SETETES EMBUN CINTA NIYALA
Karya : Habiburahman El-ShiraziSEJAK menerima surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki semangat hidup. Ia berpikir keras berhari-hari. Mencari-cari jalan keluar terbaik yang bisa melepaskan dirinya dan ayahnya dari keadaan yang menyesakkan dada itu. Namun tidak juga ia temukan. Ia yang harus berkorban, atau ayahnya yang harus ia korbankan dengan cara menolak mentah-mentah permintaan itu. Namun nurani terdalam sebagai seorang anak yang mencintai ayahnya tidak sampai hati melakukan itu. Saat-saat wisuda yang semestinya menjadi saat-saat yang sangat membahagiakan akan berubah menjadi saat-saat paling menyakitkan. Ketekunan belajarnya selama ini tidak akan menjadikan dirinya bahagia.
Tiba-tiba ia merasa putus asa untuk melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta tentu semuanya akan mudah baginya. Tapi dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Ia hanya punya tabungan dua juta, itupun sudah ia janjikan akan ia pinjamkan pada Azizah, adik kelasnya, untuk membayar semesterannya.
Niyala termenung di kamarnya. Sejak kedatangan surat itu, ia jarang keluar kamar. Ia mengisolasi diri dari dunia luar. Belasan sms masuk namun tidak ia balas. Memang manusia sangatlah lemah. Ia merasakan hal itu sekarang. Ada saatnya manusia benar-benar tidak bisa berdaya apa-apa. Seperti dirinya. Seperti mereka, ribuan gadis yang tengah diperkosa para durjana. Biasanya Cuma merintih dan mengumpat dengan perasaan sedih tidak terkira. Tangan, kaki dan tubuh semua telah terkunci. Dunia gelap.
Ia merasakan ada tangan lembut mengusap air matanya yang meleleh di pipi.“Ada apa Anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini kau tampak sedih dan memendam masalah. Ada yang bisa Umi bantu Anakku?”
Suaranya yang lembut itu menyadarkan dirinya. Ia tergagap. Ia mencoba tersenyum meskipun bibirnya terasa kaku.
“Em...tidak ada apa-apa kok Umi. Niyala tidak apa-apa. Hanya sedikit sedih teringat Maesarah.”
”Maesarah teman kuliahmu yang meninggal sebulan yang lalu itu?”
Ia menganggukkan kepala.”Oh Umi kira ada apa. Memang kematian datang begitu saja tidak pandang usia. Katanya Maesarah tidak sakit apa-apa. Ia meninggal begitu saja usai shalat subuh dengan tangan masih memegang mushaf.”
”Maesarah mati dengan usia yang sangat muda. Saat ia berada di puncak prestasinya, menunggu diwisuda sebagai lulusan terbaik Fakultas Kedokteran tahun ini. Iya menghadap Allah pada waktu melakukan perbuatan mulia. Usai shalat dan membaca Al-qur’an.
Aku iri padanya Umi. Tiba-tiba aku rindu padanya. Aku ingin menyusulnya Umi. Entah kenapa hari-hari aku ingin mati seperti dia.”Suaranya bergetar. Saat itu ia memang ingin mati. Sebab terkadang kematian memang menjadi solusi atas banyak persoalan manusia. Dan sering kali kematian menjadi pilihan yang dianggap paling tepat dan membahagiakan.
”Kau jangan berkata begitu, Anakku! Hidup dan mati ada ditangan Allah. Mengingat kematian memang baik. Tapi kau jangan mengharap yang tidak-tidak seperti itu. Masa depanmu masih panjang. Hidupmu masih diperlukan oleh banyak orang. Masih banyak hamba Allah yang akan memerlukan bantuanmu setelah kau jadi dokter nanti. Maka mintalah kepada Allah agar kau dikaruniai umur panjang yang penuh berkah. Sebab itulah sebaik-baik umur manusia.”
Kata-kata perempuan setengah baya yang ia panggil Umi itu membuatnya tak bisa membendung air mata. Dalam hati ia menjawab, ”Umi benar. Saat ini ada yang sedang menanti uluran tanganku, yaitu ayah kandungku sendiri. Dan justru karena aku merasa tidak mampu untuk mengulurkan tanganku, maka aku lebih memilih mati dengan damai menyusul Maesarah. Dan karena aku takut dengan umur panjang yang tidak berkah maka aku memilih mati secepatnya!”
”Kau malah menangis, Anakku. Apakah perkataan Umi salah?”
”Tidak, Umi benar. Terima kasih Umi.”
Telepon di ruang tamu berdering.
”Biar Umi yang mengangkat. Sekalian Umi mau keluar ke rumah bu Sanwar mengantar kue pesanannya.”Perempuan setengah baya itu melangkah menuju keluar kamar. Niyala memandanginya dengan mata berkucuran. Jika ia mati yang paling berat baginya adalah berpisah dengan perempuan berhati mulia yang ia panggil Umi itu. Baginya, Umi tidak ada bedanya dengan ibu kandungnya sendiri. Dari Umi lah ia merasakan kasih sayang yang luar biasa. Umi sebenarnya bukan siapa-siapa baginya. Umi adalah orang lain. Tak ada hubungan kekerabatan dengan dirinya. Umi adalah teman ibu kandungnya saat belajar di Diniyah Puteri Padang Panjang. Ibunya mendapatkan jodoh orang Sidempuan yaitu ayahnya. Sedangkan Umi mendapatkan suami orang Betawi. Keduanya lantas hidup ikut suaminya masing-masing.
Kata Umi, saat ibu kandungnya sakit keras, diam-diam ibu kandungnya menulis surat wasiat kepada Umi. Isinya minta tolong agar jika dirinya meninggal, Umi mau mengasuh puterinya Niyala dan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Ibunya lebih percaya pada Umi daripada perempuan manapun yang mengasuh puterinya. Mendapat surat wasiat itu Umi langsung terbang ke Sidempuan. Dan sampai disana tepat saat ibunya dimakamkan. Ia pun langsung melaksanakan wasiat itu sebaik-baiknya. Kebetulan Umi tidak punya anak perempuan.
Umi benar-benar menganggap dirinya sebagai anaknya sendiri. Niyala merasakan itu. Ia pun menganggap Umi sebagai ibunya sendiri. Ia belum pernah mendapatkan bentakan atau kata-kata keras dari Umi. Umi teramat sayang padanya. Kalaulah bukan karena pengorbanan dan kerja keras Umi ia tidak akan bisa menyelesaikan kuliah di fakultas Kedokteran. Sejak ia datang ke rumah itu, Umi hidup hanya berdua dengan anak lelakinya Faiq yang baru kelas enam SD. Suami Umi meninggal saat tugas di Timor-Timur. Umi bekerja keras dengan kedua tangannya membesarkan Faiq dan dirinya. Umi sebenarnya wanita yang cantik. Banyak lelaki yang datang melamarnya, termasuk adik kandung suaminya sendiri. Tapi ia seorang wanita yang setia dan berkarakter. Ia tidak bisa menerima lamaran itu.
”Cinta sejati Cuma sekali, dan itu akan aku bawa sampai mati. Aku hanya mau jadi istri suamiku, ayah Faiq, di dunia sampai di akhirat!” Itulah Umi yang telah mengajarinya hidup menjadi wanita salehah. Itulah Umi yang telah mengorbankan segala yang dimilikinya untuk dirinya. Padahal dia bukan puterinya, bukan anak kandungnya.Ia masih ingat saat diterima di fakultas Kedokteran. Umi tidak memiliki uang sepeserpun. Sawah mendiang suaminya telah dijual untuk membiayai kuliah Faiq di Mesir. Akhirnya Umi terpaksa meminjam uang ke bank. Sertifikat tanah dimana berdiri rumah tempat ia dan Umi tinggal dijadikan jaminan. Padahal itulah satu-satunya harta yang tersisa. Ia tidak bisa membayangkan andaikan Umi tidak bisa menyicil angsuran ke bank. Entah apa jadinya jika rumah itu disita oleh bank. Namun Umi seakan ingin memberikan teladan baginya bagaimana menjadi manusia yang ulet.
Manusia yang tidak hanya mengeluh saja. Manusia yang bisa memanfaatkan kesempitan menjadi kelapangan. Sebagian uang pinjaman dari bank digunakan untuk membiayai kuliahnya selama satu tahun. Dan sebagian lainnya digunakan untuk usaha. Umi menyalurkan bakat dan ketrampilannya membuat kue. Dia menjual kue di pasar. Kue Umi laris. Perlahan Umi mengembangkan usahanya membuat kue dan roti. Pesanan terus mengalir. Angsuran bank bisa ditutup setiap bulannya. Dengan usaha keras itulah Umi bisa membiayai kuliahnya dan sesekali mengirimkan uang ke Mesir untuk Faiq. Saat ia membuka privat bimbingan belajar, Umi mendukungnya. Kamar Faiq yang terletak disebelah ruang tamu dijadikan kelas. Umi tidak mau menerima hasil yang ia dapat dari privat. Umi hanya bilang,
”Anakku, Umi sudah sangat berbahagia kau menjadi anak yang salehah dan berprestasi. Hasil yang kau dapat saat ini tabunglah. Nanti kau akan memerlukannya. Sebab Umi tidak tahu ketika kau nanti menikah apakah tangan Umi masih bisa mencarikan dananya apa tidak. Jangan kau pikirkan Umi, Anakku.”
Ia menangis mengingat ketulusan Umi mendidik dan membesarkannya. Umi yang telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia ingin hidup selamanya bersama Umi. Mendampingi Umi di hari-hari tuanya. Menyayangi Umi kala ia telah renta. Tapi surat dari Sidempuan itu menghapus semua impiannya. Saat ini ia merasa yang terbaik adalah malaikat Izrail datang menyelamatkannya dari buah simalakama ini.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
SETETES EMBUN CINTA NIYALA ( ✔ )
SpiritualSETETES EMBUN CINTA NIYALA Karya : Habiburahman El-Shirazi SIAPAKAH yang mampu hidup tanpa cinta? Perempuan manakah yang bisa membangun singgasana rumah tangganya tanpa cinta? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan hati pilu. Tak ada! Jawabnya send...