SPT - Bagian 6

752 24 2
                                    

Maaf ya, soalnya sibuk banget jadi gak bisa lanjutin ceritanya...
Yuk kakak kakak, dikepoin lagi

***

Fajar menepikan mobilnya di depan Gedung NU. Belum banyak yang berangkat disana.
“Rah, ayo bangun” Ami membangunkan Rahma
“Biarin dia tidur dulu Mi, kasihan dia, tenang gitu kok tidurnya.” Dion menimpali di sela-sela mengangkat kopernya.
“tenang? Jangan-jangan?” Ami segera menempelkan tangannya di hidung Rahma, “Alhamdulillah masih ada” sambungnya
“appaan sih. Gak jelas lu” Dion kembali menimpali. Fajar hanya tertawa sambil memerhatikan adik angkatnya yang tenang dalam tidurnya
Rahma terbangun gara-gara debat Ami dan Dion.
“Udah sampai kak?” Rahma bertanya pada Fajar
“Udah dek” Fajar menjawab sambil senyum, “ya udah, masukkan barang-barang kalian ke truck sono, kayaknya udah mulai berangkat gitu” sambung nya
“gw angkatin koper lu ya Rah?” tanya Dion
“Oke di” jawab Rahma. Rahma memperhatikan Fajar
“Kak,, Rahma ntar kangen sama kakak” katanya
“haha, entar VC ya. Bareng ayah sama bunda juga. 3 minggu sebentar kok dek” Fajar tersenyum
“Sebentar apanya?” tiba-tiba air mata Rahma keluar
“Eh sayang. Jangan nangis dong” Fajar memeluk Rahma, “Kakak janji tiap malem nelpon deh, kalau perlu VC ya. Udah udah” Fajar melepaskan pelukannya dan menghapus air mata adek angkatnya.
“Iya kak. Janji ya” jawab Rahma
“Iya dek” Fajar sekali lagi memeluk Rahma
“Rah.. Ayo berangkat” teriak Dion dari depan pintu Bus. Mereka akan berangkat dengan 1 truck Kodim dan 1 Bus Pariwisata
“Bye kakak” Rahma melepas pelukannya dan berlari menghampiri Dion untuk segera masuk ke dalam Bus. Ia melihat Fajar sekali lagi dan langsung masuk ke dalam Bus.

Habib melihat Rahma masuk. Ia tersenyum saat Rahma melihatnya. Rahma membalas senyum Habib, tulus. Disampingnya duduk Ami. Diantara mereka sudah tak ada kecanggungan lagi. Ya, mereka jadian kemarin. Diatas motor setelah kejadian pertengkaran kemarin. Rahma tau itu, dan entah kenapa dia benar-benar tak ada rasa cemburu.
Rahma masih berdiri di tempat itu, sedang Dion sudah di samping tempat duduknya
“Rahmaaa?” panggil Dion jengkel. Rahma tersadar, ia menghampiri Dion, “sini duduk sama aku, udah penuh semua, gapapa kan?” tanya Dion
“Iya gapapa koq di” Rahma tersenyum. Ia duduk di dekat jendela dan Dion di sampingnya.
Terdengar canda tawa Habib dan Ami yang duduk di belakang mereka. Sekali-kali Dion menjahili sepasang kekasih itu. Cinta memang buta. Dengan mudahnya ia melupakan kejadian itu dan menerima tembakan Habib. Rahma memejamkan matanya, namun tak untuk tidur. Air matanya menetes. Bukan karena Habib dan Ami, tapi karena Dion. Ia mendengar percakapan Fajar dan Dion sebelum mereka berangkat. Dion adalah kakaknya?

“Kenapa gue bisa buta? Kenapa nggak bisa lihat kalau dia adalah anak kandung ayah? Kenapa gue bisa buta kalau dia kakak tiri gue? Kenapa nggak dari dulu Dion tinggal serumah dengannya? Gue nggak tega kalau kak Dion hidup menderita selama ini Ya Rabb. Kak, maafin Rahma. Ternyata perasaan nyaman Rahma selama ini yang merasa kakak adalah kakak Rahma itu memang benar. Kapan kakak jujur ke Rahma kalau Kak Dion itu kakak Rahma?” Hati Rahma berkata
“Rahma kenapa nangis” Dion melihat Rahma. Rahma segera menghapus air matanya
“Hhe enggak kok” Rahma tersenyum
“Cemburu sama Habib?” Dion memelankan suaranya
“Haha enggak koq, Di” Rahma menimpali, “Boleh minta peluk?” tanya Rahma
“Sini-sini. Kamu selalu tenang kalau aku peluk. Sini” Dion memeluk adiknya

***

Mereka memasuki dermaga. Antre an lama memasuki kapal itu membuat suasana di dalam Bus menjadi gerah. Dinginnya AC tak mereka rasakan. Bahkan jaket kontingen yang tadi mereka pakai sudah mereka copot. Mereka asik sendiri. Hanya Rahma yang larut dalam lamunan kosongnya. Dion? Entah kemana dia. Mungkin sedang ke kursi belakang membahas persiapan mereka.  Maklum, seorang pradana kontingen. Pradaninya? Bukan Rahma. Dia Cuma wakil pradani.

Setelah lama menunggu, Bus dan Truck memasuki kapal dengan arah tujuan Kalimantan itu. Waktu yang tepat untuk mereka keluar dari Bus untuk menikmati perjalanan laut mereka. Ami yang sedang berjalan bersama Habib celingukan mencari Rahma. Kemana sosok sahabatnya itu? Rahma masih di tempat duduknya. Sendirian di dalam Bus itu. Indra ke 6 nya melihat banyak “orang” yang membuatnya malas keluar dari Bus. Ia memilih mendengarkan musik dan memejamkan matanya. Seseorang duduk di sampingnya. Rahma membuka matanya. Dia bukan orang. Rahma melirik sosok itu. Saat sosok itu meliriknya juga, Rahma tak kuasa berteriak. Suaranya tertahan. Tangannya gemetar mengetikkan nama di ponselnya. Ia pun gemetar saat mengirim pesan singkat ke Ami

“Am, tolong samperin aku di Bus sekarang. Urgen” bunyi pesannya itu. Sosok itu kini mendekat dan terus mendekat. Tangannya siap mencekik Rahma kapanpun.

Ami membuka ponselnya, saat ia membaca pesan dari Rahma, jantungnya berdegup. Dion dan Habib pun sedang bersamanya.

“Kita tolong Rahma yuk. Gue yakin dia lagi di ganggu sesuatu yang hanya bisa Rahma lihat” Ami berlari meninggalkan pacarnya dan Dion. Dion mengikuti Ami dan Habib pun juga mengikuti. Dion yang duluan sampai, Ami berhenti karena kecapaian. Saat Dion memasuki Bus, Rahma dalam posisi yang sangat ketakutan. Dalam pandangan Rahma, sosok itu tepat di depan matanya, tak ada jarak antara keduanya. Dion berlari menarik Rahma. Sosok itu lenyap. Rahma tak mampu menahan tubuhnya, ia tak mampu berdiri. Sosok tadi adalah sosok terseram yang pernah Rahma tahu. Dion mengangkat Rahma dan menggendongnya keluar dari Bus menuju ke atas.

Rahma mengalungkan tangannya pada leher Dion sambil memejamkan matanya, berusaha menetralkan perasaan kacaunya. Ami dan Habib menghampiri. Mereka tak bisa berkata-kata. Dion mendudukkan Rahma pada kursi yang telah disediakan. Mencoba menenangkan Rahma. Dion memeluk Rahma. Membuat dahi Ami mengernyit bingung. Mereka udah jadian?. Habib yang melihat Ami bingung hanya menggeleng, ia tahu pikiran Ami.

Rahma sadar dari rasa takutnya. Ia membuka matanya dan berada dalam pelukan seseorang yang selalu membuatnya tenang selama ini.

“Terimakasih Kak Dion” ucap Rahma
Dion melepaskan pelukannya. Ia terperanjat. Matanya kagetnya bertatapan dengan Habib, seakan memberi tahu pertanyaannya “lu yang kasih tau?”. Habib menggeleng pasti. Ami tak kalah kagetnya.

“Rahma udah tau kak. Rahma udah tau kak Dion kakak tiri Rahma. Rahma denger percakapan kak Dion sama kak Fajar tadi sebelum berangkat. Rahma juga udah tau dari lama kalau kak Fajar itu kakak angkat Rahma” Rahma bersuara menjawab kebingungan Dion

“Maaf dek, Kakak nggak bisa jujur sama kamu. Kakak niat jujur nanti pas di buper. Eh tapi taqdir berkata lain” Dion memegang kedua bahu adeknya.
Habib menarik Ami menjauh dari kakak adek yang sedang melepas rindu itu. Mereka berjalan ke tepian kapal. Menikmati suasana angin laut. Layaknya dalam film Titanic itu. Kapal yang telah menjauhi tanah Semarang itu akan sampai di Kalimantan besok malam. Sore ini, saat yang terindah bagi Rahma dan Dion, Habib dan Ami, serta seluruh kontingen Demak itu.

***

Malam ini, mereka dikumpulkan oleh Pak Sabiq, Pinkon mereka. Perihal masalah penjagaan fisik mereka yang pantang untuk sakit selama hampir sebulan ini. Serta perihal bersatunya adik kakak, sang pradana dan wakil pradani yang selama ini membuat salah paham mereka yang mengira Dion dan Rahma berpacaran.

“Dengarkanlah suara hati ini, suara hati yang ingin ku dendangkan. Tak mampu untuk ku sampaikan kan ku ungkapkan lewat laguku. Berawal dari perkemahan ini, rasa itupun hadir di hatiku. Menghiasi relung sukmaku, cinta bersemi di bumi perkemahan. Akankah cintaku sebatas patok tenda, tenda terbongkar sayonara cinta. Akankah cintaku sebatas patok tenda, tenda terbongkar sayonara cinta.” Terdengar riuh nya suara mereka saat menyanyikan lagu itu bersama-sama. Inilah saat yang mereka nantikan dan saat yang tak ingin mereka akhiri.

***

Sebatas Patok Tenda [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang