Dua hari berlalu. Sejak semalam bus telah meninggalkan kapal. Ini waktu yang tepat buat Naya tertidur. Ponselnya masih ia pegang dalam lelapnya. Membiarkan chat dan panggilan yang mengganggu. Melepaskan kantuknya yang tak bisa ia lepaskan saat di kapal.
Untuk kesekian kalianya, ponsel Rahma berbunyi. Dion melirik ke samping, melihat betapa lelahnya wajah adiknya hingga berkali-kali ponselnya berbunyi ia tak kunjung bangun juga. Dion menghargai privasi adiknya dengan cara ia tak mengotak atik ponsel adiknya yang berbunyi. Dion hanya melihat nickname disana “Kak Aldi Cilacap”. Dion tersenyum simpul. Adiknya mungkin sedang jatuh cinta. Dion memejamkan matanya dan kembali asik dengan dunia mimpinya lagi.
Ami sibuk dengan jendela disampingnya. Mengambil gambar pemandangan indahnya Kalimantan waktu itu. Mengacuhkan pacarnya yang asik dengan ponselnya. Entah apa yang Habib sibukkan, yang pasti ia begitu sebal saat sebuah nomor masuk ke ponselnya yang mengganggu kesibukannya. Dengan bersungut-sungut ia mengangkat ponselnya.
“Siapa?.” Tanya nya cuek
“Ini kak Habib bukan?.” Tanya lawannya
“Hmm.” Jawab Habib masih cuek
“Ini aku kak, Aldi. Mau nanya.” Jawab Aldi
“Ohh, nanya apa?” Habib bertanya
“Rahma kok nggak bisa dihubungi ya?.” Tanya Aldi dengan nada sedihnya
Habib berdiri dari duduknya. Melihat bangku di depannya. Sang kakak adik tengah asik dalam mimpi masing-masing. Ia tertawa.
“Pantes lah, orang si kakak adik nya lagi tidur.” Jawab Habib sambil tertawa
“Oalah, yaudah.” Ucap Aldi sambil memutuskan sambungan.
Habib meneruskan kesibukannya kembali. Sedangkan Ami yang sempat berhenti dari kesibukannya saat Habib menerima ponsel, apalagi saat membahas tentang Rahma. Namun saat Habib melaporkannya, Ami mengetahui bahwa si penelepon adalah Aldi, doinya Rahma.
***
Jam telah menunjukkan pukul 10:00 WITA. Bus menepi di rumah makan, waktunya mereka untuk sarapan sekaligus makan siang. Jatah makan siang mereka hanya 2kali, mengingat biaya yang mahal.
“Rahma....! Dion....! Banguuunnn...!” Ami berteriak membangunkan kedua kakak adik ituRahma menggeliat, membuka matanya. Sosok Ami telah berada tepat di depan matanya. Rahma mengumpulkan nyawanya, dan melihat Dion yang malah menutup telinganya rapat-rapat karena suara Ami. Rahma hanya tertawa melihat kelakuan kakak tirinya itu. Rahma menggoyangkan badan kakak tirinya yang masih sibuk dengan mimpinya, namun Dion tak kunjung bangun juga. Rahma memasukkan ponselnya ke dalam saku dan masih berusaha membangunkan kakak nya. Ami sudah sangat sebal dengan kakak sahabatnya itu.
Habib yang sedari tadi menonton mereka membangunkan Dion pun bangkit menuju ke tempat Dion. Melepaskan baret yang masih Dion pakai dan menjambak rambutnya. Cara jitu yang membuat Dion langsung bangun sambil memelototi Habib yang hanya terkekek itu. Dion tak pernah suka seseorang merusak rambutnya, haha dasar cowok feminim.
***
Makan itu adalah makan pertama mereka di Kalimantan, makan yang mengharuskan mereka membiasakan lidah mereka dengan makanan khas Kalimantan Selatan yang suatu saat pasti akan mereka rindukan.
Selesai makan, Rahma mengecek ponselnya. 108 pesan belum dibaca dan 54 panggilan tak terjawab. Raut wajah kagetnya terbalaskan dengan sebuah nickname yang menyepamnya itu, “Kak Aldi Cilacap”. Ia tertawa dalam batinnya sambil meraih air mineralnya. Ia mengetikkan sebuah pesan pada Aldi, “Maaf kak, Rahma baru bangun tidur nih, hehe.” Rahma memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Battrainya Low, untungnya, di bis, setiap anak di beri stopkontak untuk mencharger supaya tak kesulitan listrik saat di buper nanti.
***
Bus meninggalkan rumah makan itu, menuju ke bumi perkemahan. Memulai setiap inci kenangan yang tak akan pernah mereka lupakan. Nyanyian yel-yel yang mereka kumandangkan menyamankan hati mereka yang deg-degan. Segala latihan mereka akan di uji seminggu ke depan. Tentang sebuah kekompakan yang harus mereka jaga, tentang sebuah sisi sosial kemanusiaan yang harus mereka junjung tinggi, tentang sebuah keramahan yang harus mereka tebar, dan tentang sebuah nama baik yang mereka emban.
Nyanyian yel-yel itu berubah menjadi sebuah lagu cinta yang familiar di telinga mereka, lagu cinta yang bukan sebatas patok tenda.
“Indah yang kurasakan, saat aku bertemu denganmu
Cinta yang kini ada, telah bersemi di dalam jiwa
Kini cerita yang ada, ternyata tak sebatas patok tenda
Semoga kan tetap terjaga, kisah asmara tunas kelapa
Tak mungkin kan terlupa, saat bersama di pantai kelapa
Kau genggam tanganku, bersandar di pundakku
Serasa tak ingin waktu berlalu
Tak pernah terlupakan, kisah asmara tunas kelapa
Ku berharap selalu, kan tetap menyatu
Tunas kelapa, saksi cinta kita”Entah apa yang akan terjadi, Rahma tak mau tahu. Ia akan mengikuti alur yang di berikan Allah tanpa ia berharap apapun. Matanya terpejam sambil menikmato lagu yang ia lantunkan. Mengacuhkan ponselnya yang ia charger yang sedari tadi ikut berbunyi, mengacuhkan Ami dan Habib yang saling bercanda mesra, mengacuhkan sang kakak yang memimpin lagu, ia hanya fokus pada lirik kenyamanan itu, sambil membuat khayalan bahwa ia dan Aldi akan seperti itu. Garis bibirnya tertarik saat lagu selesai, tapi khayalan yang ia buat masih berjalan menari-nari di pikirannya. Rahma berfikir, sosok Aldi dikirimkan oleh Allah untuk mengobati hatinya atas sikap Habib padanya beberapa hari lalu. Lamunan Rahma terhenti saat jabatannya terpanggil,
“Mari kita sambut nyanyian dari Bu Wakil Pradani kita, Putri Dwi Rahma.” Ucap sang kakak di mic bus. Rahma dengan malu menghampiri sang kakak dang mengambil mic dari tangan si kakak, menyanyikan sebuah lagu yang mampu membuat semuanya bersorak.
“Ku tatap 2 bola matamu, tersirat apayang kan terjadi
Kau ingin pergi dariku, meninggalkan semua kenangan
Menutup lembaran cerita, oh sayangku, aku tak mau
Ku tau semua akan berakhir, tapi ku tak rela lepaskanmu
Kau tanya mengapa aku tak ingin pergi darimu
Dan mulutku diam membisu
Salahkah bila diriku, terlalu mencintaimu
Jangan tanyakan mengapa, karena ku tak tahu
Aku pun tak ingin bila, kau pergi tinggalkan aku
Masihkah ada hasratmu, tuk mencintaiku, lagi”Habib tercengang saat Rahma menyanyikan lagu itu. Entah apa yang membuat Habib berfikiran bahwa lagu itu dikhususkan Rahma untuknya. Sedangkan Rahma tak tahu kenapa lagu itu keluar sendiri dari mulutnya,padahal ia ingin sekali menyanyikan Cinta Simpul Mati. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk menyanyikan lagu itu. Matanya menatap Habib yang tercengang, Rahma lalu ikut tercengang, ia tak menyangka bahwa lirik itu pernah ia nyanyikan saat ia galau gara-gara Habib. Akankah Habib merasa lagu ini untuknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebatas Patok Tenda [Sudah Terbit]
Teen FictionJodoh, rezeki, dan kematian, semua itu sudah diatur oleh Sang Pencipta. Begitupun dengan Rahma, seseorang pada masa lalunya, yang telah menyakiti di masa sekarang, menjadi teman hidup di masa depan. Rahma, gadis usia 17 tahun, yang meniatkan mengiku...