SPT - Bagian 3

1K 37 7
                                    


Sosok tinggi, berkulit sawo matang, langsing dan bermata sipit itu mati-matian menghafal gerakan senam Islam Nusantara. Rahma masih bergulat di depan notebook nya hanya gara-gara gerakan itu. Waktu telah menunjukkan pukul 23:00 namun ia tak menghiraukan. Yang ia hiraukan adalah bagaimana caranya ia menghafal gerakannya. Keseriusannya perlu di beri acungan jempol mengingat sudah seminggu mendekati hari keberangkatan mereka. Esok juga mereka dituntut hadir di Pendopo Kabupaten untuk pelepasan kontingen oleh Bupati.

Di lain pihak, sosok tinggi yang lebih tinggi dari Rahma, berkulit putih dan langsing masih bergulat dengan banyak buku di depannya mengingat ia harus mewakili Olimpiade PUPK (Pramuka Umum Pramuka Khusus). Ami sesekali menguap dan melihat jam di dindingnya, lalu matanya beralih pada laptopnya. Ia beranjak dari atas kasur untuk duduk menghadap laptopnya di meja belajar. Lalu menyalakannya, terpampang dengan jelas foto Habib sebagai wallpaper nya. Ia tersenyum samar, mengingat selama latihan ini, Habib selalu memboncengkan Rahma tanpa menoleh sekalipun ke dia. Ami tahu, dulu Rahma mencintai sosok tegap dan ganteng itu. Tapi sekarang, ia belum tahu kalau rasa di Rahma itu perlahan hadir kembali. Ia menutup laptopnya dan kembali bergulat dengan tumpukan materi kepramukaan.

Dion gusar, apa yang harus ia lakukan sekarang? Kini ia berada di kamar mandi rumah Habib, sebab mereka sedang berkumpul. Sebelumnya mereka membahas masalah taruhan mendapatkan hati Rahma, namun Dion tak ikut-ikut. Sudah pasti jawabannya adalah Habib. Dion mengetikkan sebuah nama lalu menelponnya. Tanpa menunggu di jawab, Dion memasukkan ponselnya di saku kemejanya dan kembali berkumpul.
Rahma yang sedang berlatih senam dengan segera mengangkat ponselnya yang berdering. “Dion?” ucapnya dalam hati, ia mengatur nafasnya dan mengangkat telfon itu.
“Hal...” ucap Rahma terpotong, terdengar suara yang familiar di telinganya
“Haha jelas dong, Rahma masuk ke jerat gue. Cantik sih dia, tapi sayang nya gue belum cinta. Mana uang yang lo janjiin ke gue?” ucap cowok di seberang
“Haa.. Haa.. Habib?” ujarnya menahan tangis, air matanya tetap saja keluar. Rahma mematikan telfonnya lalu ia mendapat pesan dari Dion yang berisi “Maaf Rahma, aku terpaksa ngelakuin ini supaya kamu nggak terlalu berharap ke Habib”
Rahma hanya membaca pesan itu sekilas, hatinya sakit, sebegitu teganya Habib berbuat itu kepadanya? Kuatkah ia jika ia harus bertemu dengannya esok? Rahma tertidur dengan bekas air mata di pipinya.

***

Rahma bangun jam 4 pagi, ia hanya tidur 3 jam, selebihnya ia menangis, matanya sembab, ia malu kalau harus berangkat. Tapi jika dia tidak berangkat, bakal gagal dia pergi. Dengan malas  ia keluar kamar setelah sholat Shubuh. Ada Fajar di ruang TV, mungkin dia tidak tidur. Fajar adalah kakak Rahma, sekarang adalah seorang sarjana. Orangnya humoris, pengertian, lumayan cakep, baik, tapi ngeselin. Tinggi, gagah, dan putih juga.
“Dek?” sapa Fajar
“Iya kak” respon Rahma tanpa melihat ke Fajar
“Semalem kakak pinjam ponselmu sekitar jam setengah 3, tapi ada bekas air mata di pipi kamu. Kamu baru tidur?” tanya kakaknya
“Iya kak” respon Rahma masih sama seperti tadi
Fajar berjalan mendekati Rahma. Namun Rahma memalingkan wajahnya dari Fajar, Fajar tak tinggal diam. Ia memegang kedua pipi adeknya dan menghadapkan wajahnya padanya. Rahma memjamkan mata, takut kakaknya marah. Karena pegangan di pipi Rahma lepas, Rahma membuka matanya. Matanya menatap tepat di manik mata kakaknya yang selalu saja menenangkannya. Ada sirat marah dan khawatir di mata itu.
“Dek, duduk dulu di situ, kakak mau ambilin sesuatu” ucap Fajar sambil menunjuk ke sofa
Rahma menuruti tutur kata kakaknya. Fajar berlari ke dapur, mengambil sebotol air dingin dan kain bersih lalu kembali ke sofa. Ia mengompres mata sembab Rahma dengan air dingin itu.
“Dek, Habib itu siapa?” tanya Fajar to the point
“Kakak baca?” Rahma bertanya balik
“Seharusnya kakak Cuma pengen minta video waktu wisuda kakak, tapi gara-gara lihat kamu habis nangis, kakak jadi kepo, pesan terakhir dari temenmu Dion cukup membuat kakak yakin kalau Habib yang buat kamu kayak gini. Lalu, kakak telfon Dion, Dion jelasin semua ke kakak. Kenapa kamu bisa buta Rahma?” ujar sang kakak. Rahma hanya bisa diam. Ia sadar, ia bodoh. Mencintai seseorang yang sama untuk kedua kalinya sangatlah bodoh.
“Maafin kebodohan Rahma kak” jawab Rahma setelah beberapa saat terdiam. Fajar yang telah selesai mengompres mata adiknya dan kini tengah membereskan mangkok menoleh ke Rahma
“Kamu nggak salah mencintai orang dek. Tapi cobalah mencintai orang yang bener-bener sayang ke kamu” Fajar berucap
“Maksudnya kak?” Rahma bingung
“Maksudnya gini, diluar sana banyak yang lebih tulus menyayangi kamu daripada si Habib. Jangan selalu menutup diri hanya kepada sesuatu yang kamu suka. Coba buka mata kamu dan lihat orang yang ada di sekitar kamu” Fajar berdiri dari duduknya, “mandi dek, udah jam setengah 6. Kamu harus berangkat jam 7 kan? Ohh iya, nanti bonceng sama Dion ya, kakak udah suruh Dion semalem, ponsel kamu ada di samping TV itu” sambungnya sambir berlalu ke arah dapur.
“Ya Rabb, makasih udah menghadirkan seorang kakak seperti kak Fajar” Rahma bersyukur dalam hati.

***

Ami telah menunggu Rahma di depan rumahnya, tapi Rahma tak kunjung juga keluar. Fajar yang menemui Ami di depan juga terlihat bingung. Berkali-kali Fajar memanggil adiknya namun tetap saja Rahma belum keluar.
"Sebentar ya Am" Fajar berlalu, mengambil inisiatif untuk menjemput Rahma di kamar. Baru saja Fajar ingin membuka pintu kamar adiknya, pintunya terbuka. Menampilkan sosok dengan balutan hijab coklat dan seperangkat seragam pramuka lengkap.
"Kok lama dek?" Tanya Fajar
"Tadi bajunya kusut kak, ini habis nyetrika. Rahma berangkat dulu ya" Rahma berlari meninggalkan sang kakak. Tak berselang lama terdengar suara motor meninggalkan halamam rumah. Untuk saat ini, mereka berkumpul di rumah Dion sebelum berangkat.

Hati Rahma dag dig dug, matanya masih sembab walau tak sesembab tadi. Ami hanya memandang Rahma dari kaca spionnya. Ia tak berani menganggu Rahma. Ia tahu tabiat Rahma kalau lagi sedih, suka diam seribu bahasa.
Habib dan Dion telah menunggu Ami dan Rahma di depan rumah Dion.
“Kemana sih?” tanya Habib jengkel, “udah telat 10 menit nih” sambungnya
“Sabar, mungkin si Rahma ada masalah” jawab Dion
“Masalah apa memang nya?” tanya Habib mengalihkan pandangan dari jalan menuju ke wajah Dion. Wajah berkacamata yang tetep ganteng dan cool. Dengan badan tegap dan putih.
“Nggak tau, mungkin saja” jawab Dion asal. Ia berharap Habib peka akan salah nya pada Rahma.
Dari kejauhan, tampak sepeda motor mendekat. Menampakkan dua orang wanita yang satu dengan wajah ceria, yang satu dengan wajah yang memendam kesedihan.
“Rah? Helm mu? Lupa?” tanya Habib. Rahma memegang kepalanya, ia sadar ia tak membawa helm.
“Hmmm gimana Am?” tanya nya pada Ami
“Tak pinjemin, masih ada kok di rumah” Dion berlari ke dalam rumah dan membawa helm lagi. “Ya udah yuk berangkat” sambung Dion
“Yuk, Rah” ujar Habib
“Hmm, lu sama Ami saja deh mending, gue sama Rahma” jawab Dion
“Mau sama siapa Rahma?” tanya Ami
“Kamu sama Habib, Aku sama Dion” Rahma berujar sambil menaiki motor Ami yang akan di naiki Dion dan Rahma

Wajah Ami bersorak, hatinya bahagia. Dengan semanagt 45 ia menaiki motor Habib. Ada sirat kebingungan di mata Habib tentang perubahan sifat Rahma.

***

Dion melajukan motor nya seimbang dengan Habib. Entah Dion yang memang ngebut atau Habib yang sengaja mensejajarkan dengan kecepatan Dion.
“Rah?” Dion memulai pembicaraan
“Iya, Di?” respon Rahma
“Masih sakit hati?” tanya Dion
“Sakit hati masih lah, Di. Nggak nyangka Habib kayak gitu orangnya” Tak terasa air mata Rahma ikut menetes. Dion melihat dari kaca spionnya.
“Ehh Rah, jangan nangis dong, nggak enak nih di kira aku yang buat kamu nangis” ucap Dion
“Pinjem punggungnya buat nutupi wajahku, Di” ujar Rahma sambil menelungkupkan wajahnya pada punggung Dion
“Silahkan” jawab Dion

Rahma mendapatkan suatu ketenangan saat menyenderkan kepalanya pada punggung Dion. Ia menutupi matanya dengan tangan supaya air matanya tidak menempel pada jaket Dion.

***

Spesial Tag qomarsalma sebagai pemain Ami
Kepoin terus yukkk

Sebatas Patok Tenda [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang