SPT - Bagian 4

853 36 3
                                    

Dion menepikan motornya di depan pendopo kabupaten mengikuti si Habib yang telah dulu menepikan motornya. Rahma bangun dari zona nyamannya. Masih ada bekas air mata di pipinya. Ami melihatnya bingung. Ada masalah apa sebenarnya? Kenapa Rahma tek bercerita kepadanya seperti biasanya?
Dion yang melihat tatapan bingung Ami menoleh ke Rahma, masih ada bekas air mata disana.
“Ada apa?” tanya Rahma
“Sebentar deh” Dion menggunakan kedua ibu jari nya untuk menghapus air mata Rahma. Habib diam. Dalam hatinya berpikir “Bukankah Dion nggak ikut taruhan ya? Lalu kenapa dia bisa dengan gampangnya deketin Rahma?”
“Rah, sini bentar yuk. Aku mau ngomong” Ami menarik tangan Rahma

Rahma mengikuti langkah Ami menuju kamar mandi pendopo. Belum banyak yang berangkat jadi mereka bisa santai-santai saja dulu. Ami membuka salah satu pintu bilik kamar mandi dan masuk beserta Rahma.
“Kamu kenapa? Cemburu Habib sama aku?” Tanya Ami to the point
“Ehh, bukan Am. Aku lagi ada masalah pribadi, bukan tentang aku cemburu atau nggak Habib sama kamu” jujur Rahma. Tapi memang benar kan Rahma nangisnya bukan gara-gara cemburu
“Owhh, ya udah, aku kira gara-gara itu” Ami berujar, “ya udah yuk balik lagi ke Habib sama Dion” sambung Ami sambil menarik Rahma keluar dari kamar mandi itu

Ingin sekali Rahma berteriak “Amiiiiii....!!! Please jangan bawa gue di depan Habib si kamvret itu! Gue pengen move on secara alami tanpa haruus mencari pelarian Amiiii...!”. Tapi Rahma bukan sosok yang kuat untuk bilang sepatah kalimat itu walau dengan sahabatnya.

***

Sesaat setelah Ami dan Rahma meninggalkan mereka, Habib langsung bertanya pada Dion
“Lu bilang lu nggak ikut taruhan?” hardik Habib
‘’Emang Bib” jawab Dion santai
“Lalu kenapa mudahnya lu deketin Rahma yang udah jelas-jelas kehasut rayuan gue?” emosi Habib mulai naik
“Habib... Lu udaah mulai cintakah sama Rahma? Sampai segitunya lu uring-uringan gara-gara Rahma menjauh? Apa Cuma gara-gara lu takut uang yang semalem di ambil pak ketua lagi?” Tanya Dion masih dengan sikap santai nya. He enjoy this moment.
“Nggak mungkin lah gue cinta sama Rahma. Lagian gue deketin dia Cuma gara-gara uang” jawab Habib sinis
“Bib, dengerin gue. Gue ngira lu udah nyaman sama si Rahma. Sampe-sampe lu uring-uringan gara-gara Rahma menjauh. Bukannya lu udah tau? Rahma dulu cinta sama lu? Tapi lu manfaatin masa move on nya buat bisa lu dapet duit? Jujur Bib, sama perasaan lu sendiri” jelas Dion sambil memegang kedua bahu Habib
Habib menghempaskan kedua tangan Dion, dia menunjuk-nunjuk wajah Dion “lu kagak usah sok tahu kek gini. Ini hati gue. Cuma gue yang tahu. Lagian lu kan udah tahu perjanjian grup kita. Yang bisa deketin Rahma dapet duit. Cuma lu doang kan yang nggak mau ikut” Habib berujar. Dion tak bisa berkata-kata
“Plaaakkk...” sebuah tamparan keras dilayangkan Ami ke Habib
“Am... Amii?” Habib gugup. Ia melihat Rahma, “Rahma?”
“Aku udah tau semua kok. Daripada aku baper mending aku menjauh” Rahma tegar. Kali ini ia benar-benar tegar. Dion tersenyum
“Gue nggak nyangka lu ternyata gini Bib. Gue tarik perasaan gue yang detik tadi masih ada. Kini perasaan gue ke elu ancur!” tanpa sadar air mata Ami menetes. Ia tak sadar mengucapkan perasaannya secara gamblang. Habib tercengang. Ia melihat Dion yang hanya mengangkat kedua bahunya. Rahma tak kalah tercengang lagi.
“Ami? Kamu suka sama Habib?” tanya Rahma
“Eh.. Eh... Auk ah..” Ami berlari meninggalkan mereka untuk ke pendopo. Rahma dan Dion mengejar Ami. Habib masih terdiam di tempatnya. “Apakah gue suka sama Rahma? Kenapa hati ini begitu sakit saat Rahma menjauh dari gue? Masa gue bener-bener suka sama Rahma? Aahhh perasaan membingungkan”. Habib mengikuti ketiga temannya yang sudah lebih dulu mendahului nya.
“Habiibb...” panggil seseorang. Habib membalikkan badannya. Ada Rahmat disana. Rahmat adalah teman sekontingennya dari kecamatan tetangga. Orangnya manis, cakep, tapi agak hitam. Tinggi dan gagah juga.
“Ada apa mat?” Tanya Habib
“Rahma dimana?” tanya Rahmat. Habib gamang, ini juga malah bahas si Rahma
“Lu suka sama Rahma?” tanya nya to the point
“Ehh.. Kan gue Cuma nyari dimana Rahma” jawab Rahmat
“Jangan ganggu Rahma. Dia baru ada masalah. Lu juga jangan cinta sama dia. Awas ya!” ancam Habib saambil berlalu meninggalkan Rahmat
“Siapa juga yang suka sama Rahma, orang Cuma mau balikin PB nih. Dasar! Habib labil! Dia yang suka sendiri sama Rahma nggak mau bilang” Rahmat menggerutu sambil berjalan menuju aula pendopo.

Habib mencari-cari, dimana sosok ketiga sahabatnya. “Apa mereka marah? Ahh kenapa gue begitu jahatnya sih sama Rahma? Aaarghhh”. Habib masih berjalan, melewati semua temannya yang bertanya “Bib, lu cari paan?”. Matanya tertuju pada Dion dan Ami yang berdiri di dekat meja minum. Di tangan Dion ada 2 gelas sirup. Apa mungkin yang satu untuk Rahma?. Habib mendekat, Dion menoleh dan Ami langsung pergi meninggalkan Habib. Bukannya Ami marah atau apa, hanya saja ia malu dengan Habib atas kejujurannya tadi. Waktu pulang saja ia bakal nekat naik motor sendiri sama Rahma. Itu yang ada di pikiran Ami sekarang.
“Tuh bocah kenapa?” tanya Habib sambil menunjuk si Ami
“Haha, malu mungkin sama lu” Dion tertawa mengingat kejadian tadi
“Lu marah sama gue ya?” tanya Habib lagi
“Enggak, ngapain coba harus marah?” Dion bertanya balik, “Rahma yang lu sakiti aja nggak marah kok, lalu? Gue yang malah sahabat lu marah gara-gara lu nyakitin Rahma? Haha enggak lah, gue nggak suka Rahma. Dia sahabat gue, dan dia adalah, Saudara seayah gue. Gue kakak tirinya” sambung Dion
“What? Kok bisa?” Habib bertanya lagi
“Haha, jadi gini. Dia belum tau kalau Fajar itu anak angkat keluarganya. 2 tahun sebelum papa dan mamanya nikah, papanya nikah sama mama gue, tapi baru 1 tahun mereka cerai. Gue juga masih di dalam perut mama gue. Terus papa nya nikah sama mamanya. Ngangkat saudara gue sendiri. Fajar namanya. Waktu itu kata mama gue, gue baru usia 9 bulan di kandungan. Setelah ngangkat Fajar, mamanya hamil dia. Pas dia lahir, gue usia 11 bulan. Gampangannya kita beda 1 tahun. Makanya gue kakak kelasnya. Gue juga baru tau tentang ini wwaktu dia masuk SMA” jelas Dion
“Dia tau kalau lu kakaknya?” tanya Habib lagi
“Haha enggak. Tapi Fajar tau” jelas Dion. “Eh, bentar ya, gue mau kasih minum ke dia” sambung Dion lalu pergi ke dalam pendopo.
Habib termenung. Rahma orang yang selama ini ia sakiti adalah adik dari sahabatnya sendiri? Pantas saja Dion nggak mau ikut bertaruh demi Rahma. Habib tambah merasa bersalah.
“Gue adalah cowok pengecut yang Cuma bisa nyakitin hati seorang wanita yang ternyata adik tiri sahabat gue. Aarrgh...!” Habib berkata dalam hati, ia frustasi.

***

Acara itu berjalan lancar. Mereka pulang seperti saat berangkat. Ada kecanggungan antara Ami dan Habib sebab kejadian tadi. Mereka lebih banyak diam. Sedang Dion dan Rahma, mereka bercanda layaknya kakak adik seperti pada umumnya. Rasa nyaman yang di terima Rahma dari Dion bukanlah rasa nyaman seorang teman yang menganggap lebih. Tapi rasa nyaman seorang kakak pada adiknya sendiri. Ketenangan yang dirasakan Rahma pada Dion lebih banyak daripada ketenangan yang Rahma rasakan dari Fajar. Rahma seakan menemukan kakak kandungnya di diri Dion. Rahma telah lama mengetahui bahwa Fajar adalah kakak angkatnya. Terlihat dari fisiknya saja sudah jelas, tak ada yang sama antara mereka. Mereka berbeda, tapi rasa sayang Rahma ke Fajar sebagai kakaknya tak pernah luntur. Rahma menutup matanya berharap ia bisa mendapatkan ketenangan yang lebih lama dari Dion.

Sebatas Patok Tenda [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang