SETETES EMBUN CINTA NIYALA
Karya : Habiburahman El-ShiraziTangis Niyala semakin menjadi-jadi. Ia ingin membuka segala yang menimpanya. Tapi ia tidak tega pada Umi. Umi sudah terlalu besar berkorban untuk dirinya. Ia tahu bahwa Umi rela mengorbankan apa saja untuk dirinya. Nyawa sekalipun. Namun, ia tidak mungkin meminta pengorbanan yang lebih lagi. Ia hanya menangis dan menyimpan lukanya dalam hati, sedalam-dalamnya.
****
KEPULANGAN Faiq memang membuat Umi sangat berbahagia. Anak lelakinya itu benar-benar gagah dan tampan seperti almarhum ayahnya. Senyumnya memikat. Nada bicaranya enak. Bacaan Al-qurannya saat mengimami shalat magrib sangat indah dan enak di dengar. Malam itu Umi memanjakan putranya itu dengan memasak menu favoritnya, yaitu nasi tim, semur ayam, dan sambal ikan tenggiri. Faiq makan dengan lahapnya seperti seorang pengungsi yang belum makan selama tiga hari. Umi tersenyum bangga anaknya menyukai masakannya. Niyala juga tersenyum melihat cara makan kakaknya yang tidak berubah. Yaitu langsung dengan tangan kanan, tanpa sendok.
“Entah kenapa, kalau makan semur ayam pakai sambal ikan tenggiri rasanya tidak mantap kalau tidak langsung dengan tangan.” Seloroh Faiq disela-sela makannya.
Usai makan mereka bertiga menuju ruang ke tamu. Meskipun tadi sore sudah berbincang panjang kesana kemari. Dan Faiq juga sudah banyak menceritakan pengalamannya yang mengasyikkan, tapi Umi dan Niyala masih ingin mendengarkan Faiq bercerita lagi. Faiq pun kembali bercerita, kali ini tentang pengalaman liburannya ke Istambul, Turki. Tentang indahnya teluk Bosporus. Masjid Aya Shofia. Universitas Istanbul. Makam Abu Ayyub Al-Anshari. Tarian kaum tarekat Jalaluddi Ar-rumi. Dan lain sebagainya.
“Oh ya lupa. Ini Faiq belikan jilbab sutera asl dari Turki. Yang hijau muda untuk Niyala. Dan yang hijau tua untuk Umi.”
Niyala menerima jilbab berbatik emas khas Turki itu dengan mata berbinar-binar. “Wah, jazakallah Kak. Indah sekali.” Niyala langsung memakai jilbab itu menutupi jilbab putihnya. “Gimana Kak? Bagus nggak?”
“Wah anggun sekali, Anakku!” Puji Umi dengan pandangan takjub.
“Dasar orangnya sudah cantik ditambah dengan jilbab Turki itu, wow luar biasa, dikau tampak seumpama bidadari yang turun dari surga Niyala. Cahaya pesonamu mengalahkan cahaya yang dipantulkan oleh mentari siang hari!” Sahut Faiq.
Wajah Niyala merona mendengar pujian kakak angkatnya itu. Kesukaan kakaknya bercanda dengan nada puitis tidak juga hilang. Namun entah kenapa ia sangat suka dengan pujian-pujian kakaknya yang seperti menggombal itu. Atau mungkin pada dasarnya semua wanita suka dipuji, meskipun dengan sedikit menggombal.
“Duhai, siapakah gerangan pangeran yang akan menikmati kesejukan cahayamu? Siapakah dia yang akan berbahagia mendapatkan kesucian jiwa ragamu? Duhai, alangkah bahagianya dia!” Sambung Faiq dengan senyum mengembang.
Umi pun tersenyum melihat polah puteranya yang beraksi seperti bintang sinetron kasmaran itu. Namun Niyala mendengarkan pujian terakhir kakaknya itu justru bagaikan disengat kalajengking. Seketika kebahagiannya pudar. Wajahnya pucat. Air matanya meleleh, Ia teringat kembali dengan isi surat dari ayahnya. Ia teringat dengan Roger yang akan menari-nari kegirangan jika di sampai mau jadi istrinya. Perubahan wajah dan air mata Niyala ditangkap oleh Faiq. Seketika Faiq tergagap.
"Lho Niyala, kenapa? Apakah ada yang salah dengan kata-kata kakak? Apakah gurauan kakak menyinggung perasaanmu?” Tanyanya pelan.
Niyala mengusap air mata dengan punggung tangannya. Ia mencoba tersenyum. ”Tidak kak. Niyala tidak apa-apa. Niyala tidak tersinggung. Niyala justru bahagia sekali dengan pujian yang kakak berikan. Sangat bahagia sampai Niyala menangis.”
”Alhamdulillah kalau begitu. Kirain kau tersinggung. Kau bahagia dengan pujian kakak. Maka kebahagiaan itu tidak gratis. Ada harganya.”
”Maksud kakak?”
”Kau harus membayar pujian kakak yang membuatmu bahagia dengan melakukan sesuatu yang membuat kakak senang. Begitu.”
”Apa yang ingin Niyala lakukan sehingga kakak senang?”
”Umi sudah membuatkan menu istimewanya. Kamu juga harus membuatkan menu istimewa untuk kakak. Kau tahu kan, sudah tiga tahun kakak tidak merasakan nasi goreng spesial buatanmu. Kakak ingin besok pagi sarapan dengan nasi goreng spesial buatanmu. Gimana?”
”Oh itu. Beres bos. Jangan kuatir!”
Mereka terus berbincang dan bercanda sampai larut malam. Malam itu Umi dan Niyala menerima cukup banyak oleh-oleh dari Faiq. Ada tas tangan yang bagus yang sempat ia beli di Paris. Leontin kristal dari Italia. Jilbab Turki. Cincin cantik. Sandal kulit warna putih gading yang modis. Dan kebaya khas Malaysia. Selain itu Faiq membelikan gaun pengantin khas Turki yang sangat indah untuk Niyala.
”Ini kakak belikan spesial untuk dirimu Dik. Untuk kau pakai suatu saat nanti, saat kau jadi pengantin.” Kata Faiq sambil tersenyum.
”Wow indah sekali Kak. Rapat menutup aurat dan islami. Kakak sepertinya tahu saja seleraku. Terus, untuk calon istri kakak mana?” Tanya Niyala.
”Jangan kuatir. Kakak sudah mempersiapkan gaun pengantin yang tak kalah indahnya.”
Umi tersenyum bahagia mendengar dialog itu. Dua anaknya memang telah dewasa dan sudah saatnya menikah. Niyala merasa sangat bahagia menerima hadiah dari kakaknya itu. Karena ternyata, kemana pun Faiq pergi tidak pernah melupakan Umi dan dirinya..
Tiba-tiba telpon berdering. Faiq yang paling dekat langsung mengangkatnya.
”Hallo? Ya? Wa’alaikum salam. Oh Mas Herman. Dimana sekarang Mas? Oh ya ya. Ba’da Subuh? Ya ya. Tapi agak siangan dikit nggak apa-apa Mas ya? Saya jemput jam delapan lah, iInsya Allah.
Wa’alaikum salam!”Mendengar suara Faiq menjawab telpon itu wajah Niyala langsung pucat. Herman itu pasti kakaknya. Dan dia menelpon minta dijemput. Ia merasa detik-detik kematiannya semakin dekat.
“Siapa Iq?” Tanya Umi.
“Masya Allah Mi. Kebahagiaan kita rasanya memang lengkap. Ini pak Rusli, ayahnya Niyala dan Herman kakaknya mau datang. Mereka tadi menelpon dari Bakauhuni. Nanti subuh mereka, insya Allah akan sampai di terminal Pulau Gadung. Mereka lupa caranya ke rumah kita ini, jadi minta dijemput. Ya saya bilang, insya Allah jam delapan sampai di pulau Gadung.”
“Baguslah kalau begitu. Memang itu yang kuharap. Aku ingin Pak Rusli Hasibuan menyaksikan puterinya di wisuda jadi dokter. Kalau begitu kita istirahat dulu, sudah larut.” Tukas Umi sambil bangkit dari duduknya.
“Lha aku tidur dimana dong? Kamarku jadi kelas. Masak aku harus tidur di kelas? Bu guru harus bertanggung jawab dong!” Rajuk Faiq pada Niyala yang sedang bergulat dengan rasa sedihnya. Niyala menundukkan kepala seolah tidak mendengar gurauan Faiq.
”Malam ini Niyala biar tidur sama Umi. Kau tidur saja di kamar Niyala.” Seloroh Umi sambil melangkah ke kamarnya.
Niyala masih menunduk diam. Faiq memperhatikan dengan seksama kelakuan gadis berjilbab putih yang telah dianggapnya seperti adiknya sendiri itu. Sepertinya ada sesuatu didalam diri Niyala. Ia mendekati Niyala dan berkata,
”Kok diam saja. Ada apa? Nggak ikhlas ya kakak tidur di kamarmu. Ya sudah, kalau tidak ikhlas kakak tidur di ruang tamu saja. Jangan sedih, santai saja!”Niyala mengangkat mukanya dan memandang kakaknya dengan senyum yang ia paksakan. ”Hanya adik yang jelek yang tidak ikhlas. Sudahlah, kakak tidur saja di kamar Niya, kakak kan capek, perlu tempat istirahat yang nyaman, Niya biar sama Umi. Dan... jangan kuatir, Bu guru akan bertanggung jawab. Besok kelas itu akan kembali menjadi kamar yang nyaman seperti sedia kala.”
Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Umi sudah merebahkan badannya. Kedua matanya telah terpejam. Niyala rebah disampingnya, namun matanya tidak mau dipejamkan sedikitpun jua. Sementara Faiq memasang jam beker lalu rebah di kamar Niyala dan langsung terlelap.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
SETETES EMBUN CINTA NIYALA ( ✔ )
SpiritualSETETES EMBUN CINTA NIYALA Karya : Habiburahman El-Shirazi SIAPAKAH yang mampu hidup tanpa cinta? Perempuan manakah yang bisa membangun singgasana rumah tangganya tanpa cinta? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan hati pilu. Tak ada! Jawabnya send...