#1 [Alana]

1.1K 57 1
                                    

Semua barang sudah tertata rapi. Berkas - berkas yang dibutuhkan untuk kepindahan ku pun sudah ku siapkan. Semuanya ku lakukan sendiri. Esok aku akan meninggalkan Indonesia. Aku mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di salah satu universitas di Seoul.

"Nduk kamu sudah mantep mau pergi?" Eyang dengan muka cemasnya bertanya kepadaku.

"Apa Eyang masih ragu sama Alana?" aku merebahkan badanku disamping Eyang kemudian kuraih tangannya.

"Bukan gitu sayang. Tapi ini kan ke Korea. Kamu bakalan sendirian disana. Kamu gimana nanti disana. Makannya, kamu tinggal dimana" mata Eyang berkaca-kaca seolah ia tak mau ku tinggalkan. Ia masih ragu aku bisa melakukan semuanya sendiri.

Aku menatap mata Eyang. Aku meyakinkan Eyang agar beliau tak terlalu mengkhawatirkanku. Toh selama ini aku sudah terbiasa sendiri. Apa yang perlu dikhawatirkan. Aku dan kakakku, Mas Alif sudah terbiasa mengurus diri kami sendiri sejak orang tua kami meninggal. Waktu itu aku masih kelas tiga SMP dan Mas Alif kelas tiga SMA. Selama hampir setahun aku harus belajar mandiri. Mengurus kebutuhanku sendiri dan Mas Alif tentu saja.

Setelah Mas Alif lulus Eyang meminta kami untuk tinggal bersama Eyang. Kebetulan juga Mas Alif melanjutkan kuliahnya di Jogja. Sebenarnya aku enggan pindah. Aku sudah nyaman dengan kesendirianku. Aku memang memiliki Mas Alif, tapi sama saja ia jarang dirumah. Kami hanya bertemu hari Ahad, itupun kalau Mas Alif tak pergi dengan teman-temannya. Mas Alif juga sibuk di sekolahnya dan mengikuti beberapa kursus. Namun karena itu permintaan kedua orang tuaku sebelum meninggal, maka aku terpaksa menuruti kemauan Eyangku.

 "Eyang, percaya deh. Alana bakalan baik-baik aja. Bahkan sebelum Alana tinggal sama Eyang pun Alana sudah bisa mandiri kan? Jadi Eyang ga perlu khawatir sama Alana. InsyaAllah Alana bisa ngurus diri sendiri" kutenggelamkan badanku ke pelukan Eyang. Karena mungkin nanti aku akan merindukannya setelah aku tinggal di Seoul.

"Inget ya nduk. Kamu disana jangan tinggalin sholat, sesibuk apapun kamu. Itu yang bakal nolong kamu" Eyang memelukku dan mengelus bahuku.

"Iya Eyang..."

.

.

Aku terbangun setengah lima pagi dan ternyata Eyang sudah tidak ada disampingku. Aku bersiap untuk mandi sebelum nanti sholat subuh.

"Tumben Mas udah bangun?" sapaku ke Mas Alif.

Mas Alif ini biasanya habis subuh di masjid pasti langsung tidur lagi. Kemudian dia baru akan bangun jam enam dan kemudian bersiap ke kantor jika tidak ada jam kuliah. Mas Alif meneruskan mengurus usaha Ayahku sambil menyelesaikan kuliahnya yang tinggal beberapa semester lagi.  

"Nanti Mas anter kamu Na. Semalem Mas udah telfon Pak Jaja biar ga usah dateng pagi" jawab Mas Alif.

"Mas ga kerja apa kuliah?" tanyaku.

"Enggak. Udah sana siap-siap" Mas Alif menyuruhku ke kamar untuk bersiap.

Aku pun menurut. Setelah sholat subuh aku pun berganti pakaian. Aku mengenakan gamis dan hijab pemberian Mas Alif walaupun sebenarnya aku masih agak kurang nyaman memakainya. Aku lebih nyaman memakai celana panjang dan kaos ataupun sweater, namun tetap ku pakai dres panjang itu demi menyenangkan dan menghormati Mas Alif. Aku masih tak menyangka jika Mas Alif bisa seperhatian ini denganku. Biasanya saja jika aku minta sesuatu dia hanya akan memberiku uang agar aku membeli sendiri apa yang ku mau. Dan yang lebih kaget tadi dia menawarkan diri untuk mengantarku. Apa itu tak salah. Sesekali jika aku memintanya mengantarku ia pasti selalu mengatakan agar aku minta diantar Pak Jaja, sopir Eyang.

Aku mengeluarkan koper dan tas yang akan kubawa. Mas Alif membantu memasukkan koperku ke mobilnya. Setelah itu kami berpamitan ke Eyang untuk menuju bandara.

Dalam perjalanan kami hanya sedikit mengobrol. Mas Alif lebih banyak diam dan fokus menyetir.

Setelah sampai di bandara aku bergegas menuju terminal keberangkatan. Tak lupa aku berpamitan ke Mas Alif. Ku ulurkan tanganku untuk mencium tangannya. Dan tiba-tiba ia memelukku sebentar. Kuperhatikan matanya sedikit berair.Aku pun tersenyum. Mungkin saja ia juga merasa sedih aku tinggalkan meski dalam kesehariannya ia jarang memperhatikan adiknya ini.

 Mungkin saja ia juga merasa sedih aku tinggalkan meski dalam kesehariannya ia jarang memperhatikan adiknya ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mas Alif tersenyum sambil sesekali melambaikan tangannya. Matanya masih berkaca-kaca seakan menunjukkan ia tak mau ku tinggalkan.

Selamat tinggal Mas Alif, kakakku yang selalu kaku dan tidak peka kepada adiknya. Jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai lupa makan jika kegiatanmu sedang sibuk. Batinku dalam hati.

LDR - Love Different Religion [Chen Exo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang