Aku Dia, perempuan remaja yang baru saja menamatkan SMA nya dikota riuh bernama Jakarta. Setelah pembicaraan panjang dan diskusi sukar, ayah dan ibu ku memaksaku untuk melanjutkan kuliah di Jogja, padahal aku ingin ke Bandung saja, selain teman-temanku kebanyakan disana, aku juga suka dengan suasana kotanya, dingin, karena sejujurnya aku tidak suka cuaca panas. Ayah bilang Jogja akan menarik untukku, aku tahu kedua orang tua ku dulu kuliah disana, bahkan ayah dan ibu bertemu di satu universitas dan satu jurusan. Tapi alangkah tidak adilnya jika mereka memaksaku meneruskan kuliah dijogja, bagiku hanya mereka yang menyukainya dan aku tidak karena aku tak punya kenangan apa apa disana. Sebagai anak perempuan tertua mau tidak mau aku mengikuti kata ayah dan ibu, aku tak mau membuat mereka kecewa karena aku menyayanginya.********************
Hujan menyapa rintik demi rintik dilangit jogja kala pesawat yang aku tumpangi mendarat dengan mulusnya, aku yang sendirian dan pertama kali jauh dari orang tua berkali kali mencoba menyadarkan diri kalau aku sudah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang kuat dan siap dengan apapun yang akan terjadi dimasa depan. Beberapa saat setelah ku ambil dua koper yang cukup besar milikku di trolli berjalan bandara, sesegera aku menuju pintu keluar, tak jauh, ada seorang lelaki paruh baya berpakaian serba biru tua memegang kertas putih bertuliskan "mbak Dia" disisi depan sembari menebar pandang. Aku yang merasa,serta merta mendekat dan mengakui kalau aku adalah orang yang ada di tulisan itu. Lelaki itu tersenyum, lalu dengan sigap mengambil kedua koper besar dari dua tanganku.
Aku duduk dikursi penumpang, sedangkan laki laki paruh baya itu menyetir mobil. Hanya diam yang ada diperjalanan, aku tak berucap sepatah katapun. Aku sampai di jogja sudah mendekati senja, pelan pelan ku buka jendela mobil, mencoba merasakan udara dingin Jogja kala basah habis diguyur hujan. Pikiranku terbang entah kemana, mengawang dari jiwa di mana ia bersemayam. Kuhirup udara itu dalam dalam, pelan pelan kegundahaan datang, seraya memperkenalkan diri bahwa aku adalah tamu untuk "rindu" walau aku tak yakin untuk siapa itu. Baru saja beberapa menit aku dikota ini, nelangsanya membuatku luluh seketika. Kutegarkan diriku dari dalam hati kalau ini baru akan dimulai beberapa hari lagi.
Tak lama kami sampai dimuka pintu garasi besi yang dibuat sengaja tinggi. Dilorong setapak yang tidak terlalu kecil. Pak Karyo, yang belakangan aku tau namanya turun dengan gesitnya membunyikan bel di ujung pagar itu. Aku hanya diam dan mengikuti arahannya saja. Tak lama suara kunci berdencing beradu dengan gemboknya, pak Karyo tersenyum girang karena usahanya berbuah manis. Adalah mbak Sari, penjaga kost yang baik hati dan murah senyum. Pak Karyo memperkenalkan aku ke mbak Sari yang dari tadi meliriku sambil mendengarkan penjelasan Pak Karyo. Aku mengulurkan tangan dan memperkenalka diri, begitu juga mbak Sari. Kami diantar kelantai dua bangunan mewah itu, dari depan aku sadar kalau ini adalah kost ekslusif kusus perempuan, fasilitasnya serba lengkap dari AC sampai Cctv dan servis laundry yang ditangani langsung oleh mbak Sari.
Nomor 26, begitulah adanya yang tercantum didepan pintu kamarku. Aku membukanya dan menaruh semua barangku begitu saja. Aku merebahkan diri dikasur yang memang bersih tanpa debu, mungkin kost ini dirawat baik oleh mbak Sari. Dalam rebahku, aku menutup mata, lagi lagi rasa itu, rasa yang sama ketika aku baru saja datang tadi. Dia seolah mengucapkan selamat datang lagi, bertubi-tubi lagi. Sampai aku paham dan sadar..teman baru ku ini akan ku namai Rindu.
************************************************************
"Mbak Dia udah makan?". Seru mbak Sari dari arah luar.
cepat-cepat aku bangun dan menghampirinya.
"belum sih mbak". Kataku datar sesaat setelah membuka pintu kamarku.
"yaudah..ini dimakan dulu ya...". Kata Mbak Sari sembari menyodorkan satu kotak bakpia kering.
"Buat saya, Mbak?". Kataku meneruskan.
"iya....biar ayune nggak luntur" (iya...biar cantiknya tidak hilang). Kata Mbak Sari di iringi ketawa kecilnya.
Aku menutup pintu kamar sembari membawa satu kotak bakpia kering itu, aku letakkan di atas meja belajar bersama handphone ku, aku duduk dipinggir kasur, termenung mengarah jendela yang mengarah kejalan, menimbang-nimbang apa aku bisa bertahan di kota ini, kota Jogja yang banyak orang bilang merupakan kota yang nyaman. Entahlah, setidaknya aku harus mencoba sampai batas kemampuanku, kalau tidak sanggup aku tinggal merengek ke Ayahku agar dipindahkan ke Jakarta atau malah Bandung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara
RomanceDia, dengan terpaksa, melanjutkan sekolah tingginya di Jogja. Kau, seorang yang dingin dan misterius, memiliki masa lalu yang menarik untuk dicari tahu, hidup mandiri, menyukai seni dan bertahan hidup dengan karya-karyanya yang dijual secara online...