aku memandang Joy dengan tatapan simpatik. Tetapi seperti nya Joy tidak suka di pandang seperti itu. Dia menggeleng. Lalu beranjak sambil meregangkan otot nya. “Seperti nya kita belajar itu saja hari ini, sudah malam.”

“Kita tidak belajar apa-apa hari ini,”ujar ku jengkel.

Joy tertawa, lalu mengacak-acak rambut ku. Ada yang janggal dari tangannya. Dengan secepat kilat, aku melirik tangannya yang masih mengacak rambut ku. Oh aku lupa, tangannya di perban. Aku menarik tangan Joy. Otomatis membuat Joy terjatuh menimpa tubuh ku. Tangan kanan nya menopang badannya, bersama dengan kedua lutut nya.

Raut wajah Joy berubah saat aku melirik nya sekilas. Aku sadar dengan posisi tubuh kami. Lalu aku segera tersenyum untuk meredakan kecanggungan. Joy sadar dari imajinasi liar nya, lalu ia ikut tersenyum.

“Mengapa di perban? Apa yang terjadi?”tanya ku menggebu-gebu.

Joy menyengir. Aku bisa merasakan tangan kanan nya—yang di perban—lemas ketika aku memegang nya dengan kedua tangan ku.

“Tangan Joy besar,”gumam ku, tak sadar kalau gumaman itu mampu di dengar oleh Joy.

“Kau juga!” Joy tertawa, lalu mengambil tangan kiri ku yang lebih kecil di banding telapak tangannya.

Aku menatap nya geli. Selama aku bersama dengan Joy, aku belum pernah membaca pikirannya. Dan aku tidak akan memulainya. Kami berdua terdiam setelah itu—dengan badan Joy yang masih berada di atas ku. Kami saling menatap satu sama lain. Dan aku sama sekali tidak berniat untuk membaca pikiran Joy.

Joy masih memegang tangan ku. Ia tersenyum. Lalu membaringkan badannya di sebelah ku. Ada sedikit rasa kecewa karena aku tak bisa menatap mata Joy lebih leluasa lagi.

Huh?

Apa yang ku bilang?

Oh lupakan.

Satu lagi, tangan ku masih di pegang Joy. Dan mengapa aku terdengar bangga sekali?

Suasana menjadi sunyi. Tetapi sunyi di dalam ketenangan malam. Kami memandang bintang. Sesekali, aku tertawa karena lelucon Joy. Baru kali ini, aku merasa nyaman dan terbuka di depan orang lain. Aku tak lagi memikirkan diri ku yang dingin dan cuek di dalam.

“Lersy?”

“Hm?”

Bisa kurasakan nafas Joy di telinga ku. Aku yakin dia sedang menatap ku sekarang. “Berjanjilah pada ku,”

“Apa?”tanya ku balik. Aku melirik Joy dengan rasa penasaran.

Joy tertawa geli. Lalu terdiam. “Berjanjilah pada ku. Kau akan menjadi diri mu sendiri seperti sekarang,”

Aku terdiam tenang. “Baiklah, Joy.”

“Dan satu lagi,”

Aku menoleh, lalu terkejut dengan wajah Joy yang tepat di depan wajah ku. Joy tersenyum hangat. “Berjanjilah pada ku kalau kau akan bahagia, di sisi ku mau pun tidak.”

Setelah berkata seperti itu, bibir Joy menyentuh bibir ku dengan hangat. Joy memejamkan mata nya, mendalamkan ciuman nya. Aku membalas ciumannya. Lalu tersenyum hangat seraya memandang langit. “Okay,”

Joy meraih tangan ku, lalu menggenggam tangan ku dan mengadahkan nya ke langit yang di taburi bintang. “Kau berjanji, Revika?”

Aku tak kuasa menahan rasa senyuman. Aku tertawa geli. Lalu tersenyum manis. Aku mengeratkan tangan ku, lalu menoleh ke Joy yang masih saja menatap ku. “Janji, Flo.”

*

SensitivityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang