PART 4

3.9K 123 0
                                    

SETETES EMBUN CINTA NIYALA
Karya : Habiburahman El-Shirazi

Tiga hari lagi wisuda. Dua hari lagi ayahnya akan datang. Ia menghitung sisa hari seperti seorang tahanan yang telah di vonis hukum mati menghitung sisa-sisa hidupnya. Kenapa malaikat Izrail tidak juga datang menemuinya? Rasanya ia lebih bahagia bertemu Izrail daripada harus bertemu ayahnya. Ia bangkit dari duduknya dan membuka jendela kamarnya. Sinar matahari dhuha tak sehangat biasanya. Entah kenapa? Bunga-bunga itu seperti layu. Entah kenapa? Cericit burung-burung ia rasakan bagaikan senandung kematian. Entah kenapa? Tak ada lagi gairah hidup yang ia rasakan. Entah kenapa?

”Niyala Anakku, mau ikut Umi tidak?”
Suara lembut perempuan setengah baya yang amat ia cintai itu kembali menyadarkan dirinya dari kekosongan jiwa. Ia membalikkan badan perlahan. Mencoba tersenyum.

”Kemana Umi?”

”Ke bandara.”

”Ada apa?”

”Kakakmu Faiq pulang.”

”Kak Faiq pulang?!” Ia kaget.

”He eh. Kaget ya?”

”Kok mendadak Mi? Kenapa tidak memberitahu jauh-jauh hari?”

”Umi yang minta dia pulang seminggu yang lalu.”

”Kenapa Mi?”

”Sudah, nanti saja di jalan Umi ceritakan. Sana cepat bersiap-siap. Pesawatnya landing jam sepuluh.”

Mata Niyala berbinar. Ada sedikit cahaya di dadanya. Sudah tiga tahun ia tidak melihat kakaknya. Terakhir dia melihat saat pulang usai menyelesaikan S1 dari Al-azhar. Setelah itu kembali lagi ke Mesir. Lalu kabarnya terbang ke Inggeris. Tiba-tiba dia mau datang. Oh, apakah dia datang untuk melihatnya terakhir kali sebelum ia pergi untuk selamanya.

Dengan menumpangi taksi keduanya meluncur ke bandara. Sang sopir begitu gesit memilih jalur-jalur yang tidak macet. Namun tetap saja sesekali macet. Setidaknya dengan keahlian sang sopir mereka berdua tidak terjebak kemacetan yang fatal.

”Katanya Umi mau menceritakan kenapa kak Faiq disuruh pulang?”

”Begini, yang menyuruh Faiq pulang itu Umi. Karena banyak hal yang harus ia lakukan disini. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu bersejarah. Pertama. Kamu akan di wisuda. Kalian berdua adalah kakak beradik yang harus saling menghargai sejarah masing-masing. Kakakmu harus pulang, sebab ia mampu untuk pulang. Kakakmu harus menyaksikan adiknya mengenakan toga dan mengawali hidup sebagai seorang dokter. Inilah momen paling bersejarah bagi Umi, juga bagimu. Umi sangat bahagia. Umi sudah lama menunggunya. Kedua, kau kenal sama Diah kan?”

”Diah yang mana Umi?”

”Itu Diah Pramestaningrum, saudara sepupu Faiq, puterinya tante Astrid.”

”Oh...mbak Diah yang sekolah di Australia itu?”

”Iya.”

”Terus hubungannya apa Mi dengan kepulangannya kak Faiq?”

”Diah sudah selesai S2 nya. Setengah bulan yang lalu dia pulang. Dia sudah pakai jilbab sekarang?”

”Alhamdulillah.”

”Tante Astrid beberapa waktu yang lalu menelpon. Diah ingin bertemu Faiq. Katanya, Diah diam-diam mencintai Faiq, sejak mereka bertemu satu tahun yang lalu.”

“Setahun yang lalu? Dimana mereka bertemu Mi?”

”Di London. Saat itu Diah sedang mengumpulkan data untuk penulisan Tesisnya dibeberapa perpustakaan disana. Satu bulan setengah Diah disana. Dan selama disana, Diah dibantu sama Faiq. Disitulah rupanya diam-diam tumbuh bibit-bibit cinta dalam hati Diah.”

”Kok kak Faiq nggak cerita ya Mi?”

“Iya, Umi baru tahu juga kemarin dari Tante Astrid. Jadi begitulah, kakakmu aku suruh pulang. Aku ingin dia cepat berkeluarga. Aku ingin menimang cucu. Menurut Umi, Diah cocok untuk Faiq. Sama-sama sudah S2 dan sama-sama dari luar negeri. Menurutmu bagaimana Niya?”

Niyala tersenyum. Cerita dari Umi membuat hatinya gembira. Ia melupakan sesaat nestapanya.

“Cocok sekali Mi. Kak Faiq kan gagah, tampan dan cerdas. Terus mbak Diah itu kan cantik dan cerdas. Sebelum ke Australia saja pernah jadi foto model. Sekarang pakai jilbab lagi. Pasangan yang serasi Mi. Aku malah jadi penasaran ingin bertemu mbak Diah, seperti apa dia kalau pakai jilbab?”

Umi tersenyum dengan hati berbunga-bunga.

”Aku bawa fotonya, kau mau lihat?”

”Benarkah Mi. Mana?”

Umi membuka tasnya. Dan mengambil selembar foto lalu menyerahkan pada Niyala.

“Wah, sangat cantik dan anggun Mi. Sangat cocok untuk kak Faiq. Sangat pas jadi mantu Umi. Dulu saja, waktu masih jadi foto model dan belum ke Australia mbak Diah itu orangnya ramah, santun dan enak diajak bicara. Apalagi sekarang dia sudah pakai jilbab.”

“Umi memang berharap keduanya saling cocok. Umi akan sangat berbahagia jika Faiq menikah dengannya. Kemarin Umi sudah main ke rumah Tante Astrid dan sudah bertemu dengan Diah. Dia sangat baik, lembut dan santun. Penampilannya anggun, jilbabnya rapat.”

”Kenapa Umi tidak mengajak Niya?”

”Saat itu kau tidur pulas dikamarmu Nak. Umi tak mau mengganggu tidurmu. Kalau mau main kesana lain kali juga masih ada waktu. Jangan Kuatir.”

Jawaban polos itu mengingatkan Niyala pada dukanya. Yah....Surat dari Sidempuan itu yang membuatnya beberapa hari ini kehilangan gairah hidup. Ia lebih sering tidur. Ia memang suka melarikan masalah dengan tidur. Biasanya, setelah tidur kepalanya akan terasa lebih enteng. Tapi, untuk masalah kali ini, semakin banyak tidur kepalanya semakin berat. Ia meneteskan air mata. Ia memandangi foto Diah di tangannya lekat-lekat,

”Kau gadis yang sangat beruntung mbak Diah. Oh, andai aku seberuntung dan secantik dirimu.” Lirihnya sambil memejamkan mata.
Perkataannya itu ternyata didengar Umi.

”Kenapa kau menangis Niya? Kenapa kau berkata begitu, Anakku? Ada apa sebenarnya? Kau itu gadis yang sangat cantik Anakku. Sejatinya kau lebih cantik dari Diah. Kau juga sangat cerdas.

Sebentar lagi kau jadi dokter. Dan kau menangis merasa masih kurang beruntung. Kau masih memiliki impian apalagi Anakku? Jika Umi mampu, maka Umi akan mewujudkannya. Kau adalah anakku. Umi tidak mau kau merasa tidak beruntung. Kalau Umi masih kurang dalam memberikan sesuatu kepadamu, Umi mohon maaf Anakku. Memang hanya seperti ini Umi mampu.

Jawaban Umi yang disertai isak itu membuat jiwa Niyala terasa diremas-remas. Ia sangat takut perkataannya yang lirih itu melukai hati perempuan yang sangat ia cintai melebihi siapa saja itu.

”Maafkan Niya Umi. Bukan itu maksud Niya. Niya sangat bersyukur dan merasa sangat beruntung hidup dalam asuhan dan bimbingan Umi. Umi telah memberikan segalanya pada Niya. Tadi itu Niya hanya sedikit iri pada mbak Diah. Mbak Diah akan mendapatkan seorang suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab. Niyala juga ingin mendapatkan suami yang baik, saleh, setia dan bertanggungjawab seperti kak Faiq. Wajar kan Mi?”

Umi langsung menarik Niyala ke dalam pelukannya. Dan dengan suara pelan penuh kasih sayang ia berkata,

”Umi percaya kau akan mendapatkan suami yang saleh. Kakakmu pernah bilang pada Umi, bahwa dia memiliki banyak teman yang saleh dan pintar. Nanti kalau kakakmu sudah pulang, Umi akan minta padanya untuk menunjukkan temannya yang paling saleh, pintar, gagah dan bertanggungjawab. Dan kau akan jadi gadis yang sangat beruntung. Memang benar, gadis yang beruntung adalah yang mendapatkan seorang suami saleh yang baik, setia, bertanggungjawab dan patut diteladani oleh istri dan anak-anaknya."

Tbc

SETETES EMBUN CINTA NIYALA ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang