PART 6

3.6K 111 0
                                    

SETETES EMBUN CINTA NIYALA
Karya : Habiburahman El-Shirazi

Air mata Niyala terus mengalir membasahi kedua pipinya. Ia tak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selain menangisi nasibnya, ia benar-benar tidak bisa mengambil keputusan. Ia tidak bisa menyerahkan dirinya menjadi istri Roger yang pernah mencoba memperkosanya dan telah menodai teman karibnya. Ia tidak bisa memaafkannya meskipun Roger datang menyembah dihadapannya. Namun ia tidak kuat melihat ayahnya disiksa oleh hutang-hutangnya. Ia tidak tega kalau sampai ayahanya diperkarakan oleh Haji Cosmas dan dipenjarakan. Ia ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Juga istri yang berbakti pada suaminya. Istri yang mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang pada suaminya.
Apa jadinya kalau dirinya sampai menjadi istri si bangsat Roger itu. Ia tidak bisa membayangkan jika hidup dalam bara neraka selama hayatnya. Orang bijak mengatakan, ’Jika malam telah memuncak pekatnya, tak lama lagi fajar akan terbit’. Apakah kepedihan yang ia rasakan ini adalah puncak pekatnya malam yang tak lama lagi fajar akan terbit? Ataukah baru tenggelamnya matahari dan ia masih akan menemui saat-sat kelam yang paling mengerikan? Saat-saat itu adalah saat-saat ia terpasung dalam ketidakberdayaan menjadi bulan-bulanan Roger. Saat-saat ia dalam situasi yang mengerikan, bagaikan seekor Domba yang sedang sekarat dalam belitan ular Phyton yang kelaparan. Dan pada saat fajar terbit, dirinya telah kehilangan segalanya. Bahkan kemanusiaan dan keimanannya.

Ia takut sekali hal itu akan terjadi. Ia takut sekali akan kedatangan ayahnya, ia tak kuasa untuk menolak permintaan ayahnya. Entah kenapa kedatangan ayahnya ia rasakan sebagai kedatangan seorang algojo yang akan melemparkannya ke alam yang menakutkan. Ayahnya akan menyeretnya ke Sidempuan seumpama tawanan perang yang tiada berdaya apa-apa. Keringat dinginnya keluar. ”Ya Rabbi, ampunilah segala dosaku. Janganlah hamba-Mu yang lemah ini Engkau coba dengan ujian yang hamba tidak kuat memikulnya. Ya Mughitsu, aghitsni (wahai Tuhan Yang Mahamenolong tolonglah aku).
Jam beker di kamarnya berdering keras. Lalu mati. Ia mendengar suara derit pintu. Lalu kecipak air. Ia menatap jam dinding. Pukul tiga. Tak lama kemudian ia mendengar suara alunan surat Fatihah dan lantunan ayat-ayat suci Alquran. Suaranya begitu jernih. Fasih. Tartil. Indah. Menyentuh hati yang mendengarnya. Setelah empat tahun di Mesir, bacaan Alquran kakaknya itu semakin indah. Ah, kak Faiq dalam keadaan lelah dari perjalan jauh masih juga bangun tengah malam. Alangkah bahagianya dia yang menjadi istrimu. Tiap malam bisa tahajjud bersama. Menangis bersama di hadapan Allah.
Lalu anakmu sesekali diajak ikut serta. Rumahmu penuh cahaya Qurani. Baunya harum wangi kesturi. Alangkah indahnya. Air mata Niyala tiada henti mengalir. Bantalnya basah. Dan diriku. Ia kembali berkata pada dirinya sendiri dalam hati. Alangkah malangnya jika menjadi istri Roger yang pernah jadi mucikari itu, yang mungkin sampai sekarang masih jadi mucikari. Hidup dalam kegelapan. Hidup akan teramat malang jika rumahku pada akhirnya dijadikan rumah bordil. Aku dipaksa menjadi primadonanya. Sungguh mengerikan. Hidup tanpa cinta. Rumah pengap penuh bau busuk dan daging para pezina. Na’udzubillah.
Suara Faiq yang merdu dan tartil menarik Niyala untuk bangkit. Ia berdiri dan melangkah keluar kamar untuk mengambil wudhu. Lalu ke kamar Umi untuk memakai mukena Umi. Lantas mengambil sajadah dan menggelar didepan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Faiq masih berdiri dalam shalatnya. Ia larut dalam tadabbur ayat-ayat yang ia baca. Ia sama sekali tidak tahu bahwa diluar kamar Niyala ikut makmum dan menyimak bacaannya dengan penuh khusyuk.

Faiq selesai membaca surat An-nuur. Ia tetap berdiri dan langsung melanjutkan dengan membaca surat Al-Furqan. Ayat demi ayat ia baca. Sesekali terdengar isak tangisnya. Niyala yang makmum dibelakangnya ikut menangis. Sampailah ia pada ayat enam puluh lima dan enam puluh enam :

Wal ladziina yaquuluuna Rabbanashrif ‘anna’ adzaaba jahannam. Inna ‘adzaabaha kaana gharaama. Innahaa saa’at mustaqarraw wamuqaama!

(”Dan orang-orang yang berkata ’Ya Tuhan kami jauhkan azab jahannam dari kami, seungguhnya azab itu adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.”)

Ia mengulang-ngulang ayat itu dan menangis tersedu-sedu. Niyala juga terisak-isak. Ayat itu sungguh menggetarkan hati. Faiq meneruskan bacaannya. Huruf demi huruf ia baca dengan tartil. Ketika sampai pada ayat tujuh puluh empat :

Wal ladziina yaquuluna Rabbana hab lana min azwaajina dzurriyatina qurrata a’yuniw waj’alna lil muttaqiina imaama

(”Dan orang-orang berkata ’Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”)

Faiq membacanya dengan penuh pengahayatan. Dan mengulang-ulangnya dengan penuh perasaan. Lagunya terkadang seperti merayu pada Tuhan. Terkadang seperti merengek-rengek. Dan terkadang terdengar sangat mengharukan sekali. Niyala tahu persis makna ayat yang dibacakan Faiq. Tak ayal ia terisak-isak sampai nafasnya tersengal-sengal. Ayat itu begitu dahsyat mengambil seluruh perasaannya. Faiq meneruskan perasaannya. Begitu selesai surat Al-Furqan ia rukuk. Lalu sujud dengan air mata berderai. Pada rakaat kedua ia membaca surat Asy-Syuara lima puluh ayat. Setelah salam ia duduk istirahat. Hatinya tiada henti bertasbih. Ia menghentikan tasbihnya kala daun telinganya mendengar isak tangis di luar kamar. Ia bangkit dan membuka pintu kamar. Ia terhenyak melihat Niyala duduk diatas sajadah dengan menutup kedua tangan pada mukanya. Isaknya tersedu-sedu. Ia terhenyak sesaat, hatinya tersentuh dengan apa yang dilihatnya. Ternyata adiknya juga bangun malam dan shalat dibelakangnya. Ia kembali ke tempatnya semula. Dan bermunajat kepada Rabbnya. Selesai munajat ia berkata pada adiknya dengan suara halus,

“Dik Niya!”

“Ya Kak!” Jawabnya dengan suara bergetar.

“Masih mau makmum?”
“Insya Allah.”

“Sekarang witir. Dua rakaat lalu satu rakaat!”

Faiq takbiratul Ikhram. Niyala mengikutinya. Untuk shalat witir ia tidak membaca surat yang panjang seperti tahajjud. Tak lama kemudian shalat witir itupun selesai. Setelah berdoa sesaat, faiq kembali merebahkan badannya. Sementara Niyala terus menangis di atas sajadahnya.

Tbc

SETETES EMBUN CINTA NIYALA ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang