Gumpalan-gumpalan putih tipis itu benar-benar memukau mata Hanna yang sekarang sedang sibuk memandanginya.
Ternyata kini Azri juga ikut memandangi awan dengan jarak yang sangat dekat dengan Hanna. Deru napasnya bahkan bisa dirasakan sangat jelas oleh Hanna. Walau gugup, Hanna tidak berusaha menyingkir. Ia sekarang tengah berusaha mati-matian membiasakan dirinya untuk keadaan seperti ini. Dengan napas yang sudah tidak beraturan karena kegugupannya, Hanna sekarang masih saja diam dengan posisinya semula, membiarkan Azri berada begitu dekat dengannya.
"Berapa umurmu ?" tanya Azri tiba-tiba kepada Hanna setelah ia mundur dari posisinya tadi, menjauhkan dirinya dari Hanna.
"Sembilan belas tahun." jawab Hanna singkat lalu mengalihkan pandangannya ke bawah, ia menunduk dalam.
"Umur kita ternyata sama. Bulan apa ?"
"Juli."
"Ternyata aku lebih tua darimu empat bulan." Azri tersenyum.
"Bagaimana keluargamu ?" Azri lanjut bertanya.
"Seperti keluarga pada umumnya." Hanna mulai merasa canggung. Pertanyaan-pertanyaan Azri terkesan dipaksakan menurutnya untuk mengisi kekosongan mereka.
"Apa hobimu ?"
"Emm... Aku tidak... Tau. Tapi aku suka membaca Al-Qur'an saat hujan. Sambil merasakan sejuknya udara saat hujan, suaraku akan tersamar dengan suaranya. Aku suka saat suaraku bercampur dengan suara hujan." Hanna kembali melihat awan dari jendelanya. Menyapu bersih langit dengan pandangannya.
"Itu bagus." Azri tersenyum lebar ke arah Hanna.
Mendengar respon Azri yang agak membingungkan membuat Hanna membalikkan tubuhnya menghadap Azri.
"Bagus ? Kenapa ?" tanya Hanna bingung.
"Karena jika aku ingin mendengar bacaanmu saat itu, aku harus berada dekat dengan bibirmu agar suaramu terdengar jelas." pipi Hanna langsung merona merah. Ia langsung menyembunyikan wajahnya dari Azri dengan dua telapak tangannya.
"Jangan bertingkah semenggemaskan ini. Aku tidak tahan untuk tidak mencubit pipi merahmu itu kalau kamu membuatku gemas setiap saat." Azri mencoba melepaskan tangan Hanna dari wajahnya, mencoba menemukan lagi kecantikan di baliknya.
"Makanya jangan selalu menggodaku seperti itu. Aku ini pemalu." kata Hanna polos yang langsung menghadirkan senyuman lebar dari bibir Azri.
*
"Hanun..." tiba-tiba suara panggilan Azri menyadarkan Hanna dari kegiatannya yang sedang membaca tasbih.
Hanna menoleh ke arah Azri. "Ada apa ?"
"Tolong mengertilah dengan apa yang akan aku katakan ini." ekspresi wajah Azri berubah dari yang sebelumnya. Ia seperti sedang mencoba untuk mengatakan sesuatu kepada Hanna.
"Kamu mau mengatakan apa ?" Hanna mulai merasa kalau pembicaraan yang nanti akan ia lewati dengan Azri ini adalah pembicaraan yang serius. Ia mulai mengikuti ekspresi wajah Azri.
"Hanun... kamu tau, sekarang bagiku kamu lebih berharga dari diriku sendiri. Tapi walaupun begitu, kamu tetap bukan prioritasku, dan tidak akan pernah menjadi seperti itu dalam hidupku. Maaf... Tapi aku menempatkanmu di bawah Tuhan dan Nabiku. Di bawah ibu dan ayahku. Di bawah semua Guru-Guruku. Maaf jika mereka semua lebih berharga darimu.
Mungkin suami-suami di luar sana akan berkata manis kepada istri-istrinya kalau istrinya lebih dari apapun yang ada di dunia ini untuk menyanjungnya. Tapi maaf, aku tidak bisa seperti itu. Maaf karena aku lebih memilih jujur kepadamu dengan posisimu di hidupku. Jadi jika suatu saat nanti kamu merasa tidak adil atau-" belum selesai Azri bicara, Hanna dengan cepat memotong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Menuju Tarim
RomansaAssalaamualaikum warahmatullaahi wabarokaatuh Catatan: "Konflik terjadi di tengah cerita. Please, sabar ya..." Bismillaahirrohmaanirrohiim Dengan izin Allah saya mencoba menulis cerita ini dengan pengetahuan dan kemampuan yang dipinjamkan Allah ke...