Siapa Dia ?

842 32 0
                                    

"Em.. Ja-jawab, Sa- saya. Afwan, Maksud saya, jawaban saya adalah....." Hanna berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya yang sudah tidak beraturan.

"I-iya. Sa- saya bersedia menikah." Hanna menutup matanya pasrah. Akhirnya ia mengiyakan syaratnya ini.

"Alhamdulillah... Kamu mengambil keputusan yang benar. InsyaAllah pernikahan ini akan membawa keberkahan kepada kalian berdua nantinya."

*

Air mata Hanna terus jatuh setetes demi setetes. Ia tidak bisa menangis keras. Ia hanya bisa terisak kecil. Ia tidak ingin menyesali keputusannya, tapi tetap saja hatinya ingin melakukan itu.

Dengan tangan bergetar, ia mengusap ponsel layar sentuhnya untuk menghubungi keluarganya. Setelah beberapa detik menunggu, akhirnya ada yang mengangkat panggilannya.

"Assalaamualaikum." terdengar suara wanita yang paling Hanna rindukan yang sekarang menjadi lawan bicaranya.

"Wa- waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh, ibu..." Hanna yang sudah berusaha keras menahan diri agar tidak terdengar sedih, akhirnya gagal. Suara isakan tangisnya sangat mustahil untuk ditutupi.

"Jangan menangis sayang... Ibu tau ini berat untukmu, tapi Allah tidak akan menyakitimu dengan takdir ini. Allah pasti menyimpan sesuatu yang indah di akhirnya." ibu Hanna sudah tau tentang pernikahan Hanna dari istri Habib. Awalnya hanya rencana untuk menanyakan hal ini kepada Hanna yang diberitahukan kepadanya. Tapi setelah Hanna menghubunginya dengan nada kesedihan ini, ia yakin kalau Hanna pasti sudah mengiyakan pertanyaan itu.

Hanna masih terisak tidak mampu bicara. Ibu Hanna pun akhirnya ikut menangis karena merasakan kesedihan putrinya saat ini.

"Maaf sayang...  Tidak seperti orang lain, kamu harus menangani ini semua sendirian di sana. Ibu benar-benar minta maaf karena tidak bisa menemanimu di saat-saat seperti ini. Seharusnya saat ini ibu memelukmu dan mengusap punggungmu, mengatakan kalau ini adalah takdir yang sudah Allah tentukan dan menghiburmu sampai kamu tersenyum lagi. Maaf karena kami tidak bisa datang dan menyaksikan pernikahanmu nanti, tidak bisa melihatmu di rias bak pengantin tercantik di dunia. Kami hanya bisa mendoakanmu di sini, mengirimimu setiap harapan terbaik kami untuk kehidupan pernikahanmu nanti. Maaf sayang... Ibu benar-benar minta maaf..." ibu Hanna menjauhkan ponselnya dari wajahnya, menutup paksa mulutnya, berharap suara isakan tangisnya tidak akan terdengar oleh putri kesayangannya.

Hanna melakukan hal yang sama. Ia menutup rapat mulutnya. Menekan-nekan dadanya yang mulai terasa sakit. Dengan susah payah ia mencoba mengembalikan ketenangannya.

"Ibu... Jangan meminta maaf. Jangan membuat Hanna merasa bersalah karena membuat ibu meneteskan air mata ibu yang berharga itu. Hanna berjanji, Hanna akan menerima pernikahan ini dan hidup bahagia. Jadi ibu jangan cemas, jangan pernah bersedih karena mengira Hanna tidak ikhlas dengan pernikahan ini. Hanna baik-baik saja di sini. Kalian juga harus baik-baik saja di sana. Seperti yang ibu bilang, di akhir semua ini pasti ada sesuatu yang indah untuk kita."

*

Hanna duduk gelisah di kamarnya. Sekarang calon suaminya sedang melaksanakan akad pernikahan di ruang tamu dengan Habib. Ayahnya yang tidak bisa hadir meminta Habib sebagai penggantinya untuk menjadi wali nikahnya Hanna.

Tidak ada acara meriah, hanya ada sedikit tamu yaitu beberapa Habib dan teman-teman dari calon suaminya. Hanna sendirian. Ia tidak bisa melalui ini semua dengan teman-temannya, terutama Ayu, sahabat kesayangannya bahkan keluarganya. Sekarang bahkan ia sama sekali tidak terlihat seperti pengantin. Ia masih memakai pakaian hariannya seperti biasa. Ini semua karena setelah pernikahan ini, ia akan langsung berangkat dengan suaminya ke Malaysia. Bukan untuk bulan madu atau semacamnya, tapi ini adalah bagian dari rencana perjalan panjangnya yang harus ia lewati untuk bisa ke Tarim.

Perjalanan Menuju TarimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang