"jangan telat besok ya..", kata Evan diujung telepon mengingatkan aku untuk event terakhir kami para mahasiswa baru.
"oke..", kataku datar.
Hari yang ditunggu telah datang, kami yang sudah menyiapkannya seminggu lebih akhirnya sampai di acara puncak penerimaan mahasiswa baru di kampus ini. Angkringan party layaknya acara musik yang makanannya disediakan hanya nasi kucing dan teman temannya, ada dua angkringan, nama gerobak dorong yang menjajal nasi kucing, di sportarium kampus. Kami menghiasnya dengan pernak pernik sterofom di berbagai sisi ruangan, ada balon yang sengaja ditempelkan didinding bagian luar agar menarik banyak orang, sejujurnya acara ini khusus untuk jurusanku, tapi kalau ada orang yang mau datang dari jurusan lain kami perbolehkan, hitung hitung memeriahkan acara, kata Evan disuatu hari saat rapat para panitia.
Aku datang pukul dua siang pada hari sabtu. Aku berangkat sendiri tanpa Evan, aku kira mungkin dia akan sibuk dan lagi aku tak mau teman teman satu panitia lain melihatku dengan tatapan sama seperti dulu, saat aku dan Evan telat datang ke rapat itu. Aku membawa berbagai perlengkapan tambahan untuk mendekorasi. Elva sudah sibuk menempelkan kertas bekas semen yang disatukan, dan tak jauh Ari dan beberapa teman lainnya sibuk menggambar sesuatu dikertas itu dengan kuas dan cat hitam. Aku menuju panggung untuk menyiapkan semua hal tentang penampilan tamu undangan, seperti memastikan mic menyala, gitar dan sound systemnya serta beberapa alat pendukung lainnya. Belum banyak panitia yang datang, aku kira masih setengahnya, termasuk Evan yang belum juga keliatan.
"Evan kemana?", tanya Elva padaku sembari jalan mendekati.
"belum datang apa?", kataku balik bertanya.
"belum kelihatan dari aku datang", Elva menjawab dengan nada sedikit heran.
Aku juga bertanya tanya dalam hati, tapi aku tak mau menghubunginya, siapa tahu dia sibuk dengan persiapan acara untuk nanti malam. Akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan pekerjaanku saja, hitung hitung mempermudah dan mempercepat sesi persiapan agar nanti kami punya banyak waktu untuk berbenah.
Sesi persiapan selesai sekitar pukul 5 sore, acara akan dimulai pukul 7 setelah adzan isya agar tidak memanggu ibadah shalat, karena sportorium berdekatan dengan mushola kampus. Aku dan beberapa teman lainnya duduk dibagian luar bangunan sembari mendinginkan diri, baju ku basah karena keringat, begitu juga Elva dan beberapa teman lainnya. Evan tak kunjung kelihatan, semua panitia bertanya tanya kenapa dia tidak datang, beberapa diantaranya emosi dengan memaki Evan yang memang aku rasa kurang kooperatif, padahal untuk sesi persiapan acara, Evan sendiri yang memerintahkan kami para panitia datang semua.
Elva ikut dengan ku ke kost karena rumahnya terbilang jauh, Elva adalah anak asli Jogja yang rumahnya ada di di kabupaten Bantul. Butuh empat puluh lima menit untuk kerumah, artinya akan memakan dua kalinya jika ia kembali ke rumahnya. Akhirnya dia memutuskan untuk bersiap siap di kostku saja, Elva juga sudah membawa baju untuk acara malam ini. Aku dan Elva selesai bersiap pukul setengah tujuh malam, aku menggunakan baju berbahan tipis karena sirkulasi udara di sportorium terbilang jelek, kau akan gampang kepanasan jika menggunakan baju berbahan tebal. Aku dan Elva melaju ke kampus sedikit ngebut, karena aku tak mau telat, dan rasanya agak keterlaluan jika telat karena kost ku ke kampus terbilang dekat.
Setelah memarkirkan mobil kami menuju ke sportorium yang lampunya sudah menyala. Para panitia sudah bersiap di tempat masing masing, Ari, Wisnu, Ulan dan Diana juga terlihat, hanya Desi yang belum kelihatan, mungkin telat karena tadi aku pulang duluan dan dia masih di kampus. Lampu lampu dekorasi sudah menyala berkelap kelip, lampu utama sportorium bewarna kuning menambah kesan romantis malam itu, kudengar lantunan nada dari gitar yang dicoba oleh para pengisi acara malam ini, wangi parfum bercampur aduk diudara dari tamu tamu yang mulai datang. Aku melihat Evan berbicara dengan beberapa pengisi acara di pojok ruangan dekat pintu keluar, Ari sesekali berbinjang melalui HT yang ia pegang. Angkringan sudah siap di dua sisi ruangan, penjajalnya sibuk membuatkan minuman yang dipesan, banyak para tamu yang datang, duduk dan menyantap makanan yang sesekali bersenda gurau atau hanya mengikuti lantunan lagu yang dinyanyikan para pengisi acara. Angkringan Party malam ini sukses menurutku karena tidak ada kesalahan teknis dan acara berjalan sesuai rundown yang dibuat oleh anak anak divisi acara.
Aku berdiri dekat angkringan yang berada di pojok ruangan. Elva disampingku sambil memakan nasi kucing dan gorengan, aku melihatnya makan dengan antusias, mungkin dia lapar atau dia memang suka nasi kucing. Aku memesan es jeruk ke penjaga angkringan, sesuai prediksiku, aku kepanasan ada dibangunan ini, es jeruk akan meredakan kepanasanku mungkin. Sedang asik bercanda dengan Elva dan Ulan yang datang belakangan. Evan datang mendekat entah dari mana.
"ikut aku", katanya membisikan ke telinga kiriku.
"kemana??", kataku dengan suara yang sedikit nyaring karena takut tertutup suara sound dari pengisi acara.
Seketika Evan menarik pergelangan tangan kiriku, ia membawaku ke arah lapangan berumpun sedikit agak jauh dari sportorium. Dia berdiri berhadapan didepanku, pergelangaan tanganku belum kunjung dilepasnya, dadaku mulai sesak, pikiranku bertanya tanya mau apa Evan sebenarnya. Matanya lekat memandangku, aku mulai salah tingkah.
"Di....", katanya lembut.
"iyaah?", jawabku mencoba menenangkan diri. Dia menghela nafas, memejamkan matanya beberapa saat lalu balik lagi memandangku.
"aku suka kamu..", katanya pelan. Seketika aku uring uringan, aku bingung dengan diriku yang mulai gemetar, telapak tanganku mulai berkeringat. Aku tak pernah mengalami hal ini dihidupku, seperti yang kuceritakan di awal, aku tak pernah punya hubungan dengan orang lain, apalagi pacar. Aku merasakan darah mengalir ke kepalaku, mukaku memerah rasanya.
"Di...", kata Evan memastikan aku masih sadar.
"i..iya...", kataku gelagapan.
"iya apa?", tanyanya lagi
"iya a...aku mau...", jawabku
"serius??", Evan memastikan. Aku mengangguk tanda membenarkan.
"yeees!!!", kata Evan sedikit meloncat kegirangan. Dia tertawa lepas, aku tersipu malu. Evan mengambil tanganku lalu memelukku erat, aku seketika melingkarkan tanganku ke pinggangnya. Kami berpelukan dilapangan berumput yang mungkin akan jadi tempat bersejarah dalam hidupku. Aku hanya diam dipelukan Evan, Evan mengelus elus kepalaku dengan tangan kanannya sembari tertawa kecil. Aku diam, tersenyum dan menoleh kearah sportorium yang riuh oleh tepuk tangan orang orang yang puas dengan penampilan band yang terkenal dikampus.
Ada satu orang melihat kearah aku dan Evan, ia membawa kantong pelastik besar bewarna merah, didalamnya tersusun kotak kotak bewarna putih, itu adalah nasi kotak untuk para panitia yang memang dipesan untuk acara malam ini. Laki laki itu berhenti tak jauh dari rolling door sportorium dan memandang ke arah kami, aku sedikit terkejut, Evan tak sadar dengan keadaan itu, ia terus memandang kami, aku merasa familiar dengan perawakannya, aku mencoba mengingat kembali siapa ia, dan akhirnya sadar, ia adalah laki laki misterius yang bercanda dengan Ari saat bermain volly dan yang tersenyum padaku di burjo Abah depan kampus. Ia menatap kami dengan tatapan yang sama, dingin, tanpa ekspresi, aku yang sedikit terganggu dengan tatapannya mencoba melepaskan diri dari Evan.
"Van....", kataku sembari melepaskan diri.
"kenapa?", tanyanya kepadaku. Aku menoleh lagi kearah laki laki misterius itu, ia sudah tak ada ditempat tadi, aku menebar pandang mencarinya tapi tak kunjung kutemui.
"kita balik aja yuk..ga enak sama yang lain", kataku mengajak Evan ke sportorium.
"oke", kata Evan singkat sembari memegang tanganku berjalan kearah sportorium yang riuh dengan suara tepuk tangan dan nyanyian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara
RomansDia, dengan terpaksa, melanjutkan sekolah tingginya di Jogja. Kau, seorang yang dingin dan misterius, memiliki masa lalu yang menarik untuk dicari tahu, hidup mandiri, menyukai seni dan bertahan hidup dengan karya-karyanya yang dijual secara online...