SPT - Bagian 7

678 29 0
                                    

Malam semakin larut. Mereka di bebaskan tidur dimanapun. Di kamar yang di sediakan, di bus, atau dimanapun. Kebanyakan mereka memilih di kamar. Rahma masih terduduk di luar. Ia tak mau tidur di Bus atau di kamar. Sosok sosok seperti tadi pasti ada.

Rahma duduk di deg Kapal. Memandangi lautan luas. Ia hanya bisa tidur saat bus mulai meninggalkan dermaga nanti. Seseorang berdiri di depannya. Tertulis di jaketnya “Kontingen Cabang Cilacap”. Namun, Rahma cuek. Ia membuka ponselnya. Ada WA dari Dion.

‘Dek, kamu kalau tidur nanti dimana?’ pesan itu

Rahma menekan icon telpon dan mendekatkan ponselnya pada telinganya

“Kak, aku kayaknya nggak tidur deh sampai nanti di kalimantan. Kemungkinan ya aku tidurnya pas bus pergi dari dermaga kan?” Rahma bersuara. Membuat cowok dari Cilacap itu menoleh. Rahma membelakangi nya. Tertulis ‘Kontingen Cabang Demak’ disana
“kuat dek?” tanya Dion
“kuat kak, insyaAllah” jawabnya
“Posisi?” tanya Dion
“deg kapal kak” jawab nya
“ya udah, nanti kakak kesitu. Kamu belum makan kan?” tanya Dion lagi
“belum koq kak. Tapi aku nggak laper” jawab Raahma
“Ya sudah” Dion mematikan ponselnya

Cowok Cilacap itu kini di belakang Rahma. Ia menepuk punggung Rahma. Rahma yang terkejut hingga ponselnya terjatuh.
“Eh maaf kak, kalau ngagetin” cowok itu jongkok mengambilkan ponsel Rahma
“terimakasih kak. Ku kira tadi kakak bukan orang” jawab Rahma sambil mengambil ponselnya
“haha... bisa liat gituan?” Tanya cowok itu
“haha, bawaan lahir. Nggak bisa ilang” Rahma tertawa
“haha saya juga bisa kak. Cuma emang sengaja saya buka” katanya
“Ohh iya kak, maaf sebelumnya, saya Aldi, Kontingen Cilacap” sambung cowok itu memperkenalkan diri
“hehe udah baca...” Rahma tertawa “saya Rahma, kontingen Demak. Kakak pasti sudah baca” sambungnya
“haha okeh okeh kak” kata Aldi, “boleh saya temenin disini?” tanya Aldi
“boleh kak. Saya nggak kuat masuk ke dalam” jawab Rahma
“arwahnya kuat kuat kak, serem serem juga” sambung Aldi

Mereka pun bercakap-cakap tanpa tidur. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Dion yang telah selesai makan bersama kontingen membawa sepiring nasi dan segelas minum menuju ke deg kapal. Saat ia membuka pintu, ia hanya tersenyum mendapati adiknya bergurau dengan orang baru itu. Ia yakin orang itu adalah temannya nanti saat di Perkemahan Bela Negara nanti. Dion mendekat. Persis di belakang Rahma. Aldi melihat ke arah Dion
“Rah, itu di belakang kamu orang bukan?” tanya Aldi. Dion menahan tawanya. Kini ia sadar, mereka sama. Bisa melihat sesuatu yang tidak bis Dion lihat. Rahma berbalik. Tepat sekarang di depannya Dion. Rahma tertawa
“Santai Al. Dia orang koq. Kakak aku” jelas Rahma
“Oh.. eh maaf ya kak” Aldi salah tingkah, “di Demak boleh ya ngajak anggota keluargnya?” sambung Aldi. Rahma dan Dion saling melihat lalu tertawa
“Haha enggak koq. Aku tuh kakak tirinya Rahma. Beda setahun doang sama dia” jelas Dion
“Ohhh pantes” Aldi menimpali
“Ya udah, makan dulu Rah” ajak Dion
“Oke kak. Tapi gimana nih Aldi?” tanya Rahma
“Haha gapapa Rah... Lu makan aja dulu. Aku udah koq” jawab Aldi

Rahma selesai makan. Ia berjalan ke bawah untuk mengembalikan piring dan gelasnya. Rahma bersikap cuek terhadap apapun yang ia lihat. Ia kembali ke deg kapal. Aldi tak ada disana. Ia menyenderkan punggunya pada kursi yang telah disediakan. Menikmati sejuknya angin malam dan ia mengantuk. Ia ingin sekali tidur. Rahma memasang headshet di telinganya. Dan tanpa sadar ia tertidur.

***

Rahma menggeliat. Ada sesuatu di tubuhnya. Sebuah selimut. Ia mendudukkan tubuh. Matanya mencari-cari, mungkin akan ketemu siapa yang memberinya selimut dan melepaskan headshetnya. Ia mencari ponselnya, ada di meja di sampingnya. Tertulis jam di situ 04:30 WIB. Ada pesan masuk di WA nya, dari nomor tak dikenal.
“Maaf, Rah. Aku minta nomor kamu dari hp kamu. Aku tadi ke WC pas kamu balikin piring sama gelas. Eh pas balik lagi kamu udah tidur. Lihat kamu kedinginan kasihan aku. Makanya aku kasih selimut, hehe... Aldi” isi pesan itu. Rahma tersenyum. Ia mensave nomor itu

Rahma menuju ke toilet, mengambil air wudlu dan bersiap hendak sholat Shubuh. Setelah selesai, Rahma berpapasan dengan Ami yang berjalan dengan Habib.
“Ciee yang nempel mulu kayak lem” goda Rahma
“Haha, apaan ish Rah” Ami salah tingkah
“Ciee yang udah dapat kenalan aja nih” gantian Habib menggoda. Rahma tahu, Habib pasti dikasih tahu sama kakaknya
“Haha, tau dari Kak Dion?” tanya Rahma
“Haha, ya seperti yang kamu pikirin” jawab Habib
Rahma tersenyum. Ami bingung
“Siapa sih?” tanya Ami
“Haha ada dehh” jawab Rahma
Mata Ami mebelalak ke belakang Rahma, ia berujar “Jadi gini ya rasanya bisa lihat malaikat. Aku jadi pengen kayak kamu Rah, lihat malaikat seganteng dia”
Rahma hanya tersenyum. Yang ia lihat kebanyakan adalah arwah penasaran. Untuk malaikat, hampir tak pernah. Rahma membalikkan badannya. Ia melihat Aldi yang berjalan ke arahnya. Rahma tertawa
“Haha dia bukan malaikat Rahma. Dia Aldi” jelas Rahma
“Apaan sih kamu say. Lebay deh” ujar Habib sambil menarik tangan Ami pergi meninggalkan Rahma.
Aldi tepat di belakang Rahma.
“Hey sudah bangun?” tanya Aldi
“Belum, ini arwah ku” Rahma bercanda
“Haha, lihat sunrise yuk. Bagus lho. Jarang-jarang kan lihat sunrise di kapal?” tanya Aldi
“Uuuh ayuk ah,, pengenn” jawab Rahma

Mereka berjalan menuju deg kapal. Jam di tangan Rahma menunjukkan pukul 05:00 WIB. Samar-samar terlihat cahaya di cakrawala bumi. Masih malu malu mengintip. Sebentar lagi sunrise itu tiba. Rahma mempersiapkan kameranya hendak menikmati sunrise itu. Sedang Aldi menyiapkan kameranya juga untuk memotret Rahma yang asik memotret sunrise pertamanya di kapal itu.
Rahma kecewa saat sunrise berakhir. Ia masih ingin menikmati sunrise di kapal itu. Serta menikmati sunrise di lapangan Buper nanti
“ngapain kecewa Rah? Bukannya kita di kapal 3 hari ya? Kan masih ada waktu sunrise terakhir besok” sambung Aldi. Rahma tersenyum mengiyakan. Mereka masih menikmati sejuknya angin pagi di laut lepas. Banyak orang dibelakang mereka yang juga menikmati udara pagi hari di laut itu. Rahma berteriak. Meleaskan segala penatnya. Saat tumpukan amanah membuatnya lelah, ia menguatkan hatinya dengan Lillah.

Dion berdiri di belakang Rahma. Mengaitkan lengannya pada leher Rahma. Ami dan Habib berpegangan di belakang Aldi, Rahma dan Dion. Ikut menikmati pagi mereka yang pertama di kapal. Rahma mengaitkan tangannya di perut Dion. Melepas kerinduan setelah sekian lama tak bertemu dengan kakak nya. Aldi tersenyum. Ia menghampiri Habib
“emm, maaf. Boleh ngomong sebentar?” tanya Aldi
Habib mengiyakan. Melepas pegangan tangan Ami dan mengikuti arah jalan Aldi.
“Itu Kak Dion emang kakak nya Rahma ya kak?” tanya Aldi
“Panggil gue Habib aja” jawab Habib, “iya dia kakaknya. Rahma baru tau kalau Dion kakaknya waktu kemarin siang. Mereka terpisah. Jadi wajar kalau mereka melepas rindu. Apalagi kalau malam Rahma nggak bisa tidur di Bus atau di Kamar kan?” sambung Habib
“Oalahh, gitu ya. Makasih infonya” Aldi lega
“lu sempet cemburu?” tanya Habib
“Haha iya. Kayaknya tadi koq nggak percaya mereka adek kakakan. Kesamaannya sedikit” jawab Aldi
“Mereka seayah beda ibu. Rahma cenderung sama kayak Ayahnya. Tapi Dion, Cuma sifatnya sama yang kayak ayahnya, fisiknya ikut ibunya semua” jelas Habib
“Ohh” Aldi paham sekarang
“Lu kalau suka sama Rahma, jangan disakiti ya. Kasian dia” ujar Habib meninggalkan Aldi. Masih terbesit rasa bersalah di dada Habib atas apa yang telah ia lakukan kepada Rahma. Aldi tersenyum menang

***

Sebatas Patok Tenda [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang